Happy reading 🥳
***
"Kenangan tidak harus menjadi belenggu yang menahan kita. Mereka adalah bagian dari hidup, dan dengan waktu, kita bisa belajar untuk hidup berdampingan dengan kenangan tanpa membiarkan mereka melumpuhkan kita."
***
Malam itu, aku kembali terjaga. Mataku terpejam, namun pikiranku berkelana pada kenangan yang seharusnya membuatku tersenyum, tapi sekarang hanya memunculkan rasa sesak di dadaku. Di tengah kesunyian, suara tawa Zuhair terdengar begitu nyata, seolah-olah dia masih di sini. Tapi ketika aku membuka mata, kenyataan yang ada hanyalah kegelapan di kamarku yang kosong.
Sejak kepergiannya, tidur tak lagi menjadi tempat pelarian. Mimpi buruk selalu datang, membawa serta wajah Zuhair yang penuh cinta, tapi diiringi dengan bayangan perpisahan yang tragis. Aku sering melihatnya dalam mimpi, berdiri di ujung jalan, menatapku dengan mata yang berbicara tentang segala hal yang tak bisa kami selesaikan. Mimpi itu selalu diakhiri dengan perasaan bahwa aku seharusnya bisa berbuat lebih, bahwa aku berusaha terus mendampinginya.
Aku bangkit dari tempat tidur, jantungku berdegup kencang seperti baru selesai berlari. Napasku terengah-engah, dan mataku basah oleh air mata yang tak pernah terasa asing. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Saat kecemasan menyerang, aku berusaha mempraktikkan latihan pernapasan yang diajarkan dr. Ethaniel. Tarik napas dalam-dalam, tahan, dan hembuskan perlahan. Fokus pada napas, bukan pada kenangan.
Tapi malam ini, tak ada yang cukup. Kenangan itu terlalu kuat, terlalu nyata. Aku merasa seperti berada di dua dunia sekaligus—yang satu adalah dunia di mana Zuhair masih ada, tersenyum di sampingku, dan yang satu lagi adalah dunia yang kosong tanpanya. Setiap kali aku mencoba menarik diriku kembali ke kenyataan, ingatan tentangnya menyeretku kembali ke dalam gelap.
Aku mengambil jurnal yang selalu kusimpan di samping tempat tidur. Menulis adalah salah satu cara yang bisa membantuku, walaupun seringkali tulisan-tulisanku dipenuhi dengan kata-kata yang tak terucapkan, perasaan-perasaan yang tak tersalurkan. Malam ini, aku membuka halaman baru, mencoba mengeluarkan semua yang mengganggu pikiranku.
"Zuhair, aku merindukanmu. Tapi kenapa kerinduan ini selalu datang dengan rasa sakit yang tak bisa kutanggung? Malam-malam seperti ini, aku merasa kehilanganmu lagi dan lagi. Kamu seolah-olah begitu dekat, tapi kenyataannya kamu sudah pergi. Aku tahu aku harus melepaskanmu, tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa menerima bahwa kamu tak akan pernah kembali?"
Setiap kata yang kutulis seolah semakin memperdalam luka di dalam hatiku. Aku sudah mendengar dari dr. Ethaniel bahwa menulis bisa menjadi sarana untuk menghadapi trauma, tapi menulis tentang Zuhair selalu membawaku kembali pada titik awal—pada rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar kuterima.
Kenangan-kenangan itu begitu hidup. Aku bisa membayangkan saat kami berjalan bersama di taman dekat restoran ku, bagaimana dia selalu menggenggam tanganku seolah-olah dunia ini hanya milik kami berdua. Di saat-saat seperti itu, aku merasa begitu aman. Dan kini, aku merasa diriku tersesat, berjalan sendiri tanpa arah.
Aku bangkit dari tempat tidur, menuju dapur. Mengalihkan perhatian dengan memasak adalah salah satu cara untuk tetap waras. Pekerjaan yang membutuhkan fokus membuat pikiranku sejenak terlepas dari perasaan yang terus menghantuiku. Keseimbangan antara bahan-bahan, aroma yang memenuhi ruangan, serta suara lembut alat-alat masak menjadi satu-satunya hal yang terasa menenangkan di tengah kekacauan pikiranku.
Aku menyalakan kompor dan mulai memanaskan wajan, memotong bawang putih dengan telaten, dan mencampurkannya dengan minyak zaitun. Aroma yang kuat segera mengisi dapur, dan untuk sesaat, aku bisa melupakan segalanya. Tanganku terus bekerja, menyiapkan hidangan sederhana, meski aku tahu aku tak akan banyak makan. Ini hanyalah caraku untuk menjaga kewarasan di malam-malam yang terasa tak berujung.
