#4 Keseimbangan yang Rapuh

17 6 1
                                    

"Keseimbangan dalam cinta bukanlah tentang selalu memahami segalanya, tetapi tentang bertahan, saling mendukung, meski di tengah keraguan dan ketidakpastian."

---

Hari-hari bersama Zuhair selalu membawa kebahagiaan bagi hidupku. Setiap pagi dimulai dengan senyum dan setiap malam berakhir dengan kehangatan. Rasanya seolah aku telah menemukan seseorang yang bisa mengisi setiap ruang kosong di hatiku. Zuhair adalah seseorang yang hangat, perhatian, dan mampu membuatku merasa tenang bahkan dalam keheningan. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang tak pernah bisa kusentuh, bagian dari dirinya yang terasa jauh, misterius.

Beberapa bulan terakhir, aku mulai merasakan perubahan kecil dalam sikapnya. Bukan sesuatu yang besar, tapi cukup membuatku sadar bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggunya. Ada kalanya, di tengah tawa dan kebersamaan kami, dia akan tiba-tiba terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Matanya yang biasanya bersinar hangat berubah menjadi datar, seolah menatap jauh ke tempat yang tak bisa kugapai.

Malam itu, ketika kami sedang makan malam di balkon apartemenku, aku memperhatikan sekali lagi bagaimana Zuhair terlihat berbeda. Cahaya senja yang lembut membingkai wajahnya, tetapi ada bayangan kekhawatiran di balik senyumnya. Suara sendok yang menyentuh piring terdengar lebih keras daripada biasanya, karena percakapan kami terasa terhenti.

"Zuhair," aku memulai perlahan, "Kau baik-baik saja, kan?"

Dia menatapku sebentar, lalu mengangguk dengan senyuman kecil yang tidak sepenuhnya meyakinkan. "Aku baik, Vin. Hanya sedikit lelah, itu saja."

Namun, aku tahu itu bukan seluruhnya kebenaran. Sesuatu di dalam diriku mengatakan bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang tak bisa atau tak ingin dia bagi denganku. Sebagai seseorang yang selalu berusaha memahami orang lain, terutama Zuhair, aku merasa tidak berdaya menghadapi kebisuan ini. Ketidakpastian mulai menjalar dalam benakku—apa yang dia sembunyikan? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?

Perasaan tidak aman mulai muncul, membayangi setiap kebersamaan kami. Meskipun Zuhair tidak pernah memberiku alasan untuk meragukan cintanya, ada momen-momen di mana aku merasa jauh darinya, seolah-olah ada tembok tak terlihat yang mulai terbentuk di antara kami. Aku ingin menembus tembok itu, tapi setiap kali aku mencoba, dia hanya tersenyum, seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Malam itu, setelah dia pergi, aku merenung lama di kamar tidurku. Dingin kamar terasa semakin menusuk, meskipun aku sudah menyelimuti diriku dengan kain tebal. Pikiran tentang Zuhair, tentang keheningannya, terus mengusikku. Apakah aku terlalu keras pada diriku sendiri? Mungkin dia hanya lelah, mungkin aku yang terlalu cemas. Tapi mengapa perasaan ini terus menghantuiku? Keseimbangan hubungan kami yang selama ini terasa kokoh, kini terasa rapuh.

***

Hari-hari berlalu dengan perasaan yang sama. Zuhair masih menjadi kekasih yang perhatian, selalu ada di sisiku, tapi entah mengapa aku mulai merasakan jarak yang tak terucapkan di antara kami. Ada malam-malam di mana dia datang ke apartemenku dengan wajah murung, hanya duduk di sofa tanpa banyak bicara. Ketika kutanyakan apa yang salah, dia selalu menjawab singkat, seolah mencoba menutupinya.

“Zuhair, apa kau yakin tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku?” Aku bertanya suatu malam, ketika dia terlihat sangat lelah.

Dia menatapku, matanya sayu. “Aku hanya... banyak memikirkan pekerjaan, Vin. Semua ini—beban tanggung jawab, tekanan dari klien. Terkadang, itu terasa terlalu berat.”

Aku ingin mempercayainya, benar-benar ingin. Tapi ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam caranya menghindari kontak mata, yang membuatku merasa bahwa bukan itu saja yang membebani pikirannya. Aku ingin bertanya lebih dalam, tetapi di saat yang sama, aku tak ingin menekannya. Mungkin benar, ini hanya tentang pekerjaan.

Namun, perasaan itu terus menghantuiku. Aku tidak bisa mengabaikan bayangan yang menyelimuti kebahagiaan kami. Aku merasakan kecemasan yang perlahan tumbuh di dalam diriku, menggerogoti fondasi hubungan yang telah kami bangun bersama. Aku takut kehilangannya, tetapi aku juga tak tahu bagaimana cara menyelamatkan hubungan ini dari kehancuran yang mungkin tidak sepenuhnya nyata.

Suatu hari, saat aku sedang bekerja di dapur restoran, pikiranku kembali melayang pada percakapan kami semalam. Kata-katanya, wajahnya yang terlihat murung, terus terngiang dalam benakku. Apakah ini semua hanya imajinasiku? Apakah aku yang terlalu sensitif?

Chef Andre, atasanku, memperhatikanku melamun dan menegurku dengan lembut, “Elvina, kamu baik-baik saja? Hari ini kamu terlihat tidak fokus.”

Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekacauan dalam pikiranku. “Iya, Chef. Maaf, hanya sedikit kelelahan.”

Namun, bahkan aku tahu itu bukan sekadar kelelahan. Aku merasa kehilangan kendali atas perasaanku sendiri, seperti berjalan di atas tali tipis, mencoba menjaga keseimbangan di tengah angin yang kencang. Zuhair adalah pusat duniaku, tetapi sekarang, duniaku terasa goyah.

***

Malam itu, ketika Zuhair datang lagi, aku memutuskan untuk tidak menyimpan lagi perasaan ini sendirian. Kami duduk di ruang tamu, dan tanpa menunda lebih lama, aku menatapnya dengan serius.

“Zuhair, aku ingin kita bicara,” kataku. “Aku merasa ada sesuatu yang salah... Aku ingin kau jujur padaku.”

Zuhair terdiam sejenak, lalu menundukkan kepalanya. “Aku tahu aku telah membuatmu khawatir. Tapi percayalah, ini bukan tentang kita. Aku hanya... ada hal-hal dalam hidupku yang masih sulit untuk kuceritakan. Ini bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi... aku belum siap.”

Hatiku terasa hancur, tapi aku menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku di sini untukmu, Zuhair. Aku ingin mendukungmu, apa pun itu.”

Dia menatapku, matanya penuh dengan penyesalan. “Aku tahu, Vin. Dan aku sangat menghargai itu. Aku hanya butuh waktu.”

Keheningan panjang menyelimuti kami. Saat itu aku menyadari, mungkin ada bagian dari Zuhair yang tak akan pernah bisa kugapai, tak peduli seberapa keras usahaku. Namun, aku juga tahu bahwa cinta adalah tentang kesabaran dan pengertian. Meskipun keseimbangan kami terasa rapuh, aku bertekad untuk tetap berada di sisinya, tanpa syarat.

Kota Udang, 20 September 2024

Pencinta Warna Biru 💙

Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang