Falling For You

839 54 1
                                    

Flashback
XY University
Depok, Indonesia
2008

"Thitipoom!"

Thi menghentikan langkahnya kemudian menoleh kearah asal suara. Ada Singto yang tengah berlari kecil menuju kearahnya. "Hah... bentar." ujar pemuda itu terengah-engah ketika sampai dihadapan. Thi mengerutkan kening, heran.

"Ngapain lari-lari si?" tanyanya. "Minum nih." Ia menyodorkan sebotol air mineral miliknya. Singto langsung menyambar botol tersebut dan tanpa basa basi menenggaknya sampai habis. "Cakep banget lo emang Thi, makasih ye."

"Iya sama-sama. Ada apaan?" tanyanya lagi. "Sambil jalan ayok gue mau ke ruangan bu Dewi, nyerahin makalah."

Singto mengikuti langkah Thi yang mulai berjalan didepannya. "Itu... ikut makrab gak lo?"

"Ya ikut lah. Kenapa emang? lo gak ikut?"

"Bukan gitu... tapi gue denger-denger, ni 'makrab' bakal ngadi-ngadi. Gue ngeri, males banget dulu gue SMA 'makrab' ekskul pecinta alam malah 'begitu'. Gue gak mau keulang lagi. Mental gue terombang-ambing tau gak lo." ujar Singto panjang lebar sembari membuat tanda kutip dengan jarinya setiap menyebutkan kata makrab.

Thi mengangguk paham. "Iya si gue dulu basket juga gitu makrabnya. Tapi kan kita anak psikologi. Kayaknya gak mungkin deh makrabnya kayak 'gitu'. We are studying about mental health after all, masa iya si anak psikologi malah aneh-aneh?" ujarnya. Singto terdiam, agak setuju juga sih.

"Emang lo dapet berita gitu dari siapa? senior?"

"Bukan. Temen gue anak teknik kemaren abis kelar 'makrab' terus ya gitu... kan gue jadi jiper."

Thi menghela nafas pelan. Pantas saja. "Ya kalo teknik mah gak usah ditanya emang 'begitu' anjir."

"Iya si... lagian ngapain si nih pake ada makrab segala. Pret banget keabraban, yang ada dijadiin babu sama senior."

"Lo jangan suuzon dulu, siapa tau senior kita gak begitu."

"Ya gue mah belajar dari pengalaman aja dulu pas SMA. Udah kayak babu, kolekan tiap minggu, senior mau apa harus diturutin. Terus begonya gue mau mau aja gitu dengan mindset 'gue bisa giniin adek kelas pas jadi agit' tolol banget."

"Ya iya tapi kita gak bisa nyalahin senior juga. Mereka dulu digituin sama angkatan atas. Ya jadi ada dendam untuk ngelakuin hal yang sama ke junior mereka nanti. Emang udah siklusnya begitu. Dari akarnya udah salah. Akhirnya malah jadi bullying berkedok 'ngelatih mental' padahal mah ngelatih mental apaan kayak gitu."

"Setuju." Singto mengangguk menanggapi. "Emang udah sistemnya yang salah." lanjutnya.

"Tapi gak bisa dipungkiri sih to emang udah tradisinya begitu? udah rahasia umum juga."

"Harusnya jangan dijadiin tradisi dong. Yang namanya tradisi tuh harusnya yang baik-baik. Ini ngebully dijadiin tradisi tuh gimana ceritanya?"

"Bentar to, gue nyerahin makalah dulu." Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan ruang dosen. Singto mengangguk mengerti. Ia mendudukan dirinya di kursi tunggu yang berada di lorong sementara Thi memasuki salah satu ruangan. Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari kantung celana, mengecek notifikasi yang muncul.

"Singto." ia mengangkat wajah merasa ada yang memanggil namanya.

"Lah wan, ngapain disini?"

Tawan dengan cengiran lebar sedang berjalan kearahnya. "Itu tadi ada dosen siapa gue gak tau bawa tumpukan paper dari mahasiswanya. Kasian gue dia jalan. Gue tebengin aja."

Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang