Lima

17 2 6
                                    

Bukan lari keliling lapangan yang capek, tapi lari ngejar kamu dan kamu nggak noleh sama sekali.





"Nando!" panggil Niken dengan berlari kecil ke arah cowok yang sedang menutup pintu mobil jeepnya.

Sama sekali tak berniat menunggu Niken yang menghampirinya, Nando lebih memilih meneruskan perjalanannya ke kelas. Sungguh, Nando ingin hidup damai tanpa direcoki makhluk yang disebut cewek. Melihat teman-temannya mau menjadi bucin atau 'rela melakukan apapun demi melihat dia tersenyum' membuat Nando perlahan menjauhinya yang menimbulkan sikap bodoh itu.

"Nando!" Niken berhasil menyamai langkah Nando meski tersengal-sengal. "Gue panggil juga, nggak noleh, ihh."

"Hm," gumam Nando sambil melirik Niken di sampingnya.

"Lo hari ini bawa bekal?" tanya Niken dengan senyum merekah, dan berhasil membuat Nando tertular senyuman itu. Wajahnya terlihat lucu karena napasnya yang ngos-ngosan dengan wajah memerah.

"Hm." Nando mengangguk sebagai jawaban.

"Oke, nanti kita makan bareng, ya," ucap Niken penuh semangat.

"Kamu bawa apa?" Itu suara Sivel yang kini sedang merangkul pundak Niken.

"Nasi goreng kecap ekstra sosis dan ayam krispi," Niken menoleh pada Sivel. "Gue bawain lo juga, kok. Cukuplah buat berdua."

"Thank you so much little angle," ucap Sivel dengan memberi sedikit cubitan pada pipi niken.

"Nanti lo yang ...."

"Beli minuman," sahut Sivel yang tahu maksud Niken.

"Pinter," puji Niken dengan senyum merekah. Niken sering membawa bekal dan itupun selalu dimakan berdua dengan Sivel. Sivel yang tinggal di apartemen membuat dia jarang bisa makan teratur sehingga mampu membuat Niken emosi karena sahabatnya itu sering menyepelekan tentang asupan untuk tubuhnya.

Nando melirik dua insan yang sibuk berbagi canda tawa di pagi hari. Menarik kedua sudut bibirnya, Nando tahu alasan apa yang membuat Sivel bertahan di sisi Niken. Tanpa sadar dirinya mulai ikut masuk dalam lingkaran itu. Terbiasa dengan keberadaan Niken yang menurutnya sangat cerewet dan peduli di saat yang bersamaan.

"Kemarin ada cowok yang nanyain lo," ucap Sivel.

"Tanya apa?" Niken bertanya dengan antusias.

"Lo udah punya pacar belum?"

"Terus lo jawab apa?"

"Ya belumlah, kan emang gitu kenyataannya."

"Terus ... terus respon dia gimana?"

"Ya dia bilang kasihan," ucap Sivel dengan nada sendu.

"Lho kok kasihan?" Raut bingung menghiasi wajah manisnya. "Kok jawaban dia aneh?"

"Kasihan deh lo," ucap Sivel kemudian berlari dengan tertawa bahagia, berhasil membuat Niken kesal.

"Sivel!! Awas ya, lo!" Niken berlari mengejar Sivel.

Di belakang, Nando hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah keduanya. "Dasar, bocil."

Niken menghempaskan dirinya di bangku kesayangan. Mengobrak-abrik tas mencari botol minuman. Segar, itulah kata yang tepat ketika air mengalir sampai jauh ke kerongkongannya yang kering akibat berlarian mengejar Sivel. Belum hilang hausnya, Sivel menyahut botol minuman di tangan Niken membuat sang cewek terbatuk-batuk karena ulahnya.

Nando yang sudah sampai di kelas dan melihat kejadian itu menepuk-nepuk punggung Niken dan berhasil membuat batuk Niken reda. "Thank's, Nando." Kini tatapannya berpindah pada Sivel. "Dasar kecebong laut! Dikasih minum nggak makasih, ini malah langsung sahut aja. Kalo gue mati kemana?"

"Emang ada mati karena keselek? Baru denger gue," tanya Sivel sangsi.

"Biar viral tuh," ucap Rizal yang dari tadi menguping. "Masuk berita terus pemes, deh."

"Nah ini, pasti kelakuan jelek tadi niru nih anak, kan ya?" ucap Niken sambil menunjuk Rizal.

"Sorry, gue anak baik-baik jadi nggak muksin ngelakuin hal yang nggak ada akhlak kek gitu," Rizal menyingkirkan telunjuk Niken.

"Mungkin," sengit Niken.

"Nah, iya itu. Maklum lidah orang bule sering kepleset," ucap Rizal dengan kekehan.

"Ken." Sivel menepuk bahu Niken membuatnya berdecak, tapi tetap saja diladeninya meski hanya menggumam. "Kita, lari-lari tadi udah kayak main pilem kuch-kuch ho tahai ya, Ken."

Bukannya menjawab Niken bergidik ngeri mendengar ucapan Sivel dan disambut gelak tawa seisi kelas.

"Judulnya, kau ku kejar tapi nggak dapat-dapat," ucap Yunita yang baru datang, dan tawa makin membahana.

"Awas aja kalian, kalo gue sama Niken terkenal, gue bakal lupain kalian semua!" ancam Sivel.

"Ihh, nggak boleh gitu pak ket. Kacang lupa kulitnya itu dosa besar lho," ucap Angga.

"Kalo lupa sama kalian sih, nggak dosa malah pahala yang gue dapet," sengit Sivel.

"Udah ... udah kalo kalian berisik dan nggak bisa duduk gue catet nama kalian dengan keterangan alpa," ucap Niken. Terlihat jahat, tapi siapa peduli. Lagian pagi-pagi udah bikin gaduh sampai kelas lain ngintipin. "Dilihat kelas lain tuh, malu dikit napa sih!"

Niken mulai mengabsen satu persatu temannya. Setelah selesai, Niken kembali duduk di kursinya. Menoleh pada Sivel yang kini sedang sibuk dengan benda pipih di tangannya. "Vel, besok beliin gue toa masjid, ya."

"Ha?" Sivel mengangkat kepalanya, merasa lucu dengan permintaan sahabatnya ini. "Buat?"

"Buat absen. Capek manggil mereka satu-persatu. Seminggu aja, rasanya udah kering kek padang pasir tenggorokan gue, apalagi setahun? Nggak kasian lo sama gue?"

"Ada toa pengajian di rumah, Ken. Besok gue bawain," sahut Ainun dan langsung menghadap Niken.

"Beneran?"

"Ck, Ken, nggak usah dipanggil semua. Cukup liat siapa aja yang datang dan hadir terus coret di buku, beres," usul Sivel.

"Lagian ya, Ken. Takutnya gue, kalo Ainun bawa toa pengajian ke kelas, bukannya buat absen malah buat karaokean ntar," ucap Yunita yang dari tadi memerhatikan. "Belum bawa toa aja, mereka udah kek gitu." Mengarahkan dagu pada teman sekelasnya yang kini sedang menyanyi dangdut.

"Temen gue gitu banget, ya?" ucap Ainun melihat teman-temannya.

"Biarin, nggak mungkin kan mereka di rumah berani ngelakuin hal gila kek gitu," sahut Niken dengan senyum. Melirik Sivel yang kini sudah asik dengan Nando, entah apa yang mereka bicarakan, terlihat sangat serius dan Niken tidak mau tahu.

"Ken," panggil Yunita.

"Apa?"

"Gue boleh tanya nggak?"

"Tanya aja, sih. Mumpung gratis."

"Lo nggak ada perasaan sama sekali buat Sivel? Maksud gue ... rasa yang lebih dari seorang sahabat," ucap Yunita dengan menggerakkan kedua jarinya yang berbentuk huruf v.

Kedua temannya itu sangat penasaran dan baru kali ini mereka berani bertanya. Keduanya terbuka tentang hal itu pada Niken, tapi entah kenapa sampai saat ini Niken selalu menghindar jika keduanya menyerang balik Niken dengan pertanyaan tentang itu.

Mereka bertiga sudah sangat dekat, maklum mereka bersama dari kelas dua. Niken termasuk pendengar sekaligus pemberi saran yang baik, membuat kedua temannya menyayangi Niken. Tak jarang, mereka tidur di rumah Niken untuk berbagi kisah cinta monyet dan makan seblak gratis tentunya.

"Itu sebuah rasa, tidak bisa dipaksa atau dijalani dengan hampa."







Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang