Waktu berlalu lebih cepat dari yang kupikirkan. Setiap hari terasa seperti sebuah perjalanan kecil menuju pemahaman baru tentang diriku sendiri, tentang luka-luka yang masih terasa segar, dan tentang bagaimana aku bisa hidup berdampingan dengan masa lalu. Ada satu hal yang mulai kupahami perlahan: rasa sakit itu mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang, tapi aku bisa belajar untuk mengelolanya. Aku tidak perlu selalu kuat, tapi aku bisa memilih untuk tidak terus tenggelam dalam luka.
Hari ini, aku duduk di ruang tamu apartemenku, membiarkan aroma teh melati yang baru saja kutuangkan memenuhi udara. Di luar jendela, matahari sore mulai memudar, menggantikan siang yang cerah dengan langit berwarna jingga yang menenangkan. Suasana seperti ini membuat pikiranku mengalir lebih jernih. Aku mulai merenungkan bagaimana keadaanku sekarang, dibandingkan beberapa bulan yang lalu.
Dulu, setiap pagi adalah perjuangan berat. Bangun dari tempat tidur saja terasa seperti tugas paling sulit di dunia. Kematian Zuhair mencabik seluruh jiwaku, membuatku merasa kehilangan arah dan tujuan. Aku hidup dalam bayang-bayang kenangan dan ketakutan yang tak kunjung hilang. Saat itu, aku tidak bisa membayangkan bahwa aku akan sampai pada titik di mana aku bisa berdamai dengan rasa sakit itu.
Tapi sekarang, segalanya mulai terasa sedikit lebih ringan.
Aku mengambil secangkir teh dan menyesapnya perlahan. Suhu hangatnya membawa kenyamanan yang sederhana. Mataku memandang ke arah sofa di mana Zavier pernah duduk beberapa kali. Setiap pertemuan dengannya selalu memberiku sedikit lebih banyak kekuatan. Meskipun aku ragu pada awalnya, kehadirannya membantu menyelaraskan emosiku, seperti jangkar yang membuatku tetap berdiri ketika arus kehidupan terlalu kuat. Tidak hanya Zavier, tapi juga Shania dan Ethaniel—mereka adalah kompas yang membantuku menemukan jalan kembali ke diriku sendiri.
***
Dalam sesi terapi terakhir dengan Ethaniel, kami berbicara tentang bagaimana aku bisa menemukan cara mengelola emosiku. Setiap kali rasa takut atau kesedihan datang, alih-alih menolaknya, aku mulai belajar untuk merangkul perasaan-perasaan itu. Ethaniel mengajarkanku untuk melihat emosi negatif sebagai tamu yang datang sebentar, bukan penguasa yang mengambil alih seluruh hidupku.
“Elvina, ketika rasa sakit itu datang, izinkan dirimu merasakannya, tapi jangan biarkan itu mendominasi segalanya,” katanya. “Kamu punya kendali untuk memilih bagaimana kamu akan meresponsnya.”
Kata-katanya terdengar sederhana, tapi dalam praktiknya, aku tahu tidak semudah itu. Ada hari-hari di mana rasa sakit masih menghantamku dengan begitu kuat. Seperti hari ulang tahun Zuhair yang baru saja lewat. Saat tanggal itu tiba, aku merasa seperti tenggelam kembali dalam kesedihan yang dulu begitu familiar. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak lagi berlari dari rasa sakit itu.
Aku mengizinkan diriku untuk menangis, untuk merasakan setiap luka yang terbuka kembali. Tapi di akhir hari, aku bangkit. Aku memilih untuk fokus pada kenangan-kenangan manis yang kami bagi, bukan hanya kehilangan itu sendiri. Aku ingat saat kami berjalan di tepi pantai, tertawa sambil menghindari ombak yang datang. Kenangan itu memberiku kedamaian, bukan hanya rasa kehilangan.
Itulah titik di mana aku mulai mengerti bahwa mengelola emosi tidak berarti mengabaikannya. Justru, dengan menghadapi perasaan-perasaan itu secara langsung, aku bisa melepaskan sebagian dari beban yang selama ini kugendong.
***
Aku merasakan getaran ponsel di saku celanaku. Sebuah pesan masuk dari Zavier.
“Bagaimana harimu, Vin? Aku punya waktu luang hari ini. Mungkin kita bisa bertemu untuk makan malam?”
Aku tersenyum kecil. Kehadiran Zavier dalam hidupku kini membawa kedamaian yang stabil, tapi tidak berarti aku sepenuhnya bebas dari perasaan bersalah yang kadang-kadang muncul. Bagian dari diriku masih bertanya-tanya apakah aku benar-benar berhak merasakan kebahagiaan lagi. Tapi dengan setiap momen yang kami habiskan bersama, aku mulai memahami bahwa kebahagiaan itu bukan pengkhianatan terhadap masa lalu.
Aku mengetik jawaban singkat, “Tentu. Mari kita bertemu di tempat biasa.”
***
Saat aku bertemu Zavier di restoran kecil yang biasa kami kunjungi, suasana di antara kami terasa nyaman. Tidak ada tekanan, tidak ada ekspektasi besar. Hanya dua orang yang saling memahami dan saling mendukung dalam perjalanan mereka masing-masing.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanyanya setelah kami memesan makanan.
Aku menarik napas dan memikirkan jawabanku sejenak. “Sejujurnya, aku merasa jauh lebih baik. Aku tahu rasa sakit itu tidak akan pernah sepenuhnya hilang, tapi aku merasa lebih kuat sekarang. Aku merasa bisa menghadapinya tanpa terpuruk lagi.”
Zavier tersenyum, matanya bersinar penuh perhatian. “Itu kabar yang bagus. Aku bangga padamu, Vin. Kamu sudah berjalan jauh.”
Aku tersenyum tipis, merasakan perasaan hangat mengalir di dalam diriku. Dalam beberapa bulan terakhir, aku menyadari bahwa aku tidak harus terus berjuang sendirian. Membuka diri dan menerima bantuan dari orang lain, terutama Zavier, adalah bagian dari proses penyembuhanku. Dia tidak pernah menuntut lebih dari apa yang bisa kuberikan, dan itu membuatku merasa nyaman. Hubungan ini tidak pernah dipaksakan, tapi justru tumbuh secara alami seiring berjalannya waktu.
“Kamu tahu, Zavier, aku dulu berpikir bahwa hidupku akan berhenti setelah Zuhair pergi,” aku mulai berbicara pelan. “Tapi sekarang, aku menyadari bahwa aku bisa terus hidup. Meski ada bagian dari diriku yang masih terluka, aku punya banyak hal yang bisa aku syukuri. Dan kamu adalah salah satunya.”
Zavier mengangguk, matanya tetap menatapku penuh kelembutan. “Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, Elvina. Dan kamu berhak untuk merasa damai dengan masa lalu.”
Kata-katanya mengena di hatiku. Damai dengan masa lalu. Itu adalah sesuatu yang perlahan-lahan mulai kuraih. Meskipun bayang-bayang Zuhair masih ada, aku bisa mulai berjalan berdampingan dengan kenangan itu, tanpa harus selalu terseret ke dalam kegelapan.
***
Sore itu, setelah pertemuan kami, aku kembali ke apartemen dengan perasaan yang lebih ringan. Aku membuka jendela dan membiarkan angin sore membawa aroma bunga-bunga dari taman di bawah. Kehidupan, meskipun tidak selalu sempurna, mulai terasa lebih seimbang.
Aku tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Akan ada hari-hari di mana aku mungkin merasa lelah lagi, di mana ketakutan dan kesedihan akan datang tanpa diundang. Tapi sekarang, aku tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku tidak harus melawan perasaan-perasaan itu sendirian. Aku punya teman-teman yang selalu ada di sampingku—Shania, Ethaniel, dan tentu saja Zavier. Mereka adalah jangkar yang membuatku tetap teguh.
Dan yang paling penting, aku mulai menemukan keseimbangan emosional dalam diriku sendiri. Keseimbangan itu tidak berarti bahwa semuanya selalu baik-baik saja. Itu berarti aku bisa merasakan setiap emosi yang datang, baik itu bahagia atau sedih, tanpa harus terjebak di dalamnya. Aku bisa memilih untuk fokus pada hal-hal positif, pada kehidupan yang masih terus berjalan, dan pada cinta yang masih ada—baik itu cinta dari orang-orang di sekitarku, maupun cinta yang perlahan-lahan tumbuh kembali di dalam diriku sendiri.
Hari ini, aku merasa lebih damai daripada sebelumnya. Aku tahu perjalanan ini masih panjang, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku percaya bahwa aku akan baik-baik saja.
Kota Udang, 10 Oktober 2024
Pencinta warna biru 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...