Tujuh belas

2 0 0
                                    

Kebahagiaan itu hak setiap manusia. Oleh sebab itu sekuat tenaga aku berikan kebahagiaan untukmu meski menyakitiku.





"Ken!" panggil Nando sambil berjalan cepat ke arah Niken yang kini tengah memakai tasnya hendak pulang.

"Ya?"

"Besok pagi, kita latihan basket di lapangan dekat rumah kamu ya," jelas Nando.

"Lapangan dekat rumah?" gumam Niken dengan alis menyatu.

"Taman," jawab Nando yang tahu kebingungan melanda Niken.

"Ah, taman," ucap Niken mencoba mengingat dengan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Terlalu sering olahraga tuh, sampai jalan menuju taman aja, lupa," ucap Rizal menimpali obrolan keduanya dengan terkekeh.

"Tanyakan padanya orang jualan bubur disebelah mana, pasti hapal."

"Kesana harus subuh, Nando. Takutnya nanti Niken sholat Dhuha disana karena terlalu pagi datang."

"Jangan lupa bawain kasur, takutnya dia tergeletak tak berdaya karena mengira lapangan itu kamarnya."

Nando berjalan sambil mencibir membenarkan semua ucapan teman-temannya. Dibelakangnya, Niken bergumam kesal mendengar ucapan temannya yang sangat jujur. Tidak ada yang sadar, ada yang diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka dan tersenyum misterius.

✨✨✨

Niken melemparkan tatapan kesal pada seseorang yang kini sedang memantulkan bola di lapangan di depannya. Namun, tanpa rasa bersalah, orang itu malah akan melakukan tembakan. Menganggap Niken tidak berada di sana. Dengan senyum licik, Niken mendekat dan berusaha mengambil bola di tangannya. Mengambil ancang-ancang dan ... happ!!

"Uwaaaahhhh ... Nando sakiiiiittt," teriak Niken. Pasalnya dia tidak mendapatkan bola, malah jatuh di lapangan dengan posisi tertelungkup. Wajahnya mencium lantai lapangan dan tangannya lecet. "Nando tolongin! Huwaaaahhh."

"Belagu, sih. Segala mau ambil bola."

"Tolongin, Nando! Huwaaaahh ... siapa yang mau ambil bola? Itu tadi gerakan pemanasan yang keseleo jadi goyang dumang."

"Aku kan udah bilang, pemanasan yang benar. Kamu sih, nggak nurut kalo dibilangi," Nando mendekat, memberikan punggungnya untuk menggendong Niken. "Minggu depan kita latihan lagi, kamu nggak boleh kayak tadi. Pemanasan itu penting, Ken. Selain untuk otot, peredaran udara di dalam tubuh juga bagus," jelas Nando panjang lebar.

"Mungkin kurang siang biar pemanasannya makin oke."

"Kalau kamu mau gosong, aku oke."

"Jangan dong! Skincare mahal, nih."

"Makanya jangan molor!"

"Karet aja boleh molor, masa aku nggak boleh!"

"Minggu depan latihan lagi."

"Ihh ...."

"Nggak boleh protes."

"Kita itu negara demokrasi. Jadi, seluruh warganya boleh menyuarakan haknya." Nando menghela napasnya. Cewek yang berada di gendongannya ini tidak berhenti berbicara. Benar kata Sivel, kalau Niken berbicara, cukup anggukan saja kepalamu maka kelar semua ucapannya.

"Sudah? Sekarang kamu duduk, aku belikan minum."

Niken hanya mengangguk kan kepalanya, sama sekali tidak berminat mendengarkan. Jika tidak karena ucapan Sivel, Niken tidak mungkin berada di sini. Iya, ini semua karena Sivel. Sivel yang menyuruhnya belajar basket dengan Nando. Entah kenapa Niken merasa Sivel seolah menyuruh Nando berada di sekitarnya. Menjaganya selagi dia sibuk berpacaran.

"Duduk sini, jangan gerak! Awas aja kalo ngilang," perintah Nando sambil berlalu. Niken hanya tersenyum menanggapi.

