8. Ayah

482 65 5
                                    

***

Anya merasakan lega luar biasa, ntah alasannya karena apa.

Siang tadi akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Ghian yang kebetulan sekali sedang pulang dan bisa diajak bertemu. Anya tidak tau pasti alasan dibalik rasa leganya yang teramat sangat setelah bertemu Ghian.

Berantem engga, apalagi musuhan.

Pertemuan mereka seperti pertemuan biasanya, makan dan nongkrong di café untuk membicarakan hal-hal yang tidak jelas, kecuali membahas hubungannya dengan seniornya yang tidak jelas.

Kepulangan Anya disambut dengan hangat oleh Sang Ayah yang sedang bersantai di ruang keluarga menonton berita acara.

"Habis darimana kamu?" tanya Alvin.

Anya menghentikan langkah dan niatnya untuk langsung masuk ke kamar. "Pergi sama Mas Ghian."

Alvin mengangguk, "semester kamu udah selesai 'kan?" tanyanya.

Anya mengangguk sebagai jawaban.

"Ayah mau lihat IPK nya, kirim ke Ayah ya IPK nya."

Anya hanya mengangguk sambil lalu menuju kamar tidurnya. Setelah sampai di kamarnya, dia mengirimkan file PDF yang berisi nilai hasil perkuliahannya selama satu semester ini.

Tak lama suara Sang Ayah kembali terdengar, memintanya untuk turun dan keluar dari kamar.

"Kenapa, Yah?" tanya Anya dengan malas.

"Anya serius? IPK kamu 2.8? Masih semester satu lho ini, kamu ngapain aja selama kuliah kemarin? Main dan ikut kegiatan organisasi yang engga jelas?" tanya Alvin tanpa basa-basi.

"Anya masih adaptasi sama dunia perkuliahan, Yah."

"Ayah ijinin kamu kuliah jauh-jauh ke luar kota bukan buat bikin Ayah kecewa dengan nilai IPK kamu ini, Anya. Mau jadi apa nanti kamu?"

Anya menunduk, tak berani membalas ucapan sang ayah.

"Kalau emang niat kamu kuliah cuman buat main-main, mending keluar aja. Gak usah bayar buat semester depan, mending ayah jodohin kamu aja." Setelah ucapannya itu, Alvin bangkit dari duduknya, menghela nafas dengan kasar dan meninggalkan anak sulungnya sendiri di ruang keluarga yang sepi.

Anya masih menduduk, ada rasa sesak di dadanya. Ayah selalu seperti itu, langsung ngomel tanpa mau mendengarkan ucapannya terlebih dahulu, mendengarkan alasannya kenapa bisa IPKnya dibawah tiga. Untuk kesekian kalinya, dia menangis karena Ayahnya.

***

Jam makan malam Anya tak berniat sama sekali untuk keluar dari kamarnya, dia masih kesal dan tidak mau bertemu dengan Sang Ayah. Selain karena matanya sembab, Anya takut emosinya meledak di depan Ayahnya. Jadi walaupun rasa lapar menyerangnya dia berusaha mengabaikan dan kembali bergelung dengan selimut.

"Teh, disuruh turun dan makan sama bunda." Pintu kamar terbuka dan muncul Dana di balik pintunya.

"Engga makan. Aku lagi diet," jawab Anya tak acuh.

Dana berdecak sebal, "yaudah terserah." Dan pintu kembali tertutup.

Dia kembali sibuk menyelami media sosial, mengalihkan segala rasa sesak di dadanya dengan menonton konten kpop yang selalu berhasil menyembuhkan kesedihannya untuk sementara waktu.

Suara pintuk kembali terbuka, "Anya kamu yakin engga mau makan?" tanya Bunda.

Anya menggeleng sebagai jawaban dan fokus menonton konten kpop di ponselnya.

Bunda menghampiri anak sulungnya, mengelus kepalanya dengan lembut, "kenapa? Berantem lagi sama Ayah?" tanya Bunda.

Anya diam, tak berniat menjawab. Bukan enggan, tapi dia sedang menahan air matanya untuk tidak keluar, ntah kenapa ketika bunda melontarkan pertanyaan 'kenapa?' air matanya tiba-tiba heboh meminta keluar.

Grow Up: BersenyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang