10. Berdamai

524 60 3
                                    

***

Perlahan kaki Anya melangkah dengan ragu memasuki halaman rumahnya. Setelah semalaman menangis di pelukan Mami Jeral, akhirnya Anya mau pulang ke rumah karena Bunda yang memintanya untuk pulang.

Kali ini Anya pulang diantar oleh Papinya Jeral yang ternyata tidak bisa mampir karena ada urusan di suatu tempat. Maka dia memasuki pekarangan rumahnya sendiri dengan pikiran yang bercabang dan ketakutan yang tiba-tiba datang begitu saja.

Bunda menyambut Anya di teras rumah dengan senyumannya tapi ada sorot sedih yang terpancar dari matanya. Begitu Anya berdiri di depan sang Bunda, beliau langsung menariknya ke dalam pelukannya, menangis sambil mengelus sayang kepala si sulung.

Anya berusaha menahan tangisnya.

"Bunda, Anya belum mandi," ucap Anya dengan lirih.

Bunda menghentikan tangisnya, melepas pelukannya dan mengelus lembut pipi anak sulungnya, berusaha memberikan senyum terbaiknya, "iya, Bunda lupa. Kamu mandi dulu ya, nanti kalau udah selesai Bunda mau ngomong sama kamu."

Anya mengangguk, jujur berbicara dengan Bunda hanya berdua saja selalu Anya hindari karena akan menjadi canggung. Anya bukan tipe anak yang gampang cerita apa-apa ke orang tuanya, apalagi masalah pribadinya. Rasa canggung akan menyelimuti dirinya sendiri, dan Anya engga suka nangis di depan Bunda.

"Ayah lagi kerja, engga usah takut," ucap Bunda saat menyadari Anya melangkah ragu memasuki rumahnya.

Mendengar ucapan sang Bunda maka Anya melangkah mantap memasuki rumahnya menuju kamar tidurnya dan bersiap membersihkan diri.

Setelah selesai mandi dan berkaca di depan cermin meneliti wajah bengkak karena hampir semalaman ia menangis. Dia terkekeh, mukanya benar-benar bengkak seperti habis dikeroyok satu kampung.

Bunda masuk ke kamar dengan satu mangkok mie rebus pakai telur engga lupa satu cabe rawit kesukaan Anya.

"Teteh paling suka kalau Bunda masakin kamu mie instan sepulang sekolah, tapi Bunda selalu bawel ngelarang Teteh makan ini, karena Bunda takut kamu sakit. Tapi sekarang pengecualian, Bunda bikinin mie instan spesial buat kamu."

Anya tersenyum menghargai usaha sang Bunda dan memakan mie instan tersebut dengan lahap, "makasih, Bun."

Karin mengangguk merespon ucapan anaknya, memperhatikan bagaimana anak sulung dan perempuan satu-satunya makan dengan lahap. Dalam hatinya ada rasa getir dan rasa bersalah yang tak kunjung usai saat mengetahui perasaan anaknya selama ini. Mengingat kapan terakhir momen berduaan dengan si Sulung ini, mendengerkan isi hatinya, dan bertanya tentang mimpinya.

Karin selama ini terlalu fokus dengan Arya yang usianya tarpaut 10 tahun dengan si sulung. Setelah kelahiran Anya, dua tahun kemudian Dana hadir dan benar-benar memberikan warna di hidupnya bersama Alvin.

Alvin yang sangat menginginkan kehadiran anak lelaki, begitu hadirnya Dana, semua perhatian tertuju pada anak lelakinya. Kembali rasa bersalah itu menghampirinya, kurangnya dia memberikan pemahaman kepada Anya, dan selalu menuntut Anya untuk mengerti posisinya tanpa menjelaskan kenapa dia ada di posisi tersebut.

Air matanya tanpa sadar mengalir, baru menyadari bahawa si Sulung yang selalu ia lihat sangat kuat dan selalu mengalah kepada adik-adiknya, ternyata mempunyai hati yang rapuh. Hati yang seharusnya ia dan suaminya jaga, bukan hanya hati anak bungsunya saja.

"Bunda, Anya engga mau nikah," ucapnya lirih, setelah menghabiskan satu mangkok mie instan buatan Bunda.

Bunda mengangguk, "engga akan, sayang. Bunda akan pastikan, kamu tetap kuliah dan menjadi apa yang kamu mau."

Grow Up: BersenyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang