Happy reading 🥳
***Menerima masa lalu bukan berarti melupakan. Dengan kekuatan dari dalam diri, kita bisa membuka hati untuk cinta yang baru, sambil tetap menghormati kenangan yang pernah ada.
***
Aku selalu berpikir bahwa cinta, setelah kehilangan yang begitu besar, adalah sesuatu yang tak mungkin lagi bisa kumiliki. Zuhair bukan hanya kekasihku; dia adalah sahabatku, orang yang paling mengerti aku. Saat dia pergi, rasanya seolah bagian terpenting dari diriku juga ikut lenyap. Ada ruang kosong yang tak pernah kukira bisa terisi kembali.
Namun, hidup selalu memiliki caranya sendiri untuk mengejutkan kita.
Hari itu dimulai dengan langkah-langkah kecil yang biasa. Aku mengunjungi dr. Ethaniel untuk sesi rutin kami. Terapinya sangat membantuku melewati hari-hari yang sulit. Meskipun aku mulai merasakan kemajuan, PTSD yang kurasakan tidak sepenuhnya hilang. Masih ada hari-hari di mana kenangan tentang Zuhair datang tanpa peringatan, membuatku terguncang, tetapi aku semakin bisa menghadapinya, berkat teknik yang diajarkan oleh dr. Ethaniel.
Sore itu, setelah sesi selesai, aku bergegas menuju pintu untuk pulang. Namun, tepat saat aku hampir keluar, pintu ruang praktik lain terbuka, dan seorang pria muncul di depanku. Aku langsung mengenalinya.
Dia adalah pria yang pernah kulihat sekilas beberapa minggu lalu saat aku melakukan kegiatan sosial di pusat rehabilitasi. Kami tidak saling bicara waktu itu, hanya bertukar senyum sopan, namun entah kenapa, momen itu membekas di pikiranku. Dan sekarang, dia berdiri di hadapanku.
"Elvina, kan?" tanyanya sambil tersenyum ramah. Suaranya dalam, namun lembut. Ada sesuatu yang hangat dalam cara dia menatapku, seolah dia mengerti lebih dari yang terlihat di permukaan.
Aku sedikit terkejut, tidak menyangka dia mengingatku. "Iya, betul. Kamu... dokter yang di pusat rehabilitasi itu, kan?"
Dia mengangguk, memperkenalkan diri dengan santai. "Namaku Zavier. Sahabatnya Ethaniel. Aku kebetulan sering terlibat di kegiatan sosial yang kamu ikuti waktu itu."
Senyumku perlahan tumbuh. "Oh, ya... aku ingat sekarang. Senang bertemu lagi."
Ada jeda sejenak. Zavier menatapku dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah dia bisa melihat jauh ke dalam hatiku tanpa aku harus menjelaskan apa pun. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya lembut, seakan mengetahui bahwa pertanyaan sederhana itu memiliki makna yang lebih dalam.
Aku merasa nyaman dalam keheningan yang tiba-tiba terasa hangat ini. "Lebih baik," jawabku, jujur. "Masih berproses, tapi aku merasa lebih baik."
Zavier mengangguk dengan penuh pengertian. "Itu yang paling penting, kan? Prosesnya."
Aku terkejut bagaimana dia bisa memahami sesuatu yang sering sulit kujelaskan pada orang lain. Percakapan kami tidak panjang, namun ada sesuatu yang tenang dalam kehadirannya. Kami berbicara sedikit lebih lama sebelum aku pamit pulang, tapi perasaan damai yang kuterima dari percakapan itu tidak pergi begitu saja.
***
Beberapa minggu berlalu, dan aku semakin sering bertemu Zavier. Kadang-kadang kami bertemu di kegiatan sosial, kadang di klinik dr. Ethaniel. Tanpa kusadari, kami mulai menjadi akrab. Ada sesuatu tentang Zavier yang membuatku merasa aman-bukan dalam arti bahwa dia bisa melindungiku, tetapi lebih seperti dia memberikan ruang untukku menjadi diriku sendiri.
Suatu sore, setelah kegiatan di pusat rehabilitasi, kami memutuskan untuk minum kopi bersama di sebuah kafe kecil dekat tempat itu. Kami duduk di pojokan, di mana suasana lebih sepi dan kami bisa berbicara tanpa gangguan.
"Aku senang kamu semakin terlibat dalam kegiatan ini," kata Zavier sambil memutar cangkir kopinya. "Itu menunjukkan bahwa kamu sudah mulai menemukan kembali bagian dari dirimu yang sempat hilang."
Aku menatapnya, menyadari bahwa dia benar. "Aku memang merasa lebih baik ketika bisa membantu orang lain. Ini membuatku merasa hidup lagi, meskipun... rasa sakit itu kadang masih datang."
Zavier mengangguk dengan penuh pemahaman. "Rasa sakit seperti itu memang tidak akan pernah benar-benar hilang. Tapi itu juga bagian dari kita, sesuatu yang harus kita terima."
Aku terdiam sejenak, memikirkan kata-katanya. "Menerima bukan berarti melupakan, kan?"
"Tepat," jawabnya pelan. "Menerima adalah belajar untuk hidup dengan kenyataan, tanpa membiarkannya mendikte setiap langkah yang kita ambil."
Percakapan kami terasa sangat mendalam, namun juga ringan pada saat yang sama. Zavier tidak pernah memaksaku untuk membuka diri lebih dari yang aku siap untuk bagikan. Tapi entah bagaimana, keberadaannya di dekatku membuatku merasa nyaman. Dia memahami apa yang kualami tanpa aku harus menjelaskannya secara rinci, seolah ada pengertian yang tak terucap di antara kami.
***
Hari-hari berlalu, dan hubungan kami semakin dekat. Aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali bersama Zavier-bukan perasaan yang sama seperti yang dulu kurasakan dengan Zuhair, melainkan sesuatu yang lebih tenang, lebih dewasa. Aku tidak lagi merasa terburu-buru untuk meraih cinta, melainkan menikmati setiap momen yang kami lewati bersama.
Aku ingat malam itu dengan jelas, saat kami berjalan pulang dari kegiatan sosial. Hujan gerimis turun, membuat suasana terasa lebih intim dan tenang. Kami berbagi payung, berjalan perlahan di sepanjang trotoar yang basah. Suasana kota terasa damai, hanya suara langkah kaki kami dan gerimis yang menemani.
"Aku senang bisa mengenalmu lebih dekat, Elvina," kata Zavier dengan lembut. "Kamu orang yang kuat, meskipun kadang kamu mungkin tidak menyadarinya."
Aku tersenyum kecil, merasa terharu dengan kata-katanya. "Aku tidak merasa begitu kuat."
Zavier menatapku dengan serius. "Kekuatan tidak selalu terlihat seperti keberanian yang luar biasa. Kadang, kekuatan adalah tentang bangkit setiap hari, meskipun kamu tahu itu akan sulit."
Aku menunduk, merasakan sejumput rasa syukur. Selama ini aku berpikir bahwa cinta yang kualami dengan Zuhair adalah segalanya. Tapi kini aku mulai menyadari bahwa mungkin cinta bukan hanya tentang seseorang yang menjadi seluruh hidupmu. Cinta juga bisa menjadi tentang menerima, tentang belajar untuk mencintai diri sendiri sebelum membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupmu.
"Zuhair adalah bagian besar dari hidupku," kataku akhirnya, perlahan. "Dan aku tidak ingin melupakan itu. Tapi aku juga menyadari bahwa hidupku tidak berhenti di sana."
Zavier tersenyum, dan dalam tatapan matanya, aku bisa melihat bahwa dia mengerti. "Zuhair akan selalu menjadi bagian dari siapa dirimu. Tapi itu tidak berarti kamu tidak bisa membuka diri untuk cinta yang baru."
Kami berhenti di depan apartemenku, hujan masih turun pelan. Aku merasa detak jantungku sedikit lebih cepat dari biasanya, ada ketegangan yang tak terucap di antara kami. Tapi ini bukan ketegangan yang membuatku takut-justru sebaliknya, aku merasa nyaman. Perlahan, Zavier meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Elvina, aku tidak ingin terburu-buru atau memaksakan sesuatu," katanya pelan, suaranya begitu lembut hingga hampir tertelan oleh suara hujan. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, dan aku peduli padamu. Jika kau siap untuk melangkah maju, aku akan berada di sisimu."
Aku terdiam sejenak, merasakan kehangatan dari genggamannya. Perasaanku campur aduk-antara takut dan bahagia. Takut karena aku belum pernah membayangkan akan membuka hati lagi, tapi juga bahagia karena aku tahu, meskipun Zuhair akan selalu ada di hatiku, hidup tidak berakhir di sana.
Mungkin, inilah saatnya aku membuka diri untuk cinta yang baru. Cinta yang berbeda, tapi tetap tulus.
***
Kota Udang, 7 Oktober 2024
Pencinta warna biru 💙

KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...