Tak ada pembicaraan sama sekali, mobil yang ditumpangi Aira dan Saka hanya di isi oleh suara tangisan wanita itu. Saka masih kalut dan meredam emosinya, dia masih belum membuka suara sama sekali sejak tadi. Sementara Aira sepertinya karena bawaan hormon, jadi dia sangat sensitif. Melihat Saka diam seperti jauh lebih menakutkan buatnya.
Aira menundukkan kepala sembari terus tersedan-sedan, hingga kepalanya terasa nyeri karena terlalu lama menangis. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan hangat menangkup kedua pipinya, sehingga wajah Aira terangkat keatas. Mata Aira yang berair itu bertubrukan dengan manik mata Saka yang kembali melembut.
"Maaf kalau saya buat kamu ketakukan." Saka mengecup kedua kelopak mata Aira dan mengusap pelan pipi tembam istrinya menggunakan ibu jari. "Jangan nangis lagi, Ra."
"Kamu marah sama aku?" tanya Aira dengan suara terputus-putus.
"Nggak, saya nggak marah sama kamu. Saya marah sama diri saya sendiri karena nggak bisa jagain kamu. Maaf."
Aira tak menjawab ucapan Saka, dia memilih untuk menjatuhkan tubuhnya ke dalam rengkuhan Saka. Aira menemukan kenyamanan di sana, dia tak ingin melepaskan pelukan itu barang sedetik pun. Melihat itu senyum tipis terbit di wajah Saka, ia mengusap lembut punggung istrinya.
"Ra."
"Hm," jawabnya sambil bergumam, tak bergerak sama sekali.
"Lain kali jangan pernah pergi dengan orang lain tanpa sepengatahuan saya. Terutama Wirautama, jauhi orang itu. Jangan pernah berinteraksi atau bertemu dengan dia tanpa seizin saya," ujar Saka dengan nada tegas.
"Kenapa? Dia bukannya Kakek kamu?" Aira melepaskan pelukannya dan menatap Saka menyelidik. "Apa ada sesuatu yang aku nggak tau?"
"Saya nggak bisa jelasin sekarang, yang terpenting kamu jauhi orang itu. Dia orang yang berbahaya."
Aira mengerutkan kening, perkataan Saka sedikit susah untuk diterima olehnya. Entah mengapa ucapan Wirautama sedikit mengusik hati Aira. Apalagi saat melihat Saka yang tak bisa memberikan dia alasan. Apa yang dikatakan Wirautama itu benar?
Saka yang mengerti istrinya itu masih dilanda penasaran, buru-buru ia menarik Aira kembali dalam pelukannya dan mengalihkan pembicaraan. "Kata Sonia kamu tadi pingsan, sampai ke rumah sakit. Sekarang gimana kondisinya? Terus apa kata dokter?"
Seakan tersadar belum memberi tahu berita bahagia ini kepada Saka, Aira langsung melepaskan pelukannya dan menunduk malu. Sementara Saka sendiri dibuat bingung dan penasaran.
"A-aku hamil."
Bersamaan dengan itu mobil terhenti, mereka sudah sampai di rumah. Namun, Saka masih diam di tempat. Dia tidak bergerak sama sekali, hanya menatap Aira kosong dan tak mengeluarkan respon apa-apa.
Merasa suasana mendadak hening, Aira mengangkat kepala dan menatap Saka ragu. Laki-laki itu menatapnya dengan pandangan yang sulit ia artikan.
"Kamu bilang apa tadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
8,2 Detik [COMPLETE]
FanfictionAira tidak menyangka karena sebuah insiden, sahabat dari kakaknya menyatakan perasaan kepada dirinya secara tiba-tiba. Aira tentu tidak gila, mereka bahkan baru berkenalan baru beberapa jam yang lalu. Tentu Aira menolaknya dengan berbagai alasan. "K...