Niken mengedarkan pandangannya, tertegun ketika melihat seseorang yang mirip Sivel. "Gue lihat cowok mirip lo tau nggak, Vel?" Niken tersenyum miris lalu melanjutkan ucapannya, "segitu kangennya gue sama lo. Padahal gue nggak boleh jatuh cinta kan? Gue nggak boleh egois dan gue nggak berhak merasakan perasaan itu lagi."

Niken meneteskan air mata. Apapun akan dia lakukan untuk membuat Sivel bahagia. Termasuk membiarkan Sivel pacaran dengan adik kelasnya meski itu menyakiti hatinya. Biarkan dia menjadi korban, asal bukan orang lain. Aneh memang, tapi siapa peduli. Trauma itu masih melekat kuat di hatinya.

Dia tidak ingin masa lalu terulang lagi, jika itu cara membuat Sivel bahagia maka dia ada di barisan terdepan yang akan mewujudkannya. Melihat orang yang disayangi tersenyum bahagia adalah impian setiap orang. Benar kata pepatah, cinta tidak harus memiliki. Ada banyak cara untuk bahagia, dan Niken memilih cara itu.

"Malah melamun." Nando memberikan Niken sebotol air mineral lalu duduk di sampingnya. "Nih, minum. Biar besok bisa sekolah."

Tidak ada obrolan di sana, sama-sama menikmati pemikiran masing-masing dan pandangan yang ada. Hening. Kosong. Hampa.

"Kenapa kamu tidak membantah usul Sivel?" Nando memulai percakapan dengan menanyakan hal sensitif.

"Untuk apa?"

"Kamu tidak suka olahraga, Ken."

"Aku juga tidak suka kalau nilaiku jelek. Atau tidak termasuk di tiga besar."

"Kamu terpaksa, Ken. Hatimu tidak ikhlas."

"Tidak perlu hati, Nando. Pakai otak dan tubuh."

"Kenapa kamu terus berbohong, Ken?"

"Tidak ada kebohongan, Nando."

"Bulshit!"

"Karena tidak semua kebahagiaan hak setiap orang."

"Tapi setiap orang berhak bahagia. Berhati-hatilah dengan permainanmu." Nando beranjak pergi, dirinya mulai muak dengan Niken yang terus mengelak tentang kebenaran hatinya.

Namun, langkah Nando berhenti saat Niken membuka suara, "Asal permainan ini untuk kebahagiaan Sivel. Maka, aku akan terus bermain hingga lelah," ucap Niken dengan pandangan sedih.

Berbalik, Nando geram dengan ucapan Niken. "Sebenarnya apa yang ada di otak kamu? Kalian sama-sama menyukai, sama-sama memendam rasa dan tidak bisa hidup satu sama lain. Kenapa harus saling menyakiti?" Nando meremas rambutnya, jenuh pada posisi ini. "Beri aku satu alasan untuk mempertahankan kamu pada posisi ini."

Pandangan Niken lurus dan kosong. Tidak ada yang boleh tahu alasannya melakukan hal gila ini. Rahasianya tidak boleh terbongkar. Dia pindah kesini untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan. Dirinya harus bisa mengatur emosi yang kini membuncah ingin keluar menjadi butiran bening. Mendongak adalah cara menghalau butiran itu jatuh.

"Tidak ada alasan pasti. Pergilah jika kamu ingin, aku takkan menahanmu." Niken meninggalkan Nando. Berlari kecil supaya bisa sampai di tempat dia memarkirkan sepedanya.

Tadi Nando ke rumahnya membawa sepeda, mau tidak mau, dia pun ikut membawa sepeda untuk bisa ke taman. Tak peduli kakinya yang mulai kram karena tidak pemanasan dengan benar. Ah, dan bahunya yang mulai sakit juga.

Dalam perjalanan mengayuh sepeda untuk pulang, Niken memikirkan apa yang harus dia lakukan besok? Pasti akan canggung. Niken mengeluarkan karbondioksida yang rasanya memenuhi rongga dada.

"Teman-teman sudah banyak yang curiga. Apa yang harus aku lakukan, Vel?" gumam Niken. "Apa ini yang kamu inginkan?"


Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang