Tiga belas

11 1 0
                                    

Mungkin semennya yang kurang kuat, buktinya tau kenyataan gitu aja udah mau mewek.










Yunita menarik tangan Niken yang kini tengah asyik meletakkan kepalanya di atas meja dengan headset di telinga. Mulutnya tak berhenti mengomel melihat tingkah Niken tiap kali pelajaran olahraga datang. Namun, bukan Niken jika dia bergerak hanya dengan satu tarikan.

"Biarin aja, Yun. Yang butuh nilai kan dia, bukan lo. Palingan bentar lagi dia bakalan ke UKS minta surat keterangan sakit," ucap Sivel pedas. Sivel hafal betul kalau Niken itu paling malas pelajaran olahraga. Alasannya karena berolahraga itu membuat tubuhnya berkeringat, dan itu menyebabkan dirinya bau asem.

Pernah suatu ketika dijawab oleh Sivel, "Ya mandi, Ken. Biar seger dan nggak bau asem, terus pakai deodoran. Jangan lupa parfumnya."

Sayangnya jawaban Niken diluar kepala, "Daripada gue mandi lagi, mending nggak ikut olahraga. Simple kan?"

Habis sudah kesabaran Sivel. Dan saat ini hanya menyindir yang bisa dilakukan olehnya untuk membuat Niken bangun dan bergerak. Selama ini memang hanya Sivel yang mampu membuat Niken bergerak, tapi itu dulu ketika dia tidak menjadikan Vista pacarnya. Dan ketika dia tidak melakukan beberapa kebodohan. Atau keputusan yang membuatnya sulit berpikir bagus.

Dan itu semua berhasil. Buktinya Niken berdiri menyambar kaos olahraga di dalam tasnya dengan muka ditekuk seratus delapan puluh derajat. Membuat Sivel tersenyum tipis. Sebelum Sivel melangkah, Yunita berteriak, "Thank's ya, Bucin. Semoga usaha lo nggak sia-sia." Kembali Sivel tersenyum tipis mendengar ucapan Yunita. Senang ada yang masih bisa memahami dirinya.

Sekitar sepuluh menit Niken sudah siap dengan kaos olahraga melekat di tubuhnya. Memasuki kelas dengan bibir maju lima belas sentimeter.

"Manyun teroosss. Lumayan bisa buat gantungan baju kotor bekas olahraga," ucap Rizal menahan tawa.

"Atau kode itu?" tanya Angga sambil menarik turunkan alisnya.

"Ngawur kalian semua. Bibir Niken mau ikut lomba bibir manyun terpanjang," sahut Ainun tertawa puas.

"Eh, foto dong, Ken. Kan keren kalo gue taruh di Instagram dan banyak yang like. Lumayan lagi kalau ada yang endorse," ucap Yunita mengeluarkan ponselnya. Dan sebelum diserang Niken dengan jurus seribu bayangan, semuanya sudah lari ke lapangan

Dengan malas Niken melangkahkan kakinya, terlihat seluruh teman kelasnya sudah siap dengan bentuk lingkaran besar di tengah lapangan dan matahari ada di atas kepala. Mereka melakukan pemanasan dengan giat, maklum tadi sarapan nasi bukan roti seperti dirinya. Dengan seluruh mood yang ada, Niken bergerak asal, baginya nilai guru itu hidup dan mati.

Entah kesialan apa yang sedang bergelayut mesra dengan kehidupan Niken. Jika kemarin dirinya melihat Sivel dan Vista yang pacaran.  Sekarang malah harus berteman akrab dengan olahraga. Sepertinya Niken harus mandi dengan bunga tujuh rupa supaya kesialan jauh darinya. Kalau bisa tidak usah kembali.

Berkali-kali Niken mencoba melempar bola basket dan tidak ada satupun yang masuk ke dalam ring membuatnya makin emosi. Temannya hanya bisa melihat dengan rasa iba.

"Lempar yang benar, Niken!"

"Ini udah benar, Pak. Bapaknya aja yang salah."

"Apa salah saya?" tanya Pak Broto mengerutkan keningnya.

"Bapak ketinggian naruh ringnya, kan saya nggak nyampe, Pak!" ucap Niken sambil manyun lagi. Yang lain hanya bisa menepuk kening mendengar jawaban Niken. Sekretaris satu ini spesial, banyak nawar. Kalau pasar, mungkin sudah dilepas dengan harga rendah karena tidak betah dengan tawaran Niken.

"Lo, yang kependekan Bu sekretaris!" sahut Ainun kesal.

"Gue bukan pendek, cuman kurang tinggi," sahut Niken kesal menatap tajam yang lain, membuat mereka makin keras tertawanya karena bukannya mengerikan, Niken terlihat makin lucu dengan mata sipit yang mendelik.

"Sudah ... sudah. Kamu mengulang minggu depan. Dan bola harus masuk ring minimal sepuluh lemparan."

"Kalo triple, dan tiga kali masuk angka saya sudah sembilan lho, Pak. Jadi, cuman butuh empat lemparan jitu."

"Sepuluh lemparan," ucap pak Broto tegas. "Untuk hari ini, selesai. Yang belum Minggu depan."

"Udahlah, Pak. Toh, materi olahraga saya bagus. Jadi, tidak bisa kah hasilnya dibagi dua?"

Lapangan  makin ramai dengan gelak tawa karena ucapan Niken yang sangat sangat ngawur menurut mereka. Ada ada saja Niken. Dibagi dua? Dia pikir ini kerjasama seperti buka warung gitu???  Niken menatap kesal teman sekelasnya.

"Kalian itu teman gue, belain kek. Ini malah lomba ngetawain," kesal Niken.

"Pak," panggil Sivel dan seluruh perhatian pindah ke dirinya. Tak peduli dengan tatapan itu, dia melanjutkan ucapannya, "Saya kira, Niken tidak akan bisa bermain basket dengan benar kecuali ada tutor."

"Lalu?" tanya Pak Broto yang bisa membaca arah pembicaraan Sivel.

"Nando akan mengajarkan pada Niken cara bermain basket dengan baik dan benar," ucap Sivel tegas.

Seluruh kelas melongo. Jangan lupakan Niken dan Nando yang mendelik. Pasalnya, Sivel yang paling paham tentang Niken. Lalu mengapa Sivel tega melakukan itu pada Niken. Ada apa sebenarnya dengan Sivel? Belum puaskah dia menyakiti Niken dengan kabar bahagia kemarin? Lalu sekarang, memaksa  Niken untuk belajar basket? Yang benar saja. Membunuh perlahan. Itu kesimpulan kelas saat ini.

Namun, bukan Niken kalau dia mundur. Maka, dia maju selangkah lalu mengulurkan tangannya dan dengan tegas Niken berucap, "Saran yang bagus! Makasih, Sivel, atasan sarannya. Kamu memang ketua kelas terbaik." Senyum Niken mengembang dengan terpaksa. Bukankah itu semua harus dilawan bukan menyerah pada keadaan. Kalau Sivel bisa jahat maka dia juga. Cara terbaik saling menyayangi tanpa harus memiliki, saling menyakiti diri sendiri.

Tidak ada yang tahu sakit hati Niken. Tidak boleh ada yang tahu rahasia Niken yang sudah tersimpan rapat. Semoga tidak terkuak.

Sadar atau tidak, semua perlakuan Sivel membuatnya secara tidak langsung menjauhi perasaan itu. Membuatnya tidak mengulangi kebodohan di masa lalu. Membangun lebih tinggi dan lebih kuat tembok di hatinya. Supaya tidak ada yang menerobos masuk lagi. Menghancurkan pertahanan yang selama ini di bangun dengan mengumpulkan puing puing rasa percaya diri bahwa dia mampu hidup tanpa rasa itu.

"Semoga kamu nggak putus asa jadi tutor aku, hihihi," ucap Niken tersenyum riang, menyalami Nando dan berucap jenaka, "gue panggil apa sekarang? Pak guru atau teacher?"

Mencubit hidung Niken, Nando berkata, "Pak Nando gimana?" Menaik turunkan alisnya, membuat keduanya tertawa

"Jadi mulai kapan kita latihan?"

"Sabtu besok."

"Cepet banget? Gue kan butuh persiapan, Nando."

"Persiapan apa?"

"Persiapan diri yang makin meninggi?"

"Nggak usah. Gue akan siapkan semuanya."

"Siap, Pak!" Ucap Niken sambil memberi hormat pada Nando. "Saya boleh ganti baju? Bau asem? Hihi." Setelah itu Niken berjalan menjauh bersama yang lain. Tidak ada yang tahu bahwa air bening itu sudah menetes berkali-kali, tidak boleh ada yang tahu.

Sivel mengamati Niken yang kini menjauh. Hatinya teriris, sangat sakit. Namun demi menguak rahasia Niken, Sivel harus kuat. Bukan hanya karena Sivel ingin menjadikannya kekasih, tapi lebih ingin tahu apa alasan kuat dibalik penolakannya.

"Gue titip Niken. Jaga dia baik-baik," ucap Sivel sambil menepuk bahu Nando kemudian pergi.



Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang