"Kehidupan adalah perjalanan yang penuh dengan tantangan, namun cinta yang sejati adalah kekuatan yang mampu menopang kita di saat-saat terlemah."
---
Aku menatap langit malam yang gelap dari jendela apartemenku, mencoba menenangkan pikiranku yang tak kunjung henti memikirkan Zuhair. Sejak beberapa minggu lalu, ada sesuatu yang tidak benar tentangnya. Dia tampak semakin lelah, seringkali terdiam saat kami bersama. Senyum yang dulu selalu menenangkan, kini tampak dipaksakan. Aku bisa merasakan jarak di antara kami, namun aku tidak tahu bagaimana menanyakannya tanpa membuatnya merasa semakin terbebani.
Zuhair selalu menjadi sosok yang kuat. Dia adalah seseorang yang selalu bisa aku andalkan, meski dalam keadaan tersulit sekalipun. Namun, akhir-akhir ini, dia seolah sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak kasatmata. Dan itu membuatku takut-takut bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dia sembunyikan dariku.
Aku mengambil ponsel dan menatap layar, pesan terakhir dari Zuhair terpampang di sana:
"Aku tidak bisa bertemu malam ini, Vin. Ada hal yang harus aku urus. Kita bicarakan nanti, ya?"
Itu adalah kali ketiga dalam seminggu terakhir dia membatalkan janji kami. Zuhair yang aku kenal bukanlah seseorang yang sering membatalkan rencana, apalagi tanpa alasan yang jelas. Rasa cemas itu terus menghantui. Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk mengetahuinya.
***
Hari itu, aku memutuskan untuk mengunjunginya di kantornya tanpa pemberitahuan. Rasanya aneh bagiku untuk tiba-tiba muncul, tapi aku sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku harus melihatnya, harus memastikan sendiri bahwa dia baik-baik saja. Perjalanan menuju kantornya terasa panjang, meski jaraknya tidak jauh. Di sepanjang perjalanan, pikiranku dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia sakit? Atau ada hal lain yang lebih buruk?
Ketika aku sampai di kantornya, suasana ruangan tampak sunyi. Teman-teman kerjanya terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing, namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Zuhair. Aku menanyakan keberadaannya pada resepsionis, dan mereka mengatakan bahwa Zuhair sedang dalam pertemuan dengan seorang dokter.
Seketika itu juga, rasa khawatirku semakin dalam. Mengapa dia bertemu dokter? Dan mengapa dia tidak memberitahuku? Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku menunggu di luar kantornya, duduk di bangku taman yang biasa kami kunjungi saat jam istirahatnya. Aku berharap, ketika dia keluar, aku bisa langsung bertanya padanya.
Beberapa jam kemudian, aku melihatnya keluar dari gedung. Wajahnya terlihat pucat, lebih dari biasanya. Dia tampak tidak sadar dengan kehadiranku hingga aku melambai ke arahnya.
"Zuhair!" Aku melangkah cepat menghampirinya.
Dia terlihat terkejut melihatku di sana. "Elvina? Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku... aku khawatir. Kau sudah beberapa kali membatalkan janji, dan aku merasa ada yang tidak beres. Aku datang untuk memastikan kau baik-baik saja."
Zuhair tersenyum kecil, tapi lagi-lagi, senyum itu tampak kosong. "Aku baik-baik saja, Vin. Tidak perlu khawatir."
"Tapi kau tidak terlihat baik. Apa yang sebenarnya terjadi, Zuhair?" desakku, suaraku mulai gemetar. Aku tidak bisa lagi menahan rasa khawatir yang terus menghantuiku.
Zuhair terdiam sejenak, matanya menatap tanah seakan mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Aku... aku tidak ingin kau khawatir tentang ini. Aku ingin menyelesaikannya sendiri."
"Kau tahu aku di sini untukmu, kan? Apa pun yang terjadi, aku ingin tahu. Aku ingin bisa mendukungmu," kataku, mencoba meraih tangannya.
Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat rasa lelah yang sebenarnya ada di balik senyumnya. "Vin, aku... aku baru saja menjalani pemeriksaan kesehatan. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dokter masih mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Aku tidak ingin kamu terlibat terlalu dalam, karena aku sendiri masih belum tahu harus bagaimana."
Kata-katanya menghantam hatiku seperti badai. Aku tidak menyangka ini. Aku tidak tahu bahwa masalah yang dia hadapi bisa sebesar ini.
"Apa maksudmu? Apakah kau sakit?" tanyaku, suaraku terdengar lirih. Rasanya seperti tubuhku melemas mendengar kata-katanya.
Zuhair mengangguk pelan. "Aku belum tahu pasti, Vin. Tapi ada tanda-tanda... ada gejala yang tidak bisa aku abaikan. Aku merasa lelah, sering pusing, dan tubuhku mulai menunjukkan reaksi yang aneh. Dokter bilang bisa jadi ada masalah dengan organ dalamku, tapi mereka masih harus melakukan tes lebih lanjut."
Tubuhku terasa dingin mendengar penjelasannya. Aku menatapnya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja kudengar. "Kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?" tanyaku, air mata mulai menggenang di mataku. "Aku bisa membantumu, aku bisa berada di sampingmu."
"Aku tidak ingin kamu terbebani," katanya lembut. "Kau sudah memiliki banyak hal untuk dipikirkan, Vin. Aku tidak ingin menambah bebanmu dengan masalahku."
Aku menggenggam tangannya erat, menatap dalam matanya yang kini penuh dengan kekhawatiran yang selama ini dia sembunyikan. "Zuhair, kau adalah bagian dari hidupku. Apapun yang terjadi, aku ingin tahu. Aku ingin berada di sisimu. Jangan pernah berpikir bahwa ini bukan masalahku juga. Aku mencintaimu, dan aku akan selalu ada untukmu."
Dia menarik napas dalam, lalu memelukku erat. "Aku hanya ingin kamu bahagia, Vin. Aku tidak ingin kau melihatku lemah."
Tapi saat itu, aku tahu bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan. Cinta adalah tentang bertahan bersama di saat-saat terberat, tentang saling menguatkan ketika dunia terasa runtuh. Dan aku akan selalu ada di sini, di sisinya, apapun yang terjadi.
***
Kota Udang, 20 September 2024
Pencinta warna biru 💙
![](https://img.wattpad.com/cover/257846714-288-k646380.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...