3 Hati (Part 2)

563 42 6
                                    

Flashback
Setting of time:
around the beginning of 2010

(tw: a little bit hint of homophobic)

"To, lo dulu kenapa bisa mau sama bang nat?"

"Uhuk uhuk!" seketika Singto terbatuk keras, tersedak minumannya akibat terkejut atas pertanyaan tiba-tiba dari Tawan. Ia meletakkan stick playstation begitu saja diatas meja lalu memusatkan perhatian pada sang teman yang sedari tadi duduk melamun diatas sofa.

"Dek, lo main di kamar aja sana. Abang mau ngobrol sama bang tawan." ia berujar pada Pawat, adiknya yang masih duduk di bangku akhir SMA.

Bocah itu berdecak pelan. "Nggak ah." sahutnya acuh, masih memusatkan perhatian pada layar TV.

"Aduh!" ia kemudian meringis sambil memegangi kepala yang baru saja dipukul pelan oleh Singto. "Naik cepetan." ujar pemuda itu dengan nada mengancam. Adiknya itu pun menurut, beranjak dari duduknya lalu berjalan ke atas menuju kamar sembari mendumal, mengutuki sang abang.

Setelah memastikan bahwa hanya tinggal mereka berdua yang ada di ruang tengah rumahnya, Singto mulai menatap Tawan dengan pandangan serius.

"Kenapa tiba-tiba?"

Yang ditanya hanya menghela nafas berat. Menatap kearah Singto dengan pandangan yang cukup sulit diartikan. "Lo jawab pertanyaan gue dulu."

Sebelah alis Singto terangkat naik, sangsi. "Hm..." ia memulai. "Apa ya?" sambungnya dengan pandangan menerawang.

"Ya gue suka sama dia, bang nat ngebuat gue nyaman. Makanya pas dia nembak gue ayo ayo aja."

"Tapi dia pacar cowok lo yang pertama kan?"

Singto mengangguk.

"Terus kenapa lo bisa mau gitu sama dia?"

Kali ini kening Singto berkerut dalam. Tidak mengerti maksud dari temannya itu. "Kan tadi udah gue jawab. Gue suka plus nyaman sama dia."

"Aduuuh!" Tawan berseru gemas. "Maksud gue-" ia menelan salivanya dengan susah payah. Berusaha mencari kata yang pas. "Dia cowok, kenapa lo mau? padahal seinget gue pas kita kelas sepuluh lo ada pacar cewek, terus tiba-tiba pas kelas sebelas lo sama bang nat."

Singto terdiam beberapa saat. Mulai mengerti kemana arah pembicaraan.

"Kayak... kenapa gitu lo bisa suka sama bang nat? aduh to, anjir masa lo gak dapet poin gue sih?"

Rengekan frustasi dari Tawan itu membuat Singto tertawa keras. "Hahaha ini ceritanya lo lagi mempertanyakan kenapa gue bisa jadi homo gitu?"

Tawan memutar bola mata jengah. "So??"

"Hm... gimana ya? gue juga gak bisa ngejelasin sih. Ya gue tertarik sama bang nat, mungkin karena cara dia memperlakukan gue? plus dia dewasa banget, jadi kalo ngobrol ya nyambung aja. I learned a lot from him."

"Udah?"

"Ya lo mau gue jawab apa?"

Tawan menarik nafasnya. Belum menemukan jawaban yang memuaskan. Atau mungkin dia yang salah mengajukan pertanyaannya ya?

"Aduh to..."

"Apasih?!" Singto mulai risih.

"Maksud gue tuh lo kenapa bisa tertarik sama bang nat yang udah jelas-jelas laki? padahal lo kan gak pernah sama laki sebelumnya? kenapa gitu? yang gue tanyain daritadi itu."

"Lo belibet banget sumpah. To the point aja kenapa dari tadi."

"Udah jawab dulu."

"Ya gak tau gue juga. Gue tertarik sama dia. Saat itu tuh gue gak peduli mau dia laki kek, perempuan kek. Gue suka sama dia. Gue mau dia. Titik." jelas Singto. "Gue gak peduliin jenis kelaminnya dia apa. Yang penting gue nyaman, gue sayang. Udah. Simpel." jelas Singto.

Piece of HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang