Prolog

1.7K 107 1
                                    

Hi! Hello!

***

Suasana kedai kopi dengan luas yang tak seberapa terlihat begitu ramai karena dijadikan tempat nongkorng oleh muda-mudi yang sedang rehat dari aktivitasnya.

Perbincangan tentang tugas, dosen, himpunan, percintaan, pertemanan, semua bercampur menjadi satu, menambah kesan hangat dari kedai kopi. Aroma kopi yang baru saja dibuat memenuhi setiap penjuru kedai.

Menenangkan bagi Ghian yang sangat menyukai aroma kopi. Aroma kopi selalu berhasil membuatnya lebih tenang dan rileks, terlebih sekarang isi kepalanya sedang dipenuhi oleh beberapa revisi untuk skripsinya. Rasa-rasanya kepalanya bisa meledak kapanpun.

"Mojok aja lu, sendirian lagi, hati-hati kesurupan."

Ghian tersenyum, memijat pelepisnya yang terasa berdenyut karena beberapa hari ke belakang jam tidurnya berantakan, "pusing banget Je, revisi terus engga kelar-kelar."

"Lagian lo kenapa sih buru-buru banget mau keluar dari kampus?" tanya Jeral yang memutuskan untuk duduk di sebalah Ghian, "lihat tuh, adek-adek lu masih butuh bimbingan."

"Dari awal gue masuk, emang target kuliah gue tiga setengah tahun." Ghian menegakkan duduknya, "lagian kalau gue udah jadi alumni bukan berarti gue angkat tangan sama anak-anak di himpunan, selagi gue bisa bantu ya gue bantu."

"Pegel banget jadi lo, Gi. Apa-apa harus ada target." Jeral mengeluarkan rokok dari saku celananya, menyesap rokok tersebut dan mengepulkan asapnya, yang langsung diprotes Ghian.

"Namanya juga hidup, Je."

Jeral hanya mengangguk menanggapi ucapan Ghian. Dia paham betul kenapa teman karibnya ini mati-matian buat lulus hanya tiga setengah tahun, bagi Ghian yang punya ambisi dan tekad yang kuat, ingkar janji terhadap diri sendiri adalah hal yang engga banget.

Jeral yang anaknya santai, ngikutin arus mau ngebawa dia kemana ya engga merasakan apa yang Ghian rasakan. Prinsip Jeral, tujuan utamanya dia hidup adalah berguna bagi orang-orang sekitarnya.

"Mas Jeral, aku mau ijin keluar sama Daffa ya." Sedang sibuk merenung, kemunculan satu sosok berhasil mengalihkan atensi Ghian dan Jeral. Anya, sepupu Jeral.

"Mau kemana, Nya?" tanya Jeral.

"Mau ke Dago Atas, aku mau lihat Kota Bandung dari atas sana," jawab Anya.

"Yaudah boleh, tapi pulangnya jangan kemaleman. Bucinnya tau tempat dan batasan ya, Nya."

Anya mengangguk setuju, saat akan melangkahkan kaki keluar dari kedai, atensinya penuh menatap Ghian, "Mas Ghian, are you okay?" tanya Anya saat menyadari malam ini Ghian terlihat lemas dan seperti tidak ada semnagat hidup, padahal biasanya Ghian yang paling sering ngajak dia ngobrol.

Ghian berdehem sebagai jawaban, memjiat pelepisnya yang semakin berdenyut.

Anya berdecak sebal, berjalan mendekat ke arah Ghian, tangannya sibuk merogoh isi dalam tas sling bag yang ia pakai, "Mas Ghian dengerin nih, punya ambisi dan tujuan boleh, tapi jangan sampai keras sama diri sendiri. Apa artinya semua pencapaian yang Mas Ghian buat kalau tubuh sendiri aja engga dipehatikan." Anya mengeluarkan obat sakit kepala yang ada di dalam tasnya, obat yang wajib ada di tasnya selain obat mag, "nih minum obat aja. Tubuh Mas Ghian tuh lagi protes, didengerin bukannya malah nongkrong."

Ghian terkekeh, kembali menegakkan tubuhnya, "bawel bener sepupu lu, Je." Ghian mengambil obat yang Anya letakkan di atas meja, "makasih ya. Have fun ngebucinnya."

Anya mengangguk, "Mas Jeral mending anterin temennya pulang. Temen sakit kok malah dibiarin bukannya disuruh istirahat," omel Anya sebelum dia meninggalkan kedua insan yang kebingungan. Bisa-bisanya gue diceramahin sama anak SMA.

"Pulang engga lo?" tanya Jeral, melirik Ghian sekilas yang sedang meminum obatnya.

Ghian mengangguk, "gue kayaknya butuh tidur."

"Ya emang, lo butuh tidur bukan butuh americano."

Jeral bangkit dari duduknya menuju meja adik-adik tingkatnya yang sedang berkumpul membahas program kerja untuk pamitan.

Ghian membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja. Tanpa bisa dia tahan, senyumnya terukir begitu saja saat netranya tak sengaja menangkap bekas bungkus obat yang masih ada di meja.

---

So guys, pada akhirnya aku memutuskan untuk merombak sepenuhnya cerita Mas Ghian dan Anya. Alasannya karena cerita sebelumnya jadi melebar kemana-mana dan aku yang menulis jadi ngerasa nggak mengenali tulisanku sendiri.

Jadi aku memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Bismillah, semoga cerita ini bisa selesai dan menemukan kata 'tamat'nya seperti ceritanya Pak Satria dan Mba Caca.

Enjoy the story!

xoxo,

DiniNe

Grow Up: BersenyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang