Like A Bird In A Cage

650 52 8
                                    

trigger warning: coming out, homophobic behavior, harsh language.

BUK!

"BAPAK!"

Jeritan histeris dari Ibu tidak juga berhasil menghentikan ayunan tongkat di tangan Bapak. Suara tangis pilu yang keluar dari bibir sang istri dia hiraukan begitu saja. Menulikan telinga dari seruan Aye yang berusaha menenangkan. Wajahnya memerah dengan nafas yang memburu. Amarah menguasai diri sepenuhnya.

Kecewa.

Beliau tidak terima dengan pengakuan sang anak sulung yang selama ini menjadi kebanggaan.

Tidak.

Dia menolak kenyataan.

Tawan harus normal. Dia harus menikah dengan perempuan.

Mau taruh dimana mukanya nanti?

Genggamannya pada tongkat itu semakin mengerat.

BUK!

"MAS TAWAN!"

Aye berseru histeris melihat sang kakak hampir tumbang dari posisinya yang sedang berlutut. Secepat kilat berlari untuk memeluk erat tubuh Tawan. "Bapak udah pak, udah! jangan pukul mas Tawan lagi pak! Aye mohon pak! Aye mohon!" tangisnya meraung.

"Minggir kamu, dek!" beliau memperingati. Nada suaranya tidak meninggi. Rendah, namun sarat dengan kebencian. Aye tetap tidak bergeming dari tempatnya. Semakin mengeratkan pelukan pada tubuh sang kakak.

"MINGGIR BAPAK BILANG!" lelaki paruh baya itu akhirnya meledak juga. Menarik kasar tubuh sang anak bungsu lalu kembali mengayunkan tongkat tersebut ke punggung Tawan.

"SADAR TAWAN SADAR! SADAR KAMU!"

Satu pukulan melayang...

"SETAN APA YANG MERASUKI KAMU HAH?! TOBAT TAWAN!"

...dua pukulan lainnya mengikuti...

"JANGAN IKUTIN NAFSU KAMU AJA! INGET DOSA WAN!"

...di akhiri dengan pukulan berkali-kali.

"BAPAK BESARIN KAMU SUSAH-SUSAH BUAT JADI KEBANGGAN KELUARGA BUKAN MALAH JADI AIB!!"

Tongkat kayu itu terlepas dari genggamannya. Kali ini Bapak menjatuhkan tubuhnya yang lemas karena luapan emosi lalu menangis pilu. "Salah bapak dimana dalam mendidik kamu? ya Allah... cobaan apa lagi ini!" ujarnya frustasi.

Tawan meringis kecil ketika bangun dari posisi berlututnya. Punggungnya terasa perih dan kebas. Wajahnya menunjukkan ekspresi datar. Tidak ada satu titik air matapun yang mengalir di pipi. Ia berdiri dengan tegap. Menatap Bapak, Ibu, dan sang adik secara bergantian. Pemuda itu menarik nafas berat.

"Bapak dan Ibu tidak salah. Memang Tawan begini pak, bu. Aku sudah lama menyimpan semuanya. Dulu Tawan sempat menyangkal mati-matian, sama seperti Bapak sekarang. Tawan berusaha menjadi lelaki yang 'seharusnya' tapi aku capek pak hidup di balik kepalsuan selama ini." dia berhenti sejenak. "Tawan tertarik sama laki-laki pak, bu. Itu faktanya. Kalian gak harus menerima diri Tawan yang begini. Susah pasti, aku paham. Tawan minta maaf jika bagi kalian hal ini adalah aib tapi..." suaranya bergetar.

Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang