Happy reading 🥳
***
"Proses penyembuhan adalah perjalanan yang penuh liku, di mana setiap langkah kecil menuju ke depan adalah kemenangan. Belajarlah untuk menerima rasa sakitmu, namun jangan biarkan ia menghalangi jalanmu menuju kebahagiaan."
***
Aku duduk di ruangan terapi yang terasa semakin akrab, namun tetap menimbulkan perasaan cemas setiap kali aku masuk. Di hadapanku, dr. Ethaniel, dengan sikap tenang dan profesional, menatapku sambil menunggu aku berbicara. Setiap sesi adalah tantangan baru, tapi ada bagian dalam diriku yang mulai percaya bahwa terapi ini, bagaimanapun caranya, akan membantuku.
“Hari ini kita akan melanjutkan dengan CBT dan membahas mekanisme coping yang bisa kamu gunakan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar dr. Ethaniel dengan nada suara lembut.
Aku mengangguk, merasa sedikit lebih siap dibandingkan beberapa minggu lalu. Sejak pertama kali dia memperkenalkan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), aku telah mempraktikkan teknik-teknik yang dia ajarkan. Pada awalnya, CBT terasa seperti usaha sia-sia—bagaimana mungkin hanya dengan mengubah cara berpikir, aku bisa mengatasi trauma sebesar ini? Namun, perlahan, aku mulai merasakan dampaknya. Pikiran-pikiran negatif yang selama ini mendominasi kepalaku tidak lagi begitu kuat.
Dr. Ethaniel mengajarkanku untuk mengenali dan menantang pikiran yang selalu membuatku terjebak dalam rasa sakit. Contohnya, setiap kali kenangan tentang Zuhair datang, aku selalu merasa bahwa aku bersalah atas kepergiannya, seolah-olah aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Pikiran itu selalu menjadi luka yang terus kutorehkan pada diriku sendiri.
"Aku ingin kamu mengidentifikasi pikiran itu dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih rasional," ujar dr. Ethaniel suatu hari. “Katakan pada dirimu bahwa tidak ada yang bisa kamu lakukan. Ini bukan salahmu.”
Meski sulit pada awalnya, aku mulai mencoba. Setiap kali pikiran itu muncul, aku berusaha berhenti, mengambil napas dalam, dan bertanya pada diriku sendiri, “Apakah ini benar? Apakah ini membantu atau malah menyakitiku?”
Mengubah cara pikirku tidaklah instan. Ada hari-hari di mana aku masih merasa terjebak, tapi dengan latihan yang konsisten, aku mulai memahami bahwa tidak semua pikiran yang muncul itu benar. Aku tidak bisa membiarkan pikiran-pikiran itu mengendalikan hidupku. Zuhair telah pergi, tapi rasa bersalah yang terus menghantuiku tidak akan mengubah kenyataan itu.
Selain CBT, ada juga sesi di mana kami mulai menerapkan exposure therapy. Teknik ini lebih sulit. Dr. Ethaniel menjelaskan bahwa exposure therapy adalah proses di mana aku harus menghadapi hal-hal yang selama ini kuhindari karena trauma. Bagian diriku ingin lari dari semua hal yang mengingatkanku pada Zuhair, tapi aku tahu bahwa lari hanya akan membuatku semakin terjebak.
“Kamu harus belajar menghadapi kenangan itu, Elvina,” kata dr. Ethaniel dengan sabar. “Rasa sakit itu tidak akan hilang dengan sendirinya. Namun, kamu bisa membiasakan diri untuk menghadapi kenangan-kenangan itu tanpa membiarkan mereka melumpuhkanmu.”
Salah satu contoh paling nyata dari exposure therapy adalah ketika aku diminta untuk kembali ke apartemen lama kami. Aku belum pernah kembali ke sana sejak kepergian Zuhair. Setiap sudut apartemen itu dipenuhi dengan kenangan kami—dari tawa hingga pertengkaran kecil, semuanya masih terasa hidup di sana. Hanya memikirkannya saja membuatku merasa sesak.
Namun, dengan bimbingan dr. Ethaniel, aku akhirnya memberanikan diri. Hari itu, aku melangkah ke apartemen yang penuh dengan kenangan. Bau khas kamar itu, sentuhan furnitur yang dia pilih sendiri, semuanya membawa kembali memori-memori yang aku pikir sudah kukubur. Namun kali ini, aku mencoba melihat semua itu dengan cara yang berbeda. Alih-alih terjebak dalam kesedihan, aku mencoba mengingatnya sebagai bagian dari hidupku yang berharga.
Aku duduk di sofa tempat kami biasa berbincang hingga larut malam. Tanganku menggenggam bantal yang sering dia letakkan di pangkuannya. Meskipun air mata menetes, kali ini ada perasaan damai yang pelan-pelan meresap ke dalam hatiku. Aku tidak akan pernah bisa melupakan Zuhair, tapi aku bisa belajar untuk menjalani hidup tanpa membiarkan kehilangan itu menghancurkanku.
Selain terapi mingguan, dr. Ethaniel juga menyarankan aku untuk menggunakan mekanisme coping dalam keseharianku. Salah satu teknik yang dia ajarkan adalah grounding techniques, cara sederhana untuk membantuku tetap berada di saat ini ketika kecemasan mulai menguasai pikiran. Teknik ini melibatkan perasaan fisik dan indrawi untuk membawa kesadaranku kembali ke kenyataan.
“Cobalah untuk fokus pada apa yang bisa kamu lihat, dengar, rasakan, cium, dan cicipi saat kamu merasa cemas,” kata dr. Ethaniel.
Aku mulai mempraktikkan teknik ini setiap kali serangan panik datang. Saat tubuhku mulai merasa tegang dan pikiranku berkelana ke arah kenangan yang menyesakkan, aku mencoba fokus pada hal-hal kecil di sekitarku—tekstur permukaan meja dapur, suara lembut pisau yang memotong sayuran, atau aroma bumbu yang memenuhi udara. Secara perlahan, teknik ini membantuku kembali ke saat ini dan mengurangi intensitas kecemasanku.
Selain grounding, aku juga mulai menerapkan deep breathing exercises yang sering dianjurkan dr. Ethaniel. Setiap kali rasa takut atau kesedihan itu muncul, aku berusaha untuk fokus pada napasku—tarik napas dalam-dalam, tahan, dan hembuskan perlahan. Meskipun teknik ini tampak sederhana, dalam situasi krisis, teknik pernapasan ini menjadi senjataku untuk mengatasi gelombang emosi yang tak terkendali.
Proses penyembuhan ini jauh dari mudah. Ada hari-hari di mana aku merasa tak berdaya dan ingin menyerah. Kadang, rasa sakit itu begitu nyata dan menyiksa sehingga aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar bisa sembuh. Namun, setiap kali aku kembali ke terapi, berbicara dengan dr. Ethaniel, dan mengingatkan diriku pada semua latihan yang telah kulakukan, aku merasa bahwa sedikit demi sedikit, aku sedang bergerak ke arah yang benar.
"Elvina, kamu sudah berjalan jauh," kata Shania saat kami bertemu untuk makan siang beberapa minggu kemudian. Shania selalu menjadi pendukung terbesarku, dan aku berutang padanya karena telah mengenalkanku pada dr. Ethaniel. "Aku tahu ini sulit, tapi kamu sudah mengambil langkah besar untuk sembuh."
Aku tersenyum tipis. Meskipun masih ada hari-hari gelap, aku tahu bahwa aku tidak sendirian dalam perjuangan ini. Dr. Ethaniel, Shania, dan semua orang di sekitarku membantu mendorongku untuk terus maju.
Terapi ini bukan solusi instan, dan aku sadar bahwa mungkin aku akan selalu membawa bagian dari rasa sakit ini bersamaku. Namun, yang penting adalah aku belajar untuk hidup dengan rasa sakit itu tanpa membiarkannya mengendalikan hidupku.
Penyembuhan tidak datang dalam bentuk kemenangan besar. Ia datang dalam bentuk langkah-langkah kecil yang kadang tak terlihat—seperti berhasil melewati hari tanpa serangan panik, atau mampu tertawa tanpa merasa bersalah. Setiap momen kecil ini adalah bukti bahwa aku sedang dalam perjalanan menuju kesembuhan, meskipun jalannya panjang dan berliku.
Kota Udang, 03 Oktober 2024
Pecinta warna biru 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romansa[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...