Chapter 17

3.1K 212 0
                                    

Digo memasukkan stetoskop ke dalam tas nya. Tidak terasa, sudah satu tahun lebih ia bertugas di Bali. Dan sekalipun ia belum pernah mengambil cuti pulang. Puskesmas tempat ia bekerja terletak di sebuah desa kecil di Tabanan. Ia tinggal di rumah dinas bersama Damar.

Digo melirik jam tangannya. Sudah jam tujuh malam. Pasien hari ini cukup banyak. Terutama para ibu-ibu. Semenjak ia dan Damar datang, sambutan penduduk desa ini luar biasa ramah.

"Bro, lo pulang gak?" tanya Damar menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang tidak di tutupnya.

"Ya iyalah Mar," sahut Digo menyambar tas nya dan menyusul Damar.

"Minggu ini lo gak pulang lagi, Bro?" tanya Damar melirik Digo yang menjajari langkahnya.

"Kaya nya nggak deh, Mar. Kalo lo mau pulang, gak pa pa. Gue handle kerjaan lo," senyum Digo menepuk punggung Damar pelan.

"Gue setahun ini udah tiga kali pulang, Bro. Masa lo sekali aja belum pernah pulang?" tanya Damar menoleh memandang Digo.

"Gak lah.... Lo aja, gak pa pa. Gue belum perlu," sahut Digo tersenyum.

"Lo gak pengen ketemu tunangan lo? Kok betah sih lo LDR an? Tunangan lo disamber orang, baru tau rasa lo!" ledek Damar terkekeh.

Digo memandang Damar sekilas dan tersenyum pahit. Buat apa gue pulang? Gak ada yang ngarepin gue pulang. Pun itu tunangan gue. Meskipun Mama dan Papa sudah berkali-kali meminta gue pulang saat liburan, tapi dengan alasan sibuk, semua pasti memaklumi. Batin Digo berbisik nelangsa.

Sesampai di rumah dinas mereka, Digo langsung masuk ke kamar, lalu keluar lagi ke kamar mandi. Damar langsung duduk di ruang tamu yang merangkap ruang santai dan menyalakan televisi.

Selesai mandi, Digo merebahkan dirinya di kasurnya. Tidak sampai setengah jam, Damar mengetuk pintu kamarnya.

"Masuk aja," sahut Digo malas.

"Bro, kita ke kota yuk. Cari makan, laper nih!" ajak Damar.

"Lo aja. Gue males. Lagian udah jam berapa nih? Bisa-bisa kita pulang kemaleman," sahut Digo tidak bergerak dari tempatnya.

"Ya udah, gue jalan dulu ya. Tuh di meja makan ada abon kalo lo mau," tawar Damar.

"Thank's Mar."

Sepeninggal Damar, Digo mengambil ponselnya. Gadis itu sudah melupakannya. Tidak satupun pesan ataupun panggilan untuknya meskipun hanya sekedar menanyakan kabar sebagai sahabat.

Hmmm... Sahabat? Hatinya tidak bisa dibohongi. Mereka bukan lagi sahabat. Karena sahabat tidak akan merubah perasaannya menjadi cinta.

Sulit sekali melupakan sahabat mungilnya itu. Rasa rindu membuncah ke permukaan hatinya. Dipandanginya foto Sisi di layar ponselnya, lalu mengecupnya dengan mata terpejam.

"Aku sayang banget sama kamu, Si. Seandainya kita punya rasa yang sama, mungkin minggu depan aku sudah terbang untuk menjumpaimu dan menumpahkan rindu ini dengan memelukmu erat. Hmmm.... Sedang apa kamu sekarang? Apakah Dims memperlakukanmu dengan baik? Apakah kamu bahagia dengannya? Dan kenapa sampai sekarang kamu belum memintaku melepas cincin ini? Atau malah kamu sudah melupakan pertunangan kita?" Digo menatap cincin di jari manisnya.

"Aku akan tetap menjaga hatiku untukmu, Si." bisiknya mencium cincin di jarinya.

.............

"Hati-hati, Mar," kata Digo saat mengantar Damar ke bandara Ngurah Rai.

"Lo gak nitip apa-apa buat tunangan lo?" tanya Damar terkekeh.

"Nggak. Enak di elo dong," sahut Digo tertawa.

"Emang apa titipan lo?"

"Cium" sahut Digo masih tertawa yang ditimpa tawa keras Damar.

"Hahaha... Kalo itu, sebaiknya lo sampein sendiri, Bro. Gue gak mau jadi pagar makan tanaman," cengir Damar masih terkekeh.

Damar masuk, meninggalkan Digo yang masih termangu di teras bandara. Damar tak pernah tau apa-apa. Yang ia tau cuma Digo masih memakai cincin pertunangan itu dan tetap setia meskipun menjalani LDR dengan sang tunangan.

Digo berbalik menuju mobilnya. Hari masih pagi, puskesmas tutup kalau hari minggu seperti ini. Ia mengarahkan mobilnya ke Tanah Lot, dan hingga sore hari ia masih duduk ditempat yang sama seperti saat ia datang, yaitu di atas dataran yang menjorok tempat ia bisa menatap pura di pulau kecil dekat pantai. Menikmati deburan lautnya seharian. Mengabaikan rasa laparnya. Atau memang ia tidak lapar?

Setelah matahari tenggelam, barulah ia beranjak dari tempatnya menuju ke rumah dinasnya. Malam ini ia sendiri. Tidak ada Damar yang rese bertanya-tanya kenapa ia tidak pulang? Dan apa ia tidak kangen dengan tunangannya? Pertanyaan yang sama setiap liburan datang.

...........

Pagi itu Digo sampai di puskesmas yang sudah ramai dengan pasien. Digo tersenyum. Ia suka kesibukan. Karena kesibukan membuatnya lupa akan luka hatinya.

Digo amat sangat sibuk karena harus menghandle dua pekerjaan sekaligus. Ya Damar baru balik dua hari lagi. Seharusnya bisa saja minggu ini ia yang cuti, tapi ia tidak membutuhkannya.

Saat makan siang, Ni Luh Made Ayu, yang membantunya di puskesmas, memberitahu bahwa ada seseorang yang datang mencarinya, tapi mengetahui ia sibuk, orang itu bilang akan kembali sore hari.

Hmm... Siapa?

Menjelang sore, tinggal pasien terakhir yang sedang ia tangani. Memeriksa lelaki tua bandel yang mempunyai gangguan pada paru-parunya karena terlalu banyak merokok, memberinya resep untuk ditebus di bagian obat. Mengantarnya keluar dari ruangannya.

Digo pun membereskan alat-alatnya dan terakhir stetoskop yang selalu ia masukkan terakhir. Terdengar ketukam di pintu ruang kerjanya.

"Dok, orang yang tadi siang datang lagi," beritahu Ni Luh Made Ayu menunggu reaksi Digo.

"Ya, saya akan menemuinya di luar. Terimakasih Ni Luh," kata Digo tersenyum, lalu melangkahkan kakinya keluar. Ni Luh menghela nafas. Dokter satu ini ngotot memanggilnya Ni Luh meskipun sudah diberitahukan bahwa panggilannya Ayu. Namun Dokter ini bilang, ia suka memanggilnya Ni Luh karena panggilan Ayu sudah jamak digunakan dan tidak mencerminkan ke-Bali-annya.

Digo menutup pintu ruangannya setelah melepas jas dokternya dan menggantungkannya di balik pintu.

Masih ada Pak Nyoman yang membantu di administrasi dan Wayan yang membantu bersih-bersih.

"Pak Nyoman kok belum pulang?" tanya Digo ramah.

"Iya Dok, sebentar lagi. Tinggal beres-beres saja," sahut Pak Nyoman tersenyum mengangguk hormat. Meskipun dokter dihadapannya ini jauh lebih muda darinya, tapi pembawaannya yang santun, ramah dan berwibawa itu membuatnya menaruh rasa hormat dan kagum.

Digo melangkah keluar dari puskesmas dan mendapati sosok dihadapannya seperti tidak asing baginya, berdiri memunggunginya.

(Bersambung)

Naaaaah.... Siapa tuh tamunya??
Tapi sebenernya aku mau nanya, bagus gak sih ceritanya? Atau malah aneh yaaa?
Minta tolong comment nya ya biar aku tau dan bisa perbaiki kesalahan yang aku buat.... Thank's a lot guys.....

I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang