Chapter 20

3.6K 220 1
                                    

Ragu-ragu Digo melangkah mengikuti kedua orang tuanya. Menginjakkan kakinya ke rumah ini lagi. Rumah penuh kenangan. Rumah yang dulu sempat membuatnya nyaman dan betah. Rumah yang selalu ingin di singgahinya setiap hari. Tapi itu dulu. Sekarang, mungkin ada orang lain yang juga merasa nyaman seperti yang pernah dirasakannya dulu. Mungkin ada orang lain yang setiap hari rela datang ke rumah ini demi melihat seraut wajah imut, menggemaskan dan ayu.

Digo menggeleng, menepiskan sakit yang tiba-tiba hadir menusuk jantungnya hingga berdarah-darah. Ditahannya nafas ketika melihat Papa nya mengetuk pintu tertutup didepannya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

Lima det....

Pintu terbuka. Muncul seraut wajah sumringah penuh senyum.

Tante Mita!

Digo menghembuskan nafas lega. Bukan dia........ Ada sedikit kecewa disana, direlung hatinya paling dalam.

Mereka duduk di ruang tamu yang sama seperti saat mereka datang untuk membicarakan pertunangan dulu.

"O iya, Sisi nya mana Jeng?" tanya Mama Digo yang langsung membuat jantung Digo berhenti berdetak beberapa saat.

"Ada kok, sebentar ya," Tante Mita naik memanggil anak gadis satu satunya untuk turun menemui tamu nya.

Sebentar kemudian, Tante Mita keluar dan duduk kembali ke tempatnya semula.

"Ah iya, sampai lupa. Ini ada sedikit oleh-oleh dari Digo. Maaf ya Jeng, cuma sedikit," Mama menyerahkan sebuah paper bag besar berisi oleh-oleh yang dibelinya di Bali pada Mama Sisi.

Dasar ibu-ibu.... Oleh-oleh sebanyak itu dibilang sedikit. Gerutu Digo dalam hati.

Sepuluh menit kemudian, muncul seorang gadis bergaun terusan selutut, dengan model sederhana berwarna soft blue, berdiri anggun sambil membawa nampan berisi minuman dan makanan kecil.

Gadis itu Sisi. Ia terlihat makin dewasa dan makin cantik.

Digo menatap gadis itu sekilas dan menunduk ketika matanya terbentur dengan tatapan bening milik Sisi.

Jantung nya berdetak cepat.

Setelah meletakkan minuman dan makanan kecil di meja dan mempersilakan minum, Sisi duduk di sebelah Mama nya, berseberangan dengan Digo.

"Digo, gimana penempatanmu di Bali? Sepertinya betah tinggal disana?" tanya Tante Mita tersenyum lebar menoleh pada Digo.

"Eh... Iya... Betah Tan," sahut Digo gugup.

"Hahaha... Iya nih Mit, sampe gak mau pulang. Sibuk katanya," sahut Papa Digo tertawa.

"Maklum lah Mas, dokter baru seperti Digo, masih semangat-semangatnya menjalankan kewajibannya dan mengamalkan ilmunya," balas Tante Mita tertawa.

"Iya Jeng, tadi aja ke resepsi temennya mulai pagi, kalo gak ditelfon, bisa pulang besok ni anak," kata Mama Digo menambahi.

"O ya? Siapa yang nikahan?" tanya Mama Sisi pada Digo.

"Genta, Tan. Temen kampus dulu," sahut Digo sopan.

"Iya, kalo bukan karena undangan nikah temennya, mana mau dia pulang nengok Mama nya di sini," sahut Mama Digo lagi diiringi tawa Papa nya dan Tante Mita.

Sisi mendongak menatap Digo kaget. Digo ada di resepsi itu? Kenapa ia tidak tau? Apa sudah pulang? Atau malah belum datang? Ah... Pasti ia melihatnya datang bersama Dims.

"Wah... Tau gitu kenapa gak barengan Sisi aja?" ujar Mama Sisi antusias.

"Lho, memangnya Sisi juga di undang, Jeng?" tanya Mama Digo.

"Enggak, dia diajak temennya," kata Mama Digo tersenyum.

Digo mengernyit. Mereka belum tau kalo Sisi berhubungan dengan Dims? Serapi itu Sisi menyembunyikan hubungannya? Tanpa sadar Digo mendesah.

"Kamu kenapa, Digo?" tanya Papa nya yang melihat anaknya gelisah.

"Mmm... Gak kenapa-napa kok, Pa. Cuma gerah aja," sahut Digo beralasan.

"Ooo... Kirain kamu kecapekan. Soalnya baru pulang sore tadi," kaya Mama Digo menepuk bahu putranya dengab sayang.

"Mmm... Ma, Pa, Tan.... Digo keluar sebentar ya? Cari angin..." ijin Digo berusaha membebaskan diri dari kecanggungannya. Lama-lama disitu, ia bisa mati kena serangan jantung.

"O iya... Gak pa pa... Si, temenin Digo sana. Sekalian ngelepas kangen gih," celetuk Mama Sisi tiba-tiba, membuat wajah Sisi memerah dan Digo tertegun kaku.

Keduanya beranjak keluar rumah, menuju ke taman samping, di bawah balkon kamar Sisi.

Beberapa saat lamanya hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan.

Digo makin gerah. Ia tidak tahan.

"Si, gimana kabar lo?" tanya Digo basa basi.

Sisi tertegun. Lo? Digo sudah tidak menggunakan istilah aku kamu lagi.

"Baik," angguk Sisi.

"Syukurlah. Mmm.... Dims juga baik kan?" tanya Digo lagi berusaha menekan pedih yang menyengatnya.

"Baik juga," sahut Sisi menunduk meremas jemarinya sendiri.

"Ehm.... Aku... Eh... Gue tadi liat lo sama Dims di resepsi Genta. Mmm... Sorry.... Gue gak nyapa lo.... Takut ganggu," kata Digo tersenyum kecut.

Sisi menatap senyum dihadapannya dengan nelangsa. Sedalam ini gue udah nyakitin dia?

"Mmm.... Digo..." panggil Sisi melirik cowok didepannya.

"Sisi.... Digo...." tiba-tiba aja Mama Sisi memanggil mereka berdua.

Sisi dan Digo saling bertukar pandang sejenak sebelum bergegas masuk kembali ke dalam rumah.

"Nah Sisi, Digo, kami sudah bicarakan dan tentukan tanggal pernikahan kalian," suara bariton Papa Digo menggema di ruang tamu itu. Membuat Sisi dan terutama Digo terbelalak melongo kaget.

"Tapi Pa," ucapan Digo terhenti melihat Papa nya mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa ia tidak menerima segala bentuk bantahan dan penolakan.

Digo menoleh pada Sisi yang dilihatnya hanya menunduk.

"Kami tau, kamu masih terikat dengan kerja dinas kamu di Bali. Tapi papa bisa kok mindahin kamu balik ke sini. Kebetulan kemarin Papa ketemu temen Papa, dia bisa kok mindahin kamu balik ke mari," kata Papanya menawarkan kemudahan.

"Nggak Pa! Digo gak mau! Pa, biarin Digo nyelesaiin ikatan dinas ini dulu, ya Pa?" bujuk Digo berusaha mencegah Papa nya yang ingin memindahkannya.

"Baik kalo itu mau kamu, Papa gak akan menghalangi. Tapi kamu harus menikah sama Sisi tahun ini. Toh tahun ini Sisi akan di wisuda. Jadi apa salahnya kalo kalian menikah. Setelah menikah, Sisi bisa belajar mengurus perusahaan kita," kata Papa Digo sudah mengetuk palu nya.

Digo mengusap tengkuknya, bingung. Ia mencoba mencari jawaban Sisi melalui mata gadis iti. Tapi ia tak bisa melihatnya karena gadis itu terus menunduk. Digo tidak tau apa yang dipikirkan gadis itu sekarang.

Malam itu Digo pulang dengan membawa beban baru. Papanya sudah menetapkan pernikahan mereka lima bulan lagi. Dan karena ia tidak bisa sewaktu-waktu diperlukan untuk persiapan pernikahan, Mama nya memutuskan akan mempersiapkan semuanya dan Digo hanya tinggal tau beres.

(Bersambung)

Lah... Gak pernah pulang, sekalinya pulang dinikahin.....
Wkwkwk..... Cerita gak jelas....

I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang