Chapter 24

5.5K 239 1
                                    

Paris kota penuh cinta. Digo dan Sisi kini berdiri di depan Eiffel yang terlihat gagah di siang hari dan cantik di malam hari

Sejak siang mereka tidak beranjak dari situ. Mereka hanya berputar-putar di sekitar menara yang didirikan oleh Gustave Eiffel itu.

Malam makin larut ketika Sisi semakin merapatkan mantelnya.

"Dingin?" tanya Digo melihat Sisi menggigil.

Sisi mengangguk, dan Digo melepaskan mantel yang dikenakannya dan memakaikannya pada Sisi, sementara ia kini hanya mengenakan sweater saja diatas longjohn nya.

"Kamu?" tanya Sisi ketika Digo mengancingkan mantel yang dipakaikan padanya.

"Gak apa-apa, sebaiknya kita balik ke hotel. Toh kita masih bisa melihat menara cantik ini dari kamar kita," ajak Digo merangkul Sisi dan membimbing Sisi kembali ke hotel tempat mereka menginap.

Sesampai di kamar, Digo menyibakkan tirai yang menutup dinding kaca kamarnya, sehingga nampaklah menara cantik berhias duapuluh ribu bola lampu dan delapan ratus lampu disco itu dengan megahnya.

Sisi membuka mantel Digo yang dikenakannya, dan membuka mantelnya sendiri. Lalu mendekati Digo yang masih berdiri di balkon, menatap Eiffel dari sana.

"Digo," panggil sisi teramat pelan, tapi Digo bisa mendengarnya.

"Hmm?"Digo menoleh pada Sisi yang kini berdiri disebelahnya.

Sisi memeluk lengan Digo dan menyandarkan kepalanya ke bahu Digo.

Digo menghela nafas. Kenapa Sisi begitu manja padanya seharian ini? Apa karena pengaruh suasana romantis kota Paris?

Digo melingkarkan lengannya di bahu Sisi dan mengusap-usap kepala yang bersandar di bahunya dengan sayang.

"Digo," panggil Sisi lagi.

"Kenapa, Si?" Digo menunduk melihat ke wajah Sisi.

Sisi mendongak menatap mata Digo lekat.

"Aku mau membuat pengakuan ke kamu," kata Sisi lirih.

"Pengakuan?" Digo menaikkan alisnya.

Sisi mengangguk.

"Dims," kata Sisi menggantung.

Digo tercekat. Sisi masih memikirkan laki-laki itu? Apa ini yang akan di akui Sisi? Aaah ya....ia lupa dengan hubungan Sisi dan Dims...

"Dua minggu setelah kamu berangkat ke Bali, Dims memintaku untuk menjadi bagian dalam hidupnya, menjadi kekasihnya. Aku bingung. Aku gak tau bagaimana perasaanku terhadapnya. Aku minta waktu pada Dims untuk memikirkan permintaannya," Sisi mengambil nafas.

"Dua bulan kemudian Dims meminta jawaban atas pernyataannya. Aku sudah berfikir lama. Aku udah baca surat kamu berulang kali. Dan aku merasa kehilangan. Aku sadar aku salah. Aku udah nyakitin kamu begitu dalam. Aku takut kamu marah sama aku. Aku menolak Dims. Dan Dims mau mengerti," Sisi tersengal. Ia mengambil nafas dalam-dalam.

"Kamu mencintai Dims, Sisi?" tanya Digo miris.

"Selama dua bulan aku berusaha ngerasain dan mencari adanya debaran di jantungku saat aku bersama Dims. Dan aku gak pernah nemuin itu saat bersamanya. Dan kamu tau, aku justru nemuin debaran itu saat aku didekat kamu," Sisi terdiam sejenak menunggu komentar Digo. San Sisi melanjutkan kata-katanya saat tak juga didengarnya suara Digo.

"Meskipun terlambat, aku sadar bahwa aku sudah jatuh cinta sama kamu, sahabat aku sendiri."

Digo menahan nafas mendengar penuturan Sisi. Rasanya tidak percaya mendengar semua itu. Kalau ini mimpi, ia tak mau bangun lagi.

"Apa semua ini nyata? Atau aku cuma mimpi?" gumam Digo.

"Ini bukan mimpi, Digo. Aku ... Aku juga...mencintai kamu, meskipun aku sangat terlambat menyadari semuanya," Sisi mengetatkan pelukannya

Matanya masih menatap Eiffel yang menjulang.

"Kalau benar, kenapa kamu gak pernah ngasih kabar ke aku? Dan... Saat Papa menentukan.pernikahan kita, aku ingin kita bicara. Aku nyusul kamu ke kampus. Dan aku ngeliat kamu nangis dalam pelukan Dims," Digo masih ingin kejelasan untuk memastikan perasaan Sisi.

"Seperti yang aku bilang, aku takut kamu marah. Lagi pula, aku takut ngeganggu kerjaan kamu. Dan... Soal Dims, dia sedang mengurus administrasi untuk S2 nya ketika kami ketemu. Dims nanya kenapa aku terlihat murung, lalu aku menceritakan kegelisahanku dan rasa kangenku padamu ke Dims. Juga sikapmu terhadapku. Rasanya sesak, aku nangis gitu aja. Dan Dims meluk aku untuk nenangin aku," papar Sisi matanya berkaca-kaca. Lega rasanya ia sudah mengungkapkan semuanya.

Digo menghadapkan tubuh Sisi ke arahnya. Ditatapnya mata bening yang mulai basah itu dengan tatapan hangat.

"Maafin aku. Maaf untuk ketidak tahuanku. Maaf untuk ketidak pekaanku. Maaf untuk kebodohanku. Maaf karena sudah menghindarimu dan meninggalkanmu begitu lama. Maaf sudah bersikap pengecut karena selalu lari darimu. Dengan alasan sibuk, aku selalu mendapatkan maklum dari Papa dan Mama yang memintaku pulang. Aku pikir, dengan menyibukkan diri, aku bisa melupakan kamu. Tapi aku tetap tidak bisa. Aku selalu menunggu dengan harap-harap cemas. Takut sewaktu-waktu kamu memintaku untuk melepaskan cincin pertunangan kita," Digo menarik nafas panjang.

Saat Digo membuka mulutnya hendak melanjutkan bicaranya, tiba-tiba Sisi berjinjit, mencium bibir Digo lembut menghentikan niat Digo untuk berbicara lagi dengan penuh penyesalan. Lengannya mengunci leher Digo dengan erat.

Merasakan kedekatan itu, Digo melingkarkan lengannya ke pinggang ramping Sisi, membalas ciuman Sisi dengan hangat.

Sisi makin merapatkan tubuhnya seolah ingin melebur ke dalam diri Digo.

Digo mengeluhkan nama Sisi berkali-kali, membuat Sisi semakin melayang.

Digo membopong tubuh Sisi dan membawanya masuk, menutup pintu  balkon dengan kakinya, dan membaringkan gadis dalam gendongannya di atas tempat tidur besar itu, lalu melanjutkan ciumannya di sana.

Desahan-desahan kecil yang lolos dari bibir Sisi membuat Digo terbang kelangit ke tujuh, dan menyalakan hasrat Digo yang menuntut pembuktian atas cinta mereka berdua.

Malam itu, Sisi merasakan jantungnya berpacu dengan jantung Digo. Berlomba mengejar semua yang tertinggal.

T A M A T

T H E E N D

S E L E S A I

***********************************

I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang