Happy reading 🥳
***
Kekuatan sejati tidak ditemukan di luar, melainkan di dalam diri kita sendiri. Dengan menerima masa lalu dan membantu orang lain, kita menemukan tujuan dan arti baru dalam hidup, meski di tengah rasa sakit.***
Kehidupan, pada akhirnya, adalah tentang menemukan kekuatan di dalam diri untuk terus melangkah meski dalam badai terburuk sekalipun. Itu adalah pelajaran paling berharga yang kudapatkan selama beberapa bulan terakhir. Proses penyembuhan memang tidak selalu mudah, tapi aku mulai menemukan cara untuk tidak hanya bangkit, melainkan juga berkembang.
Sejak beberapa waktu lalu, Shania mendorongku untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Dia tahu bahwa, di luar dapur, aku punya kepedulian besar terhadap orang lain. Sebelum semua ini terjadi—sebelum kehilangan Zuhair—aku sering terlibat dalam berbagai kegiatan amal, membantu menyediakan makanan untuk acara-acara sosial atau dapur umum. Tapi setelah semua itu, aku seolah kehilangan energi untuk berbuat lebih dari sekadar bertahan hidup. Aku tenggelam dalam kesedihan dan rasa kehilangan yang tidak kunjung reda.
Namun, seiring waktu dan dengan dukungan Shania dan dr. Ethaniel, perlahan-lahan aku mulai melihat secercah harapan. Aku mulai merasakan dorongan untuk kembali berbuat sesuatu, dan itulah yang membawaku ke tempat ini—di tengah dapur sebuah pusat rehabilitasi, di mana aku membantu memasak untuk orang-orang yang mengalami masalah kesehatan mental.
“Aku senang kau memutuskan untuk ikut, Vi,” kata Shania dengan senyum tulus ketika kami tiba di sana untuk pertama kalinya. Tempat ini kecil, tapi penuh kehangatan. Orang-orang di dalamnya datang dari berbagai latar belakang, semua membawa cerita dan luka masing-masing. Sebagian dari mereka juga sedang menjalani penyembuhan, sama seperti aku.
“Aku pikir ini saat yang tepat, Sha,” jawabku sambil mengenakan celemek. “Sudah terlalu lama aku hanya berkutat dengan rasa sakitku sendiri. Aku ingin mencoba membantu orang lain, bahkan jika hanya dengan cara kecil seperti ini.”
Kami berdua berjalan ke dapur, di mana beberapa relawan sudah sibuk menyiapkan makanan. Shania memperkenalkanku kepada mereka, dan aku langsung disambut dengan keramahan yang membuatku merasa diterima.
“Kami memasak untuk para penghuni di sini,” jelas salah satu relawan, seorang pria berusia empat puluhan yang bernama Aryo. “Mereka datang dari berbagai kondisi, dan makanan adalah salah satu cara kami menunjukkan bahwa mereka dihargai.”
Aku tersenyum dan mulai menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Dalam keheningan yang diisi dengan suara pisau memotong sayuran dan suara wajan yang berdesis, aku merasa damai. Di sini, di tengah kesibukan yang sederhana, aku menemukan bahwa membantu orang lain ternyata memberikan kepuasan yang jauh lebih besar daripada yang pernah kubayangkan. Rasanya seperti mendapatkan kembali sebagian dari diriku yang dulu hilang.
Setiap kali aku melihat seseorang tersenyum saat menerima sepiring makanan, ada rasa hangat yang mengalir di dalam dadaku. Melihat bahwa apa yang kulakukan, sekecil apa pun, bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain membuatku merasa lebih hidup. Itu bukan hanya tentang memasak, tapi tentang memberikan sedikit harapan bagi mereka yang mungkin merasa putus asa.
Setelah beberapa minggu terlibat, aku mulai merasakan perubahan yang nyata. Bukan hanya pada orang-orang yang aku bantu, tapi juga pada diriku sendiri. Aku menjadi lebih kuat, lebih berani, dan lebih yakin bahwa hidupku memiliki tujuan di luar rasa kehilangan yang pernah begitu membelengguku. Di setiap langkah, aku menemukan bahwa rasa sakit tidak harus menjadi satu-satunya bagian dari hidupku. Aku bisa memilih untuk bangkit, dan membantu orang lain adalah salah satu cara yang paling efektif untuk melakukannya.
Pada suatu sore, setelah selesai memasak, aku duduk di luar pusat rehabilitasi sambil menatap langit yang mulai memerah. Shania duduk di sampingku, membawa dua cangkir teh hangat.
“Kau tampak lebih tenang akhir-akhir ini,” katanya sambil menyerahkan satu cangkir padaku. “Aku senang melihatmu menemukan kekuatan lagi.”
Aku mengambil cangkir itu, merasakan hangatnya di telapak tanganku. “Aku rasa… membantu orang lain benar-benar membuatku merasa lebih baik. Ini bukan hanya tentang melupakan rasa sakitku, tapi tentang menemukan tujuan di luar itu.”
“Kau sudah banyak berubah, Vi. Aku selalu tahu kau punya kekuatan di dalam dirimu, tapi melihatmu menemukannya lagi, itu luar biasa.”
Aku tersenyum kecil, merasa lega mendengar kata-kata Shania. Aku tahu dia selalu ada di sampingku, mendukungku sejak awal, tapi ada perasaan yang berbeda ketika aku benar-benar bisa merasakan perubahan dalam diriku sendiri. Aku tidak lagi hanya bertahan, aku mulai hidup lagi.
“Setiap hari terasa lebih mudah sekarang,” lanjutku. “Tentu, ada saat-saat di mana kenangan tentang Zuhair kembali menghantui, tapi aku tidak lagi merasa tenggelam dalam itu. Aku belajar untuk menerima bahwa rasa sakit itu adalah bagian dari proses penyembuhan, bukan sesuatu yang harus kutakuti.”
Shania mengangguk, menatapku dengan bangga. “Itu adalah langkah besar, Vi. Menemukan kekuatan di dalam dirimu adalah salah satu hal paling penting dalam proses ini.”
Aku merenung sejenak, menyesap tehku perlahan. Rasanya benar-benar aneh, betapa jauh aku telah melangkah. Dari seseorang yang hampir tidak bisa bangkit dari tempat tidur, menjadi seseorang yang sekarang mampu membantu orang lain. Semua berkat dukungan dari sahabat seperti Shania, dan tentu saja, bimbingan dari dr. Ethaniel.
Saat kami sedang menikmati keheningan sore itu, aku berpikir tentang sesi terapiku dengan dr. Ethaniel. Belakangan ini, dia sering membicarakan tentang pentingnya menemukan kekuatan dari dalam diri, tentang bagaimana kekuatan itu bisa muncul dari pengalaman yang paling menyakitkan sekalipun.
“Saat kita menghadapi rasa sakit, kita bisa memilih dua hal,” kata dr. Ethaniel dalam salah satu sesi kami. “Kita bisa membiarkan rasa sakit itu melumpuhkan kita, atau kita bisa menggunakannya untuk menemukan kekuatan yang mungkin sebelumnya tidak pernah kita sadari. Kekuatan yang ada di dalam diri kita sendiri.”
Kata-kata itu terus terngiang dalam benakku. Proses penyembuhan memang tidak mudah, dan aku masih memiliki jalan panjang untuk dilalui. Tapi sekarang, aku tidak lagi merasa takut akan masa depan. Aku tahu bahwa di dalam diriku, ada kekuatan yang lebih besar dari rasa sakit itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, keterlibatanku dalam kegiatan sosial semakin meningkat. Aku tidak hanya membantu di dapur, tapi juga berbagi cerita dengan orang-orang di pusat rehabilitasi. Mereka mendengarkan kisahku dengan perhatian yang tulus, dan aku merasa bahwa berbagi pengalaman ini juga merupakan bagian penting dari penyembuhan. Dengan membuka diri, aku tidak hanya membantu mereka, tapi juga membantuku untuk semakin menerima kenyataan bahwa meskipun hidup tidak selalu adil, kita masih bisa menemukan cara untuk terus maju.
Di akhir hari itu, saat aku pulang ke apartemenku, aku duduk di kursi dekat jendela dan menatap ke luar. Cahaya senja masih tersisa di ufuk barat, memancarkan warna oranye lembut yang membuat langit terlihat damai. Aku tersenyum, merasa bahwa hidup, dengan segala kekacauan dan kesulitannya, tetap menawarkan keindahan.
Aku tahu bahwa ini baru permulaan. Proses penyembuhan masih panjang, tapi aku tidak lagi merasa sendirian dalam perjalanan ini. Aku telah menemukan kekuatan dari dalam diriku sendiri—kekuatan yang muncul dari pengalaman kehilangan, dari rasa sakit, dan dari cinta yang pernah ada. Aku juga menemukan bahwa dengan membantu orang lain, aku bisa memberikan makna baru pada hidupku, sesuatu yang lebih besar dari sekadar meratapi apa yang hilang.
Kota Udang, 06 Oktober 2024
Pencinta warna biru 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...