"Hidup sering kali menghadapkan kita pada kenyataan yang tak pernah kita bayangkan. Ketika dunia seakan runtuh di depan mata, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berdiri tegak meski hati hancur. Dalam setiap detik yang masih tersisa, akan berjuang bukan hanya untuknya, tapi juga untuk cinta. Sebab cinta yang tulus adalah tentang keberanian menghadapi kenyataan, meskipun kenyataan itu membawa kita ke batas ketakutan yang terdalam. Cinta tak mengenal kata menyerah."
***
Pagi itu langit tampak cerah, tapi hatiku penuh dengan kecemasan. Aku dan Zuhair berjalan bergandengan tangan menuju rumah sakit, namun ada sesuatu yang berbeda hari ini. Biasanya, ketika kami berjalan bersama, tangannya akan menggenggam tanganku dengan erat, memberikan rasa aman dan kenyamanan. Namun kali ini, genggamannya terasa lemah. Aku menoleh ke arahnya, tapi Zuhair hanya tersenyum tipis, seolah-olah ingin menyembunyikan sesuatu. Aku tahu dia berusaha kuat, tapi ketakutan yang tak terucapkan tampak jelas di matanya.
Saat kami memasuki ruang tunggu rumah sakit, udara dingin dari pendingin ruangan menyelimuti tubuhku. Ada bau khas rumah sakit yang tak bisa dihindari—aroma antiseptik bercampur dengan ketegangan yang memenuhi ruangan. Orang-orang duduk diam, beberapa terlihat lelah, yang lainnya cemas. Kami duduk di salah satu sudut, mencoba mencari kenyamanan di tengah kekhawatiran yang membelit.
"Zuhair Arlando?" Suara perawat terdengar tegas, memanggil nama yang sudah tak asing lagi bagiku. Zuhair menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat duduknya. Dia meremas tanganku sebelum melepaskannya, lalu berjalan mengikuti perawat itu ke ruang dokter. Aku mengikuti di belakangnya, berusaha menyembunyikan kecemasan yang semakin menguat.
Ketika kami masuk ke ruang dokter, ruangan itu terasa sunyi. Di hadapan kami, seorang dokter berkacamata tengah membaca hasil tes Zuhair. Dia menatap kami sejenak sebelum berbicara, "Zuhair, setelah melihat hasil tes dan pemindaian, saya punya kabar yang tidak mudah untuk disampaikan."
Jantungku berdetak kencang, bahkan sebelum dia melanjutkan. Aku bisa merasakan tubuhku mulai gemetar, tapi aku harus kuat. Untuk Zuhair.
Dokter itu melanjutkan, "Kami menemukan tumor di pankreasmu, dan sayangnya, tumornya sudah cukup besar. Ini adalah kanker pankreas stadium lanjut."
Kata-kata itu seakan menghantamku dengan keras. Dunia yang selama ini aku kenal, seakan berubah dalam sekejap. Pandanganku mulai kabur, tapi aku memaksa diriku tetap tenang, tetap mendengar.
Zuhair tak bereaksi dengan cepat. Dia terdiam, seolah mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan oleh dokter. Aku menoleh ke arahnya, melihat wajahnya yang tampak pucat dan tegang. Namun, dia tetap berusaha terlihat tenang di hadapanku.
"Apakah... apakah ada yang bisa dilakukan?" Zuhair akhirnya bersuara, suaranya terdengar pelan dan lemah.
Dokter menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan. "Kita bisa mencoba kemoterapi untuk memperlambat penyebaran kanker, tapi pada stadium ini, perawatan tersebut hanya bersifat paliatif. Kami bisa berusaha untuk membuatmu lebih nyaman, namun kami harus realistis bahwa waktumu mungkin tidak banyak."
Aku mendengar setiap kata itu, tapi rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah kuharapkan akan terjadi. Waktu yang tidak banyak? Bagaimana bisa? Zuhair adalah orang yang kuat, orang yang selalu tampak sehat dan penuh semangat. Bagaimana ini bisa terjadi begitu cepat?
Aku menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Aku harus kuat. Aku harus tegar. Ini bukan tentangku, ini tentang Zuhair. Aku mengulurkan tanganku, menggenggam jemarinya yang dingin, mencoba memberikan kehangatan di tengah dinginnya kenyataan.
"Berapa lama?" Zuhair bertanya, masih dengan suara pelan. Aku tahu dia tak ingin mendengar jawabannya, tapi dia harus tahu. Kami harus tahu.
Dokter kembali menghela napas, wajahnya dipenuhi belas kasihan. "Kami tidak bisa memberikan angka yang pasti. Bisa beberapa bulan, bisa lebih cepat. Ini tergantung pada bagaimana tubuhmu merespon perawatan dan kondisimu ke depan."
Beberapa bulan. Kata-kata itu terngiang di kepalaku. Aku ingin berteriak, ingin melawan kenyataan ini. Tapi aku tahu, tidak ada yang bisa dilakukan selain menerimanya. Rasanya seperti seseorang menarik karpet di bawah kakiku, membuatku jatuh ke dalam lubang gelap tanpa akhir.
Setelah dokter selesai menjelaskan prosedur yang harus dijalani, kami keluar dari ruangannya. Langit di luar masih cerah, tapi hatiku terasa gelap dan kosong. Zuhair berjalan di sebelahku, diam, tanpa sepatah kata pun. Aku tahu dia butuh waktu untuk mencerna semuanya, begitu pula aku. Namun, kesunyian di antara kami terasa menyakitkan.
Di perjalanan pulang, aku mencoba membuka percakapan. "Bagaimana perasaanmu?"
Zuhair tersenyum pahit, lalu menatapku. "Aku masih belum percaya ini nyata. Aku masih merasa baik-baik saja, Vin. Tapi... kenyataan berkata lain."
Aku tak bisa menahan air mata yang akhirnya jatuh. Aku berusaha menutupinya dengan tangan, tapi air mata itu terus mengalir. "Aku... aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa kamu, Zuhair."
Dia menghentikan langkahnya, lalu menarikku ke dalam pelukannya. "Kau nggak sendirian, Vin. Kita akan menghadapi ini bersama."
Aku menggelengkan kepala dalam pelukannya. "Tapi ini tidak adil! Kenapa harus kau?"
Zuhair tidak menjawab, hanya mengelus punggungku pelan, seolah berusaha menenangkanku. Tapi aku tahu, dia juga sedang berjuang dengan rasa takut dan ketidakpastian yang sama.
---
Hari-hari berikutnya diisi dengan serangkaian tes dan perawatan. Aku menemani Zuhair ke setiap sesi kemoterapi, duduk di sampingnya sambil memegang tangannya. Melihatnya begitu lemah dan tak berdaya membuat hatiku hancur, tapi aku bertekad untuk tidak memperlihatkan kesedihanku di depannya. Aku harus menjadi kuat, untuknya.
Setiap kali kami pulang dari rumah sakit, aku berusaha membawa sedikit kebahagiaan ke dalam hidup kami. Aku akan memasak makanan favoritnya, atau memutarkan film yang dulu sering kami tonton bersama. Tapi aku tahu, di balik senyum dan tawa yang kami coba ciptakan, ada bayangan gelap yang terus mengintai.
Zuhair mulai kehilangan nafsu makan. Tubuhnya semakin lemah, dan wajahnya tampak lebih pucat setiap harinya. Ada kalanya dia merasa sangat sakit hingga tidak bisa bangun dari tempat tidur. Di saat-saat itu, aku hanya bisa duduk di sampingnya, menggenggam tangannya, dan berharap keajaiban akan datang.
Suatu malam, saat kami berdua berbaring di tempat tidur, Zuhair memelukku erat. "Aku takut, Vin," bisiknya. "Aku nggak mau meninggalkan kamu."
Aku menahan napas, merasakan air mata kembali mengalir. "Aku di sini. Aku nggak akan ke mana-mana. Kita akan melewati ini bersama."
Namun di dalam hati, aku tahu bahwa waktu kami bersama semakin menipis. Rasanya seperti menunggu bom waktu yang siap meledak kapan saja. Setiap detik terasa berharga, setiap momen bersama terasa begitu singkat. Aku ingin menghentikan waktu, ingin hidup selamanya dalam pelukan Zuhair. Tapi aku tahu, itu adalah impian yang tidak mungkin terwujud.
Di malam itu, aku membuat janji pada diriku sendiri. Apa pun yang terjadi, aku akan berada di sisi Zuhair hingga akhir. Aku akan mencintainya dengan seluruh hatiku, meskipun waktu yang kami miliki tidak lagi banyak. Sebab cinta kami adalah satu-satunya hal yang bisa mengalahkan ketakutan ini.
Kota Udang, 21 September 2024
Pencinta warna biru 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...