Namun, saat aku mengaduk-aduk masakan di wajan, pikiranku kembali ke Zuhair. Aku ingat betapa dia selalu memuji setiap hidangan yang kubuat, bahkan yang paling sederhana sekalipun. “Tidak ada yang bisa masak seperti kamu, Elvina,” katanya suatu kali sambil tersenyum. Kata-katanya selalu membuatku merasa dihargai, seolah setiap hidangan yang kubuat memiliki sentuhan keajaiban.
Tanpa kusadari, air mataku kembali jatuh dan tanganku bergetar. Setiap sudut dalam hidupku dipenuhi oleh ingatan tentang Zuhair—dari masakan yang kumasak hingga tempat-tempat yang pernah kami kunjungi. Aku mencoba fokus pada hal-hal yang positif, seperti yang selalu dianjurkan oleh Shania dan dr. Ethaniel, tapi bagaimana aku bisa mengabaikan kenangan yang begitu kuat?
Setelah berusaha menyelesaikan kegiatan memasak, aku duduk di meja makan, menatap hidangan yang sudah siap. Aku tahu aku seharusnya makan, tapi perutku terasa kosong, bukan karena lapar, melainkan karena didera oleh perasaan kehilangan yang tak kunjung hilang. Makanan di depanku seakan hanya menjadi pengingat bahwa aku makan sendirian—tanpa Zuhair di sampingku.
Malam-malam seperti ini adalah yang paling sulit. Meskipun di siang hari, aku masih berusaha bertahan dengan aktivitas dan pekerjaanku sebagai koki. Tapi saat malam tiba, ketika segalanya menjadi sunyi, ingatan-ingatan itu menyerang tanpa ampun. Kenangan tentang Zuhair menghantui setiap sudut pikiranku, dan tak peduli seberapa keras aku mencoba untuk melupakannya, mereka selalu kembali.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku akan pernah benar-benar sembuh? Apakah rasa sakit ini akan selalu ada di sini, menyergapku di saat aku paling rentan? Aku ingin percaya pada proses penyembuhan yang sudah kulalui dengan dr. Ethaniel, tapi malam-malam seperti ini membuatku meragukan segalanya.
Aku bangkit dari kursi, meninggalkan hidangan yang belum kusentuh. Di luar, angin malam berhembus lembut melalui jendela dapur yang setengah terbuka. Aku berdiri di sana, memandang keluar, membiarkan udara dingin menyentuh wajahku. Rasanya menenangkan, meskipun hanya untuk sesaat. Mungkin inilah bagian dari hidupku sekarang—belajar bagaimana bertahan melalui kenangan yang menghantui, menemukan cara untuk tetap berjalan meskipun rasa sakit itu selalu ada.
Dalam keheningan malam itu, aku mencoba mengingat kata-kata dr. Ethaniel: “Kenangan tidak harus menjadi penjara. Kamu bisa belajar untuk hidup berdampingan dengan mereka tanpa membiarkan mereka menghancurkanmu.”
Tapi bagaimana caranya? Bagaimana mungkin aku bisa hidup dengan kenangan tentang Zuhair tanpa merasa tenggelam dalam kesedihan setiap kali mereka muncul? Setiap bagian dari hidupku terikat padanya, dan kehilangan itu begitu besar, begitu nyata, sehingga aku merasa sulit untuk melangkah maju.
Namun, di tengah keputusasaan ini, ada suara kecil di dalam diriku yang berkata bahwa aku harus terus mencoba. Bahwa meskipun malam-malam seperti ini akan terus datang, mungkin suatu hari nanti, mereka akan terasa lebih ringan. Mungkin suatu hari, kenangan tentang Zuhair akan menjadi sesuatu yang bisa kuterima tanpa rasa sakit yang begitu mendalam.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di luar jendela, bintang-bintang bersinar redup di langit malam. Ada sesuatu yang menenangkan dalam keheningan ini, seolah-olah alam semesta sedang memberiku waktu untuk merasa, untuk merenung, dan untuk menerima.
Aku tahu ini bukan akhir dari perjuanganku. Masih banyak malam-malam lain yang akan kuhadapi, dengan kenangan yang tak terhindarkan. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan kenangan itu menghancurkan hidupku. Zuhair mungkin telah pergi, tapi hidupku masih berjalan, dan aku harus belajar bagaimana melanjutkan tanpa dirinya.
***
Beri vote dan comment ya 😀
Kota Udang, 4 Oktober 2024
Pencinta warna biru 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...