Goodbye, Tawan

1K 84 2
                                    

Thi tidak tahu apakah keputusannya kali ini benar atau tidak. Ia juga tidak mengerti kenapa bibirnya tiba-tiba saja mengucapkan nama hotel tempat Tawan menginap kepada supir taksi yang Ia tumpangi.

Thi juga masih belum tahu kenapa kakinya dengan pasti melangkah maju membawanya menuju kamar bernomor 1907.

Ia menghela nafas kasar. Mau apa dia sebenarnya kesini?

Thi tidak tahu. Bingung.

Dia berjanji untuk melepas Tawan. Merelakan perasaannya pada pemuda itu, karena dia tahu, mereka sama-sama tahu, perasaan mereka tidak pernah hanya satu sisi namun keadaan tidak berpihak. Thi menitipkan separuh hatinya untuk Tawan dan pemuda itu membalasnya. Perasaan mereka nyata. Hanya butuh satu lagi pengorbanan yang harus dilakukan agar kebahagiaan itu dapat diraih dan Tawan belum sanggup untuk melakukannya.

Kalau ditanya apa dirinya menyalahkan Tawan, jawabannya adalah tidak. Tidak mudah berada di posisi pemuda itu. Terlahir di keluarga yang konservatif membentuk Tawan menjadi pemuda yang dituntut untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi. Tutur kata serta perilaku santun dengan wajah yang rupawan merupakan kombinasi yang sempurna. Seorang gentleman sejati yang menjadi incaran kaum hawa. Menjaga nama baik keluarga dan kebahagiaan orang tua berada diurutan paling atas kamus hidup Tawan.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Dan karena hal itu lah Thi lebih memilih untuk mengalah.

Dia mundur.

Dia yang akan pergi dari hidup Tawan. Karena sejujurnya... sekalipun dia bertahan, tidak ada masa depan untuk mereka.

Hubungan mereka tidak biasa. Dulu Thi sempat punya pemikiran, seandainya saja dia terlahir menjadi seorang perempuan, semuanya akan berjalan dengan lancar kan?

Hah...

Keputusannya tiga tahun lalu untuk pindah ke Milan mungkin adalah satu langkah terbesar yang Thi ambil selama hidupnya. Benar-benar keluar dari zona nyaman. Tidak menghiraukan kalimat protes yang keluar dari bibir orang tuanya.

Thi bersyukur mama dan papa tidak terlalu saklek terhadap dirinya. Iya, mereka memang suka menuntut Thi untuk menjadi seorang A,B, atau C dan Thi sadar sekali dirinya sering mengecewakan kedua orang tuanya. Oleh karena itu, Thi akan membahagiakan mereka dengan jalannya sendiri.

Papa ingin Thi mengikuti jejaknya menjadi seorang ahli bedah spesialis neuro. Mamanya juga setuju. Menurut mereka profesi tersebut dapat menjamin kehidupan Thi mapan di masa depan.

Tapi Thi tidak. Dia tidak mau. Menjadi seorang dokter bedah tidak ada dalam rencana masa depannya. Label sebagai budak korporat mungkin bagi sebagian orang sangatlah dihindari. Namun bagi Thi, itu merupakan salah satu jalan bagi dirinya agar bisa stabil secara finansial dalam waktu yang lumayan singkat. When you have money, everyone around you will stop talking shit and start licking your ass.

Sad, but it's the truth.

Thi berjanji pada dirinya sendiri untuk membuktikan pada mama dan papa bahwa masa depannya bisa mapan dan bahagia tanpa harus menjadi seorang dokter seperti yang mereka inginkan.

Dan Thi benar-benar membuktikan itu kepada mereka. Dia diterima kerja salah satu perusahaan majalah fasion besar. Satu tahun setelahnya, boss-nya di kantor melihat potensi yang dia miliki dan memutuskan dirinya untuk di transfer ke kantor pusat yang ada di Milan. Posisinya sebagai seorang training and development supervisor cukup membuat dirinya bangga. He made his parents proud despite his sexuality, which is his flaws according to them (and he is not agree at all.)

Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang