#19 Menghadapi Ketidakpastian

13 4 3
                                    

Happy reading 🥳

***

Ketidakpastian adalah bagian dari perjalanan hidup, dan hanya dengan berani melangkah di tengah ketakutan itulah kita bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

***

Hari ini rasanya berbeda. Ada beban yang tak kasatmata menggantung di udara. Langit cerah, namun di dalam hati dan pikiranku, mendung tak kunjung berlalu. Saat aku berdiri di depan jendela, menatap ke luar tanpa fokus, pikiranku melayang jauh, mencoba mencari kepastian di tengah hubungan yang baru ini—hubunganku dengan Zavier. Sudah beberapa bulan sejak kami mulai menjalin kedekatan, tapi semakin dekat kami, semakin besar juga ketakutan yang kurasakan.

Hubungan ini terasa seperti sebuah pertaruhan. Zavier adalah pria yang baik, penuh pengertian, dan selalu ada untukku sejak awal. Tapi, bisakah aku benar-benar melepaskan diriku dari bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuiku? Zuhair pernah menjadi pusat hidupku, dan kehilangannya membuatku tenggelam dalam rasa sakit yang tak berujung. Sekarang, ketika aku mulai membuka diri lagi dengan seseorang yang baru, ketidakpastian itu terasa lebih menakutkan daripada sebelumnya.

Aku ingat, saat pertama kali bertemu Zavier di kegiatan sosial. Aku tersenyum padanya, dan dia membalas dengan senyum yang hangat. Waktu itu, aku tidak pernah berpikir bahwa senyuman sederhana itu akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Namun, saat kami bertemu lagi di rumah dr. Ethaniel, rasanya seperti ada sesuatu yang mulai berputar. Ketertarikan itu tumbuh, berkembang, meski di saat yang sama, aku menahan diriku.

“Apakah aku benar-benar siap untuk ini?” tanyaku dalam hati.

Pertanyaan itu tak kunjung pergi. Setiap kali Zavier menatapku dengan penuh perhatian, aku merasakan kehangatan di dalam diriku, tapi kehangatan itu selalu disertai dengan rasa takut. Takut bahwa aku akan kehilangan dia, takut bahwa aku tