"Makan malam sudah siap, Nyonya. Sejak kemarin anda belum makan sama sekali. Nanti anda jatuh sakit. Mari saya antar menuju ruang makan," ujar Helen mencoba membujuk.
Nyonya muda itu menggeleng pelan, seolah menulikan telinga, tidak ingin mendengar apapun selain kabar dari suaminya yang tidak kunjung pulang sejak kemarin. Ia tidak pernah beranjak dari ruang tamu tempat terakhir kali dia bertengkar hebat dengan Saka. Ia terus berada di sana, menanti suaminya pulang.
"Kalau Nyonya sakit, Tuan Saka pasti akan sangat khawatir," rayu Helen lagi.
Mendengar nama laki-laki itu disebut, Aira langsung mendongakkan kepala. "Saka...bohong, dia nggak mungkin khawatir, dia benci sama saya." Sekelibat terlintas kembali raut muka yang Saka berikan untuk terakhir kalinya, tidak ada pancaran kasih sayang seperti yang ia temui di mata laki-laki itu, hanya ada amarah dan kecewa.
Membayangkan kembali saja Aira merasa sangat sesak seperti ada palu godam yang memukul keras tepat dihatinya. Jika ia memiliki waktu untuk memutar waktu kembali, ia tidak akan memilih jalan menyesatkan yang hanya memberikan duri tajam dalam hubungan rumah tangganya. Tapi, Aira tidak bisa. Semua telah terjadi dan sekarang hanyalah ada rasa penyesalan.
"Nyonya..." Helen berhenti melanjutkan ucapannya saat terdengar suara deru mobil, baru saja ia ingin mengatakan sesuatu pada Aira, namun gadis itu sudah lebih dahulu berlari terpontang-panting menuju teras.
Harapan dan senyuman bibir Aira langsung sirna saat melihat seseorang yang turun dari mobil bukanlah orang yang ia harapkan.
"Parah ya lo gue telfonin dari tadi nggak diangkat, Saka juga tumben amat ngilang. Mentang-mentang pengantin baru—" Haikal yang awalnya sibuk mengomeli Aira sembari bermain gawai itu seketika terkejut saat melihat kondisi adik satu-satunya itu. "Dek lo kenapa?" Tanya Haikal khawatir.
Bisa dikatakan kondisi Aira benar-benar berantakan, dua netranya yang membengkak parah, hidungnya memerah, dan terlihat masih ada sisa-sisa air mata yang belum sepenuhnya mengering. Bahkan Haikal yang sejak kecil hidup satu atap bersama gadis itu rasanya baru sekarang dia melihat Aira dalam keadaan terendah seperti ini.
"Lo diapain sama Saka? Kemana dia?" Tanya Haikal dengan nada meninggi, ia meremas bahu Aira agar mau menatapnya. "Lo dibentak sama dia? Atau lo dipukul? Jawab!"
Tubuh Aira bergetar hebat mendengar suara Haikal yang seperti mengintrogasinya. Lelehan air mata kembali mengalir deras. "Bukan Kak Saka....tapi gue," jawabnya lirih.
"Ma-maksudnya? Coba lo ngomong yang jelas biar gue bisa paham."
"Dia...dia..." ucap Aira terengah-engah pernapasannya tersumbat karena terlalu banyak menangis hingga hampir limbung. Melihat itu Haikal langsung membopong adiknya untuk masuk ke dalam dan meminta pelayan membawakan air putih serta minyak angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
8,2 Detik [COMPLETE]
FanficAira tidak menyangka karena sebuah insiden, sahabat dari kakaknya menyatakan perasaan kepada dirinya secara tiba-tiba. Aira tentu tidak gila, mereka bahkan baru berkenalan baru beberapa jam yang lalu. Tentu Aira menolaknya dengan berbagai alasan. "K...