Happy reading 🥳
***
"Mungkin merasa hancur sekarang, tetapi langkah kecil menuju pemulihan bisa menjadi fondasi bagi kekuatanmu di masa depan. Ketika merasa tidak tahu harus bagaimana, ingatlah bahwa tidak sendirian. Berjuanglah, meskipun perlahan, karena setiap usaha kecil yang kamu lakukan adalah bukti bahwa kamu masih berusaha untuk bangkit."
***
Suara berisik jam beker biasanya akan cukup untuk membuatku terjaga dan segera bersiap ke restoran. Tapi hari ini, tubuhku terasa seolah diikat oleh beban yang tak terlihat. Bukan karena lelah, melainkan pikiranku menolak menghadapi dunia. Kenangan akan Zuhair, hari-hari terakhirnya, dan bagaimana hidup kami dulu begitu bahagia, semuanya menumpuk dalam pikiranku, membuatku enggan bergerak.
Kemarin malam, aku terjaga di depan layar komputer, menelusuri informasi tentang gangguan yang kuduga mulai menghantuiku—Post-Traumatic Stress Disorder, atau PTSD. Semua gejalanya ada padaku: mimpi buruk, kilasan-kilasan kenangan yang muncul tiba-tiba, ketidakmampuan untuk berfungsi normal. Setiap kali aku menutup mata, wajah Zuhair muncul di depanku, tatapan matanya yang redup, tubuhnya yang semakin kurus dan lemah, dan kata-kata terakhirnya sebelum meninggal. Semua itu seolah terperangkap di pikiranku, menolak pergi.
Tapi meskipun aku sudah tahu apa yang terjadi pada diriku, aku tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaikinya. Setiap artikel yang kubaca berbicara tentang terapi, tentang pentingnya meminta bantuan. Namun, meski semua informasi itu tampak masuk akal, aku masih merasa terjebak. Terjebak dalam rasa sakitku, dan terjebak dalam ketidakmampuanku untuk melanjutkan hidup.
Hari itu, aku memaksakan diri untuk bangun. Aku tahu, meskipun dunia di dalam pikiranku runtuh, dunia di luar tetap berputar. Pekerjaan di restoran menunggu. Pelanggan datang dan pergi. Para staf membutuhkan aku untuk menjalankan segalanya. Namun, setiap langkahku menuju kamar mandi, setiap gerakan sederhana seperti menyikat gigi atau mencuci muka, terasa seperti tugas berat yang menguras seluruh energiku.
Di restoran, keadaannya tidak jauh berbeda. Memotong bawang, menggoreng, dan meracik bumbu yang dulu kulakukan dengan begitu lincah, sekarang terasa seperti tantangan yang mustahil. Konsentrasiku terus menerus terganggu oleh bayangan Zuhair. Saat aku menyalakan kompor dan mencium aroma makanan yang biasanya membuatku senang, yang kurasakan hanyalah rasa mual yang tak terjelaskan.
Shania, sahabatku seorang dokter spesialis anak, adalah satu-satunya orang yang tampaknya mengerti betapa hancurnya aku sekarang. Dia sering datang ke restoran pada jam makan siang, sengaja memesan makan hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Dia tahu aku sedang mengalami sesuatu yang tidak bisa kuselesaikan sendiri. Pada hari itu, ketika aku sedang memotong sayuran dengan tangan gemetar, Shania datang lagi.
"Elvina," panggilnya dari pintu dapur.
Aku menoleh, berusaha menyembunyikan kegugupan di wajahku, tetapi aku tahu dia bisa melihatnya. Shania selalu tahu.
“Kau tidak kelihatan baik-baik saja,” katanya, berjalan mendekat. “Sudah berapa lama kamu seperti ini?”
Aku mencoba tersenyum. “Aku baik-baik saja, Sha. Cuma sedikit lelah.”
Dia menggeleng. “Aku bukan dokter yang bodoh, Vin. Kau tidak hanya lelah, melainkan butuh bantuan.”
Aku menatapnya, lalu memandang ke bawah. Sebuah pisau tergeletak di depanku, di samping tumpukan sayuran yang belum selesai kupotong. Tanganku masih sedikit gemetar, dan air mata yang sejak tadi kutahan mulai mendesak keluar.
“Aku tahu aku butuh bantuan,” kataku pelan, hampir berbisik. “Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Shania menarik kursi di sebelahku, duduk, dan menatapku dengan tatapan lembutnya yang selalu membuatku merasa sedikit lebih baik.
"Vin, PTSD bukan sesuatu yang bisa kamu abaikan," katanya. "Kau sudah melalui trauma yang sangat besar. Kehilangan Zuhair bukan hal yang bisa dilupakan begitu saja, dan nggak apa-apa kalau kamu merasa terjebak dalam kesedihan. Tapi kamu nggak bisa terus seperti ini."
Aku mengangguk, menunduk, berusaha meredam tangis. Shania selalu tahu bagaimana cara berbicara kepadaku tanpa membuatku merasa dipaksa. Dia tahu aku butuh waktu, tetapi juga tahu aku butuh dorongan untuk maju.
“Cobalah bicara dengan seseorang, Vin. Psikolog atau terapis. Aku bisa bantu cari orang yang tepat. Aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu nggak sendirian. Aku ada di sini.”
Air mataku akhirnya jatuh, tak tertahankan lagi. Selama berminggu-minggu, aku menahan semua perasaan ini, berusaha keras untuk tidak hancur. Namun di depan Shania, aku tahu aku bisa membiarkan diriku rapuh.
"Aku merasa seperti… aku kehilangan semua arah, Sha," kataku dengan suara yang bergetar. "Aku bahkan tidak tahu siapa aku lagi tanpa Zuhair. Hidupku terasa seperti runtuh tanpa dia."
Shania menggenggam tanganku, memberi tekanan yang lembut namun menenangkan. “Aku tidak akan berpura-pura tahu apa yang kau rasakan, tapi yang pasti, Zuhair juga tidak akan mau melihatmu seperti ini. Kau harus memberikan dirimu kesempatan untuk sembuh.”
Aku tahu dia benar. Namun, mendengar namanya, Zuhair, diucapkan oleh orang lain masih menimbulkan rasa sakit yang begitu dalam. Bagaimana mungkin aku bisa sembuh jika setiap kenangan tentangnya terasa seperti luka yang belum bisa sembuh?
***
Hari-hari berikutnya tidak menjadi lebih mudah. Aku terus berjuang dalam pekerjaan, mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa sakit dengan memasak. Namun setiap kali aku berada di dapur, memegang pisau atau mengaduk panci, ada bayangan Zuhair yang mengikuti. Dia selalu ada dalam pikiranku, seolah dia bagian dari hidupku yang tidak akan pernah benar-benar pergi.
Aku juga mulai mengalami lebih banyak serangan panik. Jantungku berdebar kencang tanpa alasan yang jelas, napasku terasa terhenti, dan ada saat-saat di mana aku merasa seperti sedang tenggelam. Rasanya, semakin aku mencoba menjalani hidupku, semakin aku ditarik kembali ke dalam rasa sakit.
Shania terus datang untuk menemuiku. Dia tak pernah memaksaku melakukan apa pun, tetapi kehadirannya adalah pengingat bahwa ada seseorang di luar sana yang peduli, yang ingin aku sembuh. Sore lalu, dia datang membawa brosur tentang PTSD dan nomor konseling yang bisa dihubungi. Aku berterima kasih padanya, meskipun di dalam hati, aku masih ragu apakah aku siap untuk mencari bantuan.
Malam itu, setelah Shania pulang, aku duduk di sofa dengan brosur di tangan. Aku membuka internet lagi, membaca lebih dalam tentang PTSD dan kisah-kisah orang yang berhasil melewati masa-masa kelam mereka. Di sana, aku menemukan beberapa saran praktis: meditasi, latihan pernapasan, dan journaling—menulis tentang apa yang kurasakan. Aku tahu ini hanya langkah kecil, tapi mungkin inilah yang kubutuhkan untuk memulai.
Aku mengambil notebook kosong dari rak, dan untuk pertama kalinya sejak Zuhair meninggal, aku mulai menulis. Aku menulis tentang kenanganku bersamanya, rasa sakit yang kurasakan setiap hari, dan bagaimana kehilangannya telah mengubah hidupku. Aku menangis saat menulis, tetapi juga merasa ada sedikit beban yang terangkat dari dadaku. Mungkin Shania benar. Mungkin aku bisa sembuh, sedikit demi sedikit.
Namun, aku tahu ini baru awal. Jalan menuju pemulihan masih panjang, dan aku masih merasa tersesat. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa ada secercah harapan. Aku tahu aku tidak bisa melakukannya sendiri, dan mungkin, dengan bantuan dari orang-orang seperti Shania, aku bisa menemukan jalanku kembali.
***
Kota Udang, 22 September 2024
Pencinta warna biru 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...