Setelah menyelesaikan makan malamku, aku ingin segera ke kemarku untuk pergi tidur. Karena ini sudah jam delapan malam juga, aku harus segera tidur. Saat sudah di kamar dan bersiap tidur, di dalam hangat dan lembutnya selimut yang aku pakai saat ini. Tiba-tiba wajah Azusa sore tadi terbayang di dalam pikiranku.
Wajah yang memendam kesedihan dan rasa kesepian di dalamnya. Entah kenapa saat memikirkannya, rasa bersalah memenuhi pikiranku. Lagipula yang membuatnya berhenti berusaha untuk mendapat anggota baru adalah aku, jadi sebagian besar ini adalah salahku.
Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku kemudian menutup wajahku dengan selimut dan berusaha untuk tidur. Tapi mataku seolah menolak otakku dan memaksaku untuk bangun. Aku mengubah posisiku menjadi menghadap kanan, tapi tetap tidak bisa. Lalu menghadap kiri, tetap saja tidak bisa.
“Pwaah! Aku kepikiran terus!”
Aku keluar dari selimutku dan terduduk. Percuma saja, saking kepikirannya aku sampai tidak bisa tidur. Rasa bersalahnya terlalu sulit dihilangkan.
“Aku harus memikirkan teman untuk Azusa saat kami lulus nanti. Tapi ....”
Aku menunduk dan menyentuh daguku untuk berpikir lebih jernih. Dan tiba-tiba sekelebat pemikiran tercipta di kepalaku. Mataku melebar karena ide yang tercipta di kepalaku saat ini. Aku berhasil memikirkan caranya, cara agar Azusa tidak kesepian lagi.
“Itu dia ..., itu dia! Akhirnya! Akhirnya ketemu! Yeeaayy!!”
Aku melompat-lompat di atas tempat tidurku karena keberhasilanku saat ini. Dengan ini Azusa tidak kesepian lagi. Saking senangnya aku lupa kalau sekarang sudah malam sampai orang tuaku mengetuk pintu kamarku.
“Yui! Sudah malam jangan berisik!”
“Gekh ...!”
Aku menutup mulutku dan segera turun dari tempat tidur. Sekarang aku mengambil smartphone ku untuk memberitahu yang lain soal rencanaku—kecuali Azusa tentunya. Dan esok hari, tepatnya hari minggu, kami semua setuju untuk berkumpul di sekolah dan menemui Bu Yamanaka.
“Aku yakin akan berhasil,” gumamku yang kemudian terlelap karena mengantuk.
Keesokan harinya kami semua berjanji akan berkumpul di depan gerbang sekolah. Tapi aku bangun kesiangan dan terpaksa terburu-buru berangkat. Orang tuaku yang sudah duduk di meja makan dan sedang memakan sarapannya, melihatku yang terburu-buru sambil memakai seragam sekolah tiba-tiba memanggilku.
“Yui! Kau mau kemana buru-buru begitu?”
“Aku mau ke sekolah, bu. Aku sudah terlambat jadi aku akan melewatkan sarapannya."
“Tapi ....”Meskipun aku bilang aku akan melewatkan sarapannya, tapi aku tetap mengambil selembar roti yang sudah dilapisi dengan selai stroberi di atasnya. Aku kemudian memakai sepatuku dengan cepat dan ibuku juga tidak yang ingin mengatakan sesuatu padaku. Begitu juga dengan ayahku yang menengokku ke arahku bingung karena sikapku yang tergesa-gesa. Setelah semuanya siap, aku pun langsung pergi keluar rumah meninggalkan kedua orang tuaku yang masih menyisakan banyak pertanyaan di kepalanya.
“Aku pergi dulu, ayah, ibu!”
“... Ini kan hari minggu.”
Aku pun terus berlari dan juga tidak lupa untuk memakan rotiku. Oh iya sebagai peringatan saja, jangan makan sambil berlari, lebih baik saat duduk saja. Meskipun begitu, aku tetap melakukannya karena saat ini aku sedang terlambat—jadi ini pengecualian.
Saat sudah berada di dekat gerbang depan sekolah, aku bisa melihat dari jauh tiga orang yang sedang menunggu di depan gerbang yang masih tertutup. Dan setelah menyadari keberadaanku, mereka semua menengok ke arahku. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan tatapan mereka. Dan aku baru sadar kalau ada perbedaan antara aku dengan mereka semua.