Dua puluh satu

5 2 0
                                    

Kata orang cinta itu indah, tapi kenapa berkabut? Bahkan sangat sulit menemukan ujungnya.




Niken melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Tak peduli teriakan atau umpatan orang orang karenanya. Bahkan klakson yang berbunyi tak dihiraukan, mencoba tuli. Dan sekarang lampu merah sedang menyala artinya harus berhenti, tapi Niken tetap melaju dengan cepat. Jika ada polisi menghadang, mungkin tabrak lari adalah pilihannya.

Tujuannya satu, segera sampai rumah dan mendiamkan diri di bawah shower dengan guyuran air dingin. Berharap dengan itu bisa menjernihkan pikiran dan hatinya. Namun Niken tak sependapat dengan pemikirannya, dia langsung membenamkan diri di atas kasur dan menangis sepuasnya. Mengeluarkan sesak dan menenangkan pikirannya yang sedang kacau.

Introspeksi diri memikirkan bagian mana dari dirinya yang salah. Kenapa setiap dirinya dekat dengan seseorang, selalu saja orang itu menaruh hati padanya. Bukan dia tidak bersyukur, tapi jika dicintai seseorang sesakit ini lebih baik tidak sama sekali.

Dirinya bisa kemana-mana sendiri. Melakukan hal-hal yang tidak biasa sendiri. Atau menjaga dirinya sendiri dia juga bisa. Jadi, kenapa harus ada orang lain jika dia bisa sendiri? Kenapa dia harus bersama jika menyakiti diri sendiri?

"Kalau Engkau memang adil, bolehkah aku meminta kebahagiaan dengan cara lain?" batin Niken.

Rindu yang memenuhi hatinya belum terbayarkan dan kini dia harus kehilangan seseorang lagi. Sivel mungkin takkan tersentuh lagi karena memiliki Vista. Namun ... Nando? Bagaimana menjauhinya? Bahkan dia tidak punya alasan sama sekali untuk sekadar tidak menyapa.

Seharusnya tak boleh begini. Dua cowok itu tak boleh jatuh cinta padanya. Bagaimana kalau nasib mereka sama seperti Rafa dan Sasa? Bagaimana kalau kejadian dulu terulang lagi? Bagaimana kalau akhirnya dia harus pindah lagi? Tidak, itu tidak boleh terjadi lagi dan dirinya percaya bisa menghadapi semua ini. Menyelesaikan dengan baik baik.

Satu bulan tanpa Sivel sebenarnya Niken kacau, sedih dan galau. Keberadaan Sivel yang selalu disekitarnya membuat dia nyaman dan bahagia, sangat susah mengalihkan menjadi baik-baik saja tanpanya. Ditambah dengan keadaan Sivel yang sudah pacaran dengan Vista membuatnya mundur perlahan tanpa diperintah. Beruntung ada Nando yang menghibur dan menemaninya. Namun naas Nando pun sama.

Bagaimana, bagaimana membuat kedua laki-laki itu mengerti? Sedangkan menceritakan masa lalunya ada hal yang sangat tidak mungkin. Namun kehilangan di waktu yang dekat itu sangat menyakitkan.

Dering ponsel membuat Niken menghapus air mata dan ingusnya. Diraih ponsel itu dan menekan tombol hijau.

"Ha ...."

"Lokasi sudah dikirim. Ada seseorang yang perlu bantuan mu sekarang juga. Cepat kesana atau dia akan mati."

Ponsel itu gelap menandakan sang penelepon telah mematikannya.  Tanpa ada penjelasan apalagi basa basi.

Niken mengerjapkan matanya. Mencoba mencerna ucapan telepon tadi. Kebingungan dan kebimbangan masih menyelimuti, tapi rasa penasaran itu lebih besar dari apapun. Sehingga tanpa pikir panjang Niken meraih jaket dan kunci motor.

Setelah melihat lokasi yang dikirim sang penelepon Niken segera bergegas menuju lokasi tersebut. Sempat takut Nando kenapa-kenapa, karena cowok itulah yang terakhir Niken temui di taman tadi. Tapi, jika itu Nando kenapa suaranya ringan seperti Sivel? Sebenarnya siapa yang butuh pertolongannya? Dan kenapa dia yang ditelpon? Bukankah di taman ramai, masa iya orang segitu banyaknya tak mampu menolong.

Saat Niken sampai di depan perumahan rumahnya, hujan turun deras sekali. Ingin kembali dan mengambil jas hujan, Niken takut terlambat menolong orang di taman tadi. Dan Niken tak mau menjadi tersangka kasus pembunuhan hanya karena telepon dari orang misterius.

Hujan sangat deras, Niken paham bahayanya mengendarai di saat seperti ini. Namun entah kenapa hati Niken mengatakan bahwa orang di sana sangat berharga baginya. Air mata itu jatuh bersama dengan titik hujan, Niken pun tak tahu menangisi siapa. Rasanya dia sangat kacau. Perasaannya tiba-tiba tak enak.

Segera Niken memarkirkan motornya lalu menghampiri seseorang yang dimaksud sang penelepon tadi. Berlari menerobos hujan. Entah kenapa detak jantungnya makin kencang dan hatinya berdebar keras. Perasaan takut kehilangan tiba-tiba muncul. Pikirannya ikut kacau. Padahal dirinya belum tahu siapa yang di lapangan sana.

Niken menganga lalu menutup mulutnya kala melihat Sivel terbaring tak berdaya dengan banyak darah di sekitar mulut dan lebam di wajahnya. Belum lagi hujan yang jatuh menusuk kulitnya dan masuk mulutnya yang sedikit terbuka.

"Sivel .... "

Suara itu tenggelam bersama suara hujan yang deras. Bahkan Isak tangis Niken kian mengeras. Menepuk pipi Sivel berusaha membangunkan atau menyadarkannya. Namun sia-sia, Sivel tak bergerak sama sekali. Tanpa pikir panjang akan kuat atau tidak, Niken meraih bahu Sivel dan mendudukkannya. Setelah itu Niken berjongkok dan mengambil tangan Sivel untuk diletakkan di bahunya. Entah kekuatan dari mana Niken kuat membopong Sivel hingga ke mobilnya. Sangat muda menemukan mobil cowok itu karena di tempat parkir hanya ada satu mobil dengan warna merah dan plat nomor yang sudah sangat dihapal Niken.

Mendudukkan Sivel di kursi samping kemudi, lalu Niken beralih ke kursi kemudi. Niken bisa menyetir hanya jarang saja. Jarak apartemen Sivel dan taman tidak begitu jauh. Jadi, lima belas menit keduanya sudah sampai.

Niken memberhentikan mobil di lobi dan memanggil seorang satpam untuk membawa Sivel ke unitnya. Setelah sampai, Niken meminta tolong satpam itu untuk mengganti baju Sivel yang basah. Selesai dengan itu semua, Niken menyelipkan tanda terima kasih serta kunci mobil untuk diparkirkan.

Segera Niken menyiapkan air dan handuk kecil untuk mengompres Sivel karena suhu badannya naik.

"Haccing."
"Haccing." Niken mengusap hidungnya yang memerah. Mengambil tisu untuk ingusnya yang keluar. Badannya menggigil kedinginan. Sebenarnya Niken hapal semua letak benda di apartemen ini, tapi jarak yang ada membuat Niken diam saja. Terlalu lancang jika dia mengambil itu semua sendiri.

"Ganti baju sana."

"Lho ...."

"Gue bangun karena suara berisik lo."  Sivel berusaha duduk dan bersandar di kepala ranjang meski pusing menyerangnya. "Udah, pergi sana."

Niken berdiri dan berhenti karena ucapan Sivel, "nggak ada yang berubah. Semua masih pada posisinya." Niken mengangguk paham.

Dua puluh menit Niken sudah segar kembali meski masih menggigil. Setidaknya dia hangat tidak seperti tadi. Memakai kaos lengan panjang yang kebesaran serta boxer milik Sivel. Sedangkan bajunya ia masukkan ke dalam kresek untuk dibawa pulang. Tidak mungkin ia tinggal, takut nanti ada yang berpikiran macam-macam.

"Gue buatin teh hangat," ucap Niken pada Sivel.

"Dua gelas."

Niken mengangguk paham. Itulah Sivel. Tak pernah makan atau minum sendiri. Dia selalu memaksa Niken menemaninya mengisi perut dan kerongkongan yang mengering.

Mengambil napas, Niken segera ke dapur dan membuat teh untuk menghangatkan badan mereka. Setelah selesai Niken memberikan teh dan obat pada Sivel, tapi dia malah ditarik dan dipeluk erat.

"Sebentar saja." Niken diam
"Aku merindukanmu. Maafkan aku."











Udah bapee belum?
Ke part selanjutnya ya biar makin mencair :)

Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang