#14 Momen Kemajuan

11 5 1
                                    

Happy reading 🥳

***

Kebahagiaan adalah perjalanan yang kita tempuh dengan perlahan. Dengan dukungan dan tekad, kita bisa menemukan cahaya di tengah kegelapan dan kembali merangkul hidup dengan sepenuh hati.

***

Setelah berbulan-bulan terjebak dalam putaran rasa sakit dan kenangan, untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang berbeda—sedikit kemajuan. Rasanya seperti sebuah langkah kecil ke depan, namun cukup berarti bagiku. Setiap hari tidak lagi terasa begitu suram, dan setiap malam tidak lagi penuh dengan mimpi buruk yang menenggelamkan. Mungkin ini bukan perubahan besar, tapi aku belajar menghargai setiap momen di mana aku bisa bernafas lebih lega.

Perubahan ini mulai terasa ketika aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan Shania. Dia selalu punya cara untuk mengingatkanku tentang hal-hal kecil yang sering kulupakan—hal-hal sederhana yang membuatku tersenyum, seperti menikmati secangkir teh hangat di pagi hari atau mendengarkan suara burung berkicau di luar jendela. Shania tahu aku masih dalam proses penyembuhan, tapi dia juga tahu betapa pentingnya merayakan kemajuan kecil yang kualami.

“Aku bangga padamu, Elvina,” ucapnya sambil menatapku dengan senyum yang tulus. Kata-katanya membuat hatiku terasa hangat, seolah-olah dia mengerti perjuangan yang kulalui, meskipun dia tak pernah benar-benar merasakannya sendiri.

Selain Shania, dukungan dari dr. Ethaniel juga menjadi landasan yang kuat bagiku. Dalam setiap sesi terapi, dia tak pernah gagal untuk memberiku perspektif yang baru. Kali ini, kami mulai membahas bagaimana aku bisa kembali menemukan kebahagiaan dalam hal-hal yang dulunya membuatku merasa hidup. Bagiku, itu berarti kembali ke dapur, kembali membuat makanan yang bisa menghangatkan hati orang lain. Dulu, memasak adalah pelarian yang membuatku merasa utuh, dan aku ingin merasakan itu lagi.

Suatu hari, aku memberanikan diri untuk mencoba resep baru. Selama ini, aku hanya membuat hidangan sederhana yang tidak membutuhkan banyak usaha atau keterampilan. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda—hidangan yang dulu sering kumasak bersama Zuhair. Resep ini mengingatkanku pada momen-momen indah bersamanya, namun aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa menikmatinya tanpa merasa terperangkap dalam kenangan masa lalu.

Saat aku mulai mempersiapkan bahan-bahan, aroma yang memenuhi dapur membuatku tersenyum. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku juga tahu bahwa aku perlu melakukan ini untuk diriku sendiri. Setiap potongan bahan yang kutambahkan ke dalam panci seolah menjadi bagian dari proses penyembuhanku. Aku tidak lagi merasa dikejar oleh kenangan, melainkan belajar untuk hidup berdampingan dengan mereka.

Tangan-tanganku mulai bergerak dengan luwes, seakan mengingat kembali setiap langkah yang pernah kulakukan sebelumnya. Di tengah hiruk-pikuk masakan yang sedang kumasak, aku merasakan kedamaian yang sudah lama tak kurasakan. Rasanya seperti bertemu kembali dengan bagian dari diriku yang sempat hilang.

Setelah hidangan selesai, aku duduk di meja makan dengan sepiring penuh makanan di depanku. Aroma, warna, dan rasa yang ada di sana membuatku tersenyum. Meskipun kenangan tentang Zuhair masih ada, kali ini mereka hadir dengan cara yang berbeda—tidak lagi menyakitkan, melainkan sebagai pengingat bahwa aku pernah mencintai dan dicintai.

Aku menyadari bahwa ini adalah momen penting dalam proses penyembuhanku. Untuk pertama kalinya, aku bisa menikmati sesuatu yang dulu menyakitkan tanpa merasa dikejar oleh kesedihan. Mungkin aku belum sepenuhnya sembuh, tapi aku tahu bahwa aku berada di jalur yang benar.

Di hari-hari berikutnya, aku merasa lebih ringan. Pekerjaanku di dapur menjadi sumber kebahagiaan yang konsisten. Setiap kali aku berhasil menyajikan hidangan yang membuat pelanggan tersenyum, hatiku ikut merasa hangat. Rasanya seperti menemukan kembali tujuan yang sempat hilang. Ini adalah bagian dari diriku yang ingin terus kusimpan—bagian yang tahu bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil.

Dukungan dari teman-temanku juga sangat membantu. Shania sering mengajakku untuk berjalan-jalan atau mencoba aktivitas baru. Kami pernah pergi ke pameran seni lokal, dan aku merasa terinspirasi oleh karya-karya yang penuh warna dan cerita. Ada sesuatu yang mengingatkanku bahwa dunia ini penuh dengan keindahan yang mungkin tak sempat kulihat sebelumnya. Shania selalu ada untukku, bahkan saat aku merasa ragu akan diriku sendiri.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyanya saat kami sedang duduk di taman, menikmati sore yang hangat. Aku menatapnya dan merasakan perasaan syukur yang mendalam.

“Lebih baik, mungkin,” jawabku sambil tersenyum. “Aku mulai belajar untuk menerima semuanya. Memang tidak mudah, tapi aku tahu aku punya orang-orang yang mendukungku.”

Shania merangkulku dengan erat, dan aku merasakan kehangatan persahabatan yang sudah lama kami jalin. Kami sudah melewati begitu banyak bersama, dan aku tahu bahwa dia akan selalu ada untukku, seperti halnya aku untuknya. Di tengah perjalanan ini, aku merasa semakin dekat dengannya, karena dia selalu ada di sana, mendengarkan dan memberikan dukungan yang tulus.

Setiap sesi terapi dengan dr. Ethaniel juga membawa kemajuan yang signifikan. Kami membahas bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku tanpa harus menghapus kenangan tentang Zuhair. Dia mengajarkanku untuk menerima bahwa kenangan tersebut adalah bagian dari diriku, tapi bukan segalanya. Dengan cara itu, aku bisa belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa kehilangan, tanpa membiarkannya menghalangi langkahku ke depan.

Suatu ketika, dr. Ethaniel mengajakku untuk memikirkan hal-hal yang ingin kucapai di masa depan. Dia menantangku untuk bermimpi lagi, meskipun awalnya terasa sulit. Aku menyadari bahwa selama ini aku terlalu fokus pada masa lalu, sehingga aku lupa untuk merancang masa depanku sendiri.

“Apa yang ingin kamu lakukan, Elvina?” tanyanya dengan nada yang penuh perhatian.

Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi pertanyaannya. Dulu, aku selalu berpikir bahwa masa depanku akan bersama Zuhair, tapi sekarang aku harus mencari tahu apa yang kuinginkan untuk diriku sendiri. Setelah beberapa saat, aku tersenyum dan berkata, “Aku ingin terus memasak, mungkin membuka kafe kecil suatu hari nanti. Aku ingin menciptakan tempat di mana orang-orang bisa datang dan merasa seperti di rumah.”

Wajah dr. Ethaniel berseri-seri mendengar jawabanku. “Itu mimpi yang indah, Elvina. Dan aku yakin kamu bisa mencapainya. Kamu sudah memiliki semua yang dibutuhkan untuk mewujudkannya.”

Dukungan yang kuterima dari orang-orang di sekitarku benar-benar menjadi landasan yang kuat dalam proses penyembuhan ini. Mereka mengingatkanku bahwa meskipun Zuhair sudah pergi, hidupku masih terus berjalan, dan aku memiliki kekuatan untuk menciptakan kebahagiaan baru.

Momen-momen kemajuan ini menjadi pengingat bahwa aku bisa sembuh, bahwa aku bisa menemukan kembali diriku yang dulu. Meskipun perjalanan ini tidak mudah, aku tahu bahwa setiap langkah yang kuambil membawaku lebih dekat pada kebebasan. Aku tidak lagi dikejar oleh bayangan masa lalu, melainkan sedang belajar untuk hidup berdampingan dengan kenangan tanpa membiarkannya menghalangi masa depanku.

Ketika aku menatap ke arah matahari terbenam di ujung cakrawala, aku merasakan rasa damai yang jarang kurasakan selama beberapa bulan terakhir. Meskipun Zuhair tidak lagi ada di sampingku, aku bisa merasakan kehadirannya dalam kenangan yang indah. Dan aku tahu, di mana pun dia berada, dia pasti ingin melihatku bahagia, menjalani hidup dengan penuh semangat dan cinta.

Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara sore yang segar. Aku tahu ini baru permulaan, tapi aku siap untuk melangkah maju. Aku siap untuk merangkul masa depan yang penuh dengan kemungkinan, meskipun aku harus berjalan sendirian. Aku tahu bahwa aku akan baik-baik saja, karena aku memiliki kekuatan untuk bertahan dan terus melanjutkan hidupku.

***

Kota Udang, 5 Oktober 2024 

Pencinta warna biru 💙

Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang