Digo duduk diam di taksi menuju ke desa tempatnya bekerja. Ada rasa menyesal bahwa ia sudah pulang. Pasti Sisi sekarang makin terpojok.
Setelah pertemuan malam itu, ia tak bertemu Sisi lagi. Kata Tante Mita, Sisi ke kampus bertemu dosen pembimbingnya. Ketika ia menyusul ke kampus ingin menemui Sisi untuk membicarakan pernikahan itu, ia melihat Sisi sedang menangis dalam pelukan Dims.
Cukup sudah! Hatinya makin tercabik melihat Sisi menangis. Perjodohan itu membuat Sisi menderita. Digo kesal karena ia tidak bisa berbuat apa-apa. Papa dan Mama nya tidak mau mendengar alasan apapun darinya. Bahkan ketika ia bilang kalau ia dan Sisi tidak saling cinta, mereka hanya tertawa dan menganggapnya lelucon.
Bbm dari Damar yang menawarkan jasanya untuk menjemput Digo di bandara ditolaknya. Ia ingin sendiri saat ini. Sengaja ia mengubah penerbangannya yang semula siang menjadi penerbangan paling pagi.
Digo merasakan dirinya seperti pengecut yang melarikan diri dari masalah. Tapi ia tidak tau harus berbuat apa. Ia sendiri juga merasakan sakit. Bahkan sakit itu kini makin parah.
Sesampai di rumah dinasnya, ia mengambil kunci mobilnya dan melarikan mobilnya ke Tanah Lot, tempat ia biasa merenung dan menyepi.
Tanah Lot tidak banyak pengunjung saat ini. Mungkin karena sekarang bukan waktu liburan.
Digo duduk memeluk lututnya dan menopangkan dagunya di sana. Memandang ke kejauhan laut, seolah mencari jalan keluar semua permasalahannya.
...........
Rencana awalnya, Sisi ingin menemui Digo sebelum ia berangkat ke Bali. Tapi saat sampai di rumah Digo, Tante Rianti bilang kalo Digo sudah berangkat sejak pagi, karena ada panggilan penting mendadak dari puskesmas tempatnya berdinas yang memerlukan Digo segera.
Sisi merasa tubuhnya lemas mendengarnya. Tadinya ia ingin berbicara banyak pada Digo. Karena jadwalnya di hari senin begitu padat, maka ia hanya punya kesempatan di hari selasa pagi. Ternyata kesempatan itu sirna begitu saja.
Dengan perasaan tidak karuan Sisi pulang kerumah.
Kenapa ia tidak pernah bisa punya kesempatan untuk berbicara dengan Digo? Ia cuma minta satu kesempatan untuk bicara berdua. Tapi tak juga didapatnya.
Sisi masuk ke kamarnya dan menangis di sana. Ia lelah menahan semua ini. Ia ingin meluapkan semuanya. Kemarin, Sisi bertemu Dims di kampus yang sedang mengurus administrasi untuk S2 nya.
Dims yang melihat wajah murung Sisi segera menghampiri dan mendesaknya untuk menceritakan semua bebannya. Dan Sisi menangis disana.
Sisi tidak tau, kenapa sulit sekali untuk berbicara dengan Digo.
...........
Selama empat bulan, Sisi hanya menurut saja ketika Mama mengajak fitting baju, mencari cincin dan segala keperluan pernikahannya. Jujur, Sisi tidak keberatan dengan semua ini. Hampir semua kegiatan persiapan pernikahannya, Sisi ikut terlibat. Ia juga yang memilih sendiri gaun pengantinnya, undangan pernikahannya, catering, gedung, dan semuanya.
Satu yang ia sayangkan tidak ikut terlibat, yaitu saat Digo meluangkan waktu libur seharinya hanya untuk fitting baju pengantinnya atas paksaan Mama nya, dan Sisi tidak bisa berada disana.
Ya, kesibukannya menjelang ujian skripsi membuatnya tidak bisa datang saat fitting baju Digo.
Sisi sedang mencari heels untuk pernikahannya ketika seseorang menyapanya.
"Sisi? Lo Sisi kan?" tanya laki laki itu ragu.
Sisi menatap cowok dihadapannya bingung. Ia tidak mengenal laki laki ini.
"Iya, lo siapa ya?" tanya Sisi mengerutkan keningnya.
"Oh... Maaf, kenalkan gue Damar. Teman seperjuangan Digo di Bali. Dan ini tunangan gue, Livia. Panggil aja Pia," Damar memperkenalkan dirinya dan tunangannya.
"Oh .... Tapi dari mana lo ngenalin kalo gue Sisi?" tanya Sisi karena ia sama sekali belum pernah melihat dan bertemu Damar.
"Hehehe... Karena hampir tiap ada kesempatan, Digo selalu ngeliatin foto lo di hp nya," sahut Damar tertawa.
"Oya?" Sisi menaikkan alisnya.
"Iyalah... Oya, kata Digo, kalian mau married ya? Selamat ya.... Tapi gue heran deh sama Digo, semakin mendekati hari H, kok dia tambah murung gitu ya? Apa dia gugup ya?" kata Damar terkekeh lagi.
Sisi hanya tersenyum. Jadi Digo menyimpan sendiri lukanya. Bahkan Damar yang sama-sama ditugaskan di puskesmas yang sama dan tidur serumah pun tidak tau apa yang terjadi dengan Digo dan perasaannya.
Andai saja ia bisa, ia akan menyusul ke Bali saat ini juga dan menemui Digo di sana.
Setelah ngobrol sebentar, Damar pun pamit. Kini tinggal Sisi yang masih termangu. Kenapa sekarang ia merasa jadi orang paling bodoh sedunia. Orang yang paling tidak peka. Orang yang paling bebal.
Sisi bergegas keluar dari Mall dan segera pulang.
...........
Sidang skripsinya akhirnya selesai sudah. Kini Sisi hanya tinggal menunggu wisuda. Sedangkan hari pernikahan nya semakin dekat. Hanya tinggal menunggu hitungan hari.
Yang Sisi dengar dari Tante Rianti, Digo baru bisa cuti sehari sebelum hari H, agar Digo bisa cuti agak panjang setelahnya. Dan itu artinya, Sisi tetap tidak bisa bertemu Digo sebelum pernikahan itu berlangsung.
Sejak sebulan yang lalu, Sisi sudah mulai bekerja di perusahaan Papa Digo secara hukum sudah di merger dengan perusahaan Mama Sisi. Tapi peresmiannya baru akan dilakukan dua hari menjelang pernikahannya nanti. Itupun Sisi tidak boleh hadir karena ia harus dipingit. Karena Mama nya dan Mama Digo masih mengikuti adat lama, dimana pengantin perempuan harus dipingit terlebih dahulu sebelum pernikahan, maka disinilah ia sekarang. Dirumahnya, dan tidak diperbolehkan kemana-mana.
Bosan juga sebenernya. Apa sebaiknya ia menghubungi Digo? Tapi dia pasti sedang sibuk. Ah... Lagipula Sisi tidak tau harus bicara apa dengan Digo.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You
RandomKetika cinta datang, tak seorangpun bisa menolak. Pun ketika cinta hadir, tak seorangpun bisa menghindar. Cinta yang memilih kita, bukan kita yang memilih cinta.