#2 Benih Cinta

27 7 1
                                    

"Cinta tidak selalu datang dengan ledakan besar. Terkadang, ia hadir dalam bentuk senyuman sederhana, atau percakapan kecil yang menghangatkan hati. Seiring waktu, cinta tumbuh, seperti benih yang tersembunyi di dalam hati, menyusup perlahan-lahan menjadi bagian hidup. Ketika menemukannya, peluklah dengan lembut, karena cinta yang tumbuh dari dasar hati akan selalu membawa kebahagiaan yang mendalam."

***

Matahari pagi menyapu lembut dinding dapurku dengan cahaya hangat, membuat ruangan itu terasa lebih hidup dari biasanya. Aku berdiri di meja, memotong sayuran dengan penuh konsentrasi. Aroma bawang dan tomat mengisi udara, menciptakan suasana yang nyaman dan familiar.

Aku teringat hari pertama bertemu Zuhair Arlando, seorang arsitek muda yang dipilih untuk membantu renovasi restoran. Dia datang dengan sketsa-sketsa kasar, sikap serius yang membuatku sedikit enggan berinteraksi dengannya. Tapi lambat laun, perdebatan kami tentang desain dapur kafe, sesuatu yang awalnya hanya pekerjaan, berubah menjadi sesuatu yang lebih berarti.

Berulangkali melihat jam dinding, menunggu  kedatangannya seperti biasanya. Sebuah ritual baru yang tak kusadari telah menjadi bagian dari keseharianku. Rasanya aneh, tapi sekaligus membuatku merasa hidup. Aku tak pernah menyangka bahwa melalui proyek dapur ini, aku bisa merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang.

Ketika jam dinding menunjukkan pukul sembilan, sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatianku dari pekerjaan dapur. Aku bergegas membuka pintu dan disambut oleh senyumnya yang khas, seolah semua beban dunia sirna di saat itu juga.

“Pagi,” sapanya sambil masuk. Kami sudah cukup akrab untuk saling menggunakan bahasa formal, seperti dua orang yang saling memahami meski tanpa perlu berbicara banyak.

Aku tersenyum, menyiapkan teh hangat yang biasa dia sukai. “Ada perubahan lagi dengan sketsanya?”

Dia meletakkan map di meja dan mulai membuka kertas-kertas desain. “Iya, aku berpikir untuk menambahkan elemen yang lebih sederhana di area bar. Aku ingin mengombinasikan rak terbuka dengan rak tertutup, seperti yang kau usulkan sebelumnya.”

Aku melihat sketsa baru yang dia bawa, mata kami beradu saat membahas setiap detail. Dalam setiap diskusi, selalu ada ketegangan ringan di antara kami, tapi bukan karena perselisihan. Lebih kepada bagaimana kami mulai memahami satu sama lain, lebih dalam dari sekadar rekan kerja.

“Ini lebih baik,” kataku setelah melihat usulan barunya. “Aku suka bagaimana kau menggabungkan fungsionalitas dan estetika. Aku bisa membayangkan dapur ini penuh dengan aroma kopi dan tawa pelanggan.”

Zuhair tertawa pelan. “Itu tujuan utamaku, menciptakan ruang yang tidak hanya cantik tapi juga mengundang kehangatan. Sama seperti suasana yang selalu kau ciptakan di restoran ini.”

Ada sesuatu dalam ucapannya yang menyentuh hatiku. Kalimat sederhana itu membuatku teringat bahwa di balik profesionalismenya, ada kehangatan yang ia sembunyikan. Kami berdua diam sejenak, menikmati momen tersebut tanpa perlu kata-kata.

Waktu terus berjalan, dan setiap pertemuan dengan Zuhair membawa kebahagiaan baru dalam hidupku. Kami mulai berbagi cerita, tidak lagi sebatas pekerjaan. Dia sering bercerita tentang keluarganya yang tinggal di luar kota, tentang kecintaannya pada musik dan hobinya bermain gitar di sela-sela kesibukannya sebagai arsitek. Aku, di sisi lain, perlahan mulai terbuka tentang masa laluku, tentang bagaimana kafe ini adalah warisan keluargaku dan caraku untuk terus merasa terhubung dengan mereka yang telah pergi.

“Kadang aku merasa hidup ini seperti desain yang belum selesai,” ucapnya suatu sore ketika kami duduk di teras restoran. “Ada banyak ruang kosong yang perlu diisi, dan aku tak pernah tahu kapan waktunya untuk berhenti mengubahnya.”

Aku menatapnya, mengagumi ketulusan di balik kata-katanya. Zuhair mungkin adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa nyaman dalam kebingungan. “Aku tahu perasaan itu,” jawabku pelan. “Kadang aku juga merasa seperti itu, terutama sejak… kepergian orangtuaku.”

Momen itu, saat kami berbicara tentang hal-hal yang begitu pribadi, adalah titik balik hubungan kami. Dari situ, aku tahu bahwa apa yang aku rasakan untuk Zuhair bukan lagi sekadar rasa nyaman karena kebersamaan. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang tumbuh perlahan seperti benih yang tersembunyi di dalam hati.

Hari-hari terus bergulir, dan setiap detik bersama Zuhair membuatku merasa lebih hidup. Aku bisa merasakan bagaimana kami perlahan-lahan saling mengisi ruang kosong dalam hidup masing-masing. Dia adalah seseorang yang hadir tanpa harus banyak berkata-kata, tapi keberadaannya memberikan makna baru dalam kehidupanku yang sempat terasa hampa.

Suatu hari, ketika kami selesai menyusun rencana akhir renovasi dapur, Zuhair menatapku dengan tatapan yang berbeda. Tidak ada kata-kata yang terucap, tapi aku bisa merasakan perubahan itu—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan.

“Elvina,” panggilnya pelan, “aku senang kita bisa bekerja bersama. Tapi lebih dari itu, aku senang kita bisa mengenal satu sama lain.”

Hati kecilku bergetar mendengar ucapannya. Aku mengangguk, berusaha menenangkan perasaanku yang mulai tak teratur. “Aku juga, Zuhair. Kau memberikan warna baru dalam hidupku.”

Dan di sanalah, tanpa kami sadari, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara kami. Tidak ada pengakuan besar atau janji manis, hanya momen-momen kecil yang kami lalui bersama, dan dari situ, aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kehadiran Zuhair adalah angin segar yang memberikan harapan baru, membuatku percaya bahwa cinta bisa datang dalam bentuk yang paling tak terduga.


Kota Udang, 17 September 2024

Pencinta Warna Biru 💙

Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang