Hallo!
\
\
\
\
\
\
***
Ghian sibuk menyelami pikirannya, mengabaikan film yang sedang ia putar dari laptopnya. Hanya 15 menit dia bisa benar-benar fokus menonton film di depannya, setelahnya fokus menghilang, pikirannya melanglangbuana jauh mendatangi satu kota dengan jarak beratus-ratus kilometer dari tempatnya berada sekarang.
Hampir satu minggu Ghian berusaha menyibukkan diri dengan penelitian, dan pada akhirnya fokusnya akan sebagian menghilang jika dia sudah memikirkan Anya. Seperti dunianya ditarik begitu saja, dan tiba-tiba ngeblank engga tau apa yang sedang dia lakukan pada saat itu. Kayak orang linglung, kalau kata Franda.
"Nah kan, ngelamun lagi." Franda berdiri di ambang pintu, menyandarkan salah satu bahu dan kepalanya ke kusen pintu, mengamati si pemilik kamar yang sedang melamun lagi untuk kesekian kalinya.
Ghian berdecak sebal, menekan spasi di keyboard laptopnya untuk menjeda film yang sedang berputar, "gak sopan banget main buka pintu kamar sembarangan."
Franda menghela nafas, mengetuk daun pintu yang jelas sudah terbuka, mengerlingkan matanya, "gue udah ketuk pintu hampir tiga kali, tapi yang punya kamar engga nyaut. Gue kira udah molor, eh taunya lagi ngelamun."
Ghian mendengus, "kenapa?" tanyanya.
"Mau makan engga? Laper." Franda masuk ke dalam kamar Ghian tanpa menunggu ijin dari si empunya kamar, dan merebahkan badannya di kasur single bed dengan posisi melintang sehingga sebagian badannya dari paha sampai kaki menggantung.
"Males keluar," jawab Ghian singkat.
"Hello, kita hidup di jaman teknologi yang canggih, engga usah primitif deh. Kan bisa pake layanan ojek online."
Ghian mengangguk malas, memilih untuk membuka beberapa jurnal yang harus ia pelajari dan membalas beberapa email, "atur dah."
"Fast food? Atau warteg? Apa nasi padang? Apa angkringan?" tanya Franda, tangannya sibuk berselancar di layar ponselnya, mencari makanan yang menggugah seleranya.
"Terserah," jawab Ghian singkat.
Franda ingin sekali melempar kepala Ghian dengan barang apapun yang berhasil membuat dia pendarahan, tapi dia berusaha sabar dan maklum kalau mood teman—ralat—mantannya ini sedang tidak dalam kondisi yang baik. Jadi dia memutuskan untuk memilih makanan yang mereka berdua suka, base on their relationship a years ago.
"Lo kenapa sih, bestie?" tanya Franda setelah dia selesai memesankan makanan. Dia bangkit dari rebahannya, masih duduk di atas kasur Ghian, menatap temannya yang sedang menyibukkan diri di depan laptop.
"Gue kenapa emang?" Ghian balik bertanya.
"Lagi galau mungkin?"
"Sok tau."
"Ya makannya cerita, jangan kayak cewek deh maunya cuman dingertiin doang. Gue bukan dukun kali yang bisa baca pikiran orang!" sungut Franda. Mulutnya masih misuh-misuh engga jelas karena jengkel sama sikap Ghian akhir-akhir ini.
"Syukurin!" Ghian mengalihkan atensinya, membalikan badannya sehingga berhadapan dengan Franda yang sedang duduk di kasurnya, "akhirnya lo merasakan apa yang gue rasakan dulu pas lo masih jadi pacar gue. Kalu lagi kesel ditanya kenapa jawabnya gapapa, gue cuekin makin menjadi keselnya. Kalo kesel tuh ngomong, gue bukan dukun yang bisa baca pikiran orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up: Bersenyawa
ChickLit[END] "Gue orangnya selalu fokus sama tujuan dan dia adalah tujuan gue. Tapi kalau pada akhirnya usaha yang gue lakukan tidak dihargai, bukankah artinya gue harus mencari tujuan lain?" -Ghian Barrananta- "Jatuh cinta nggak selalu menyenangkan, ada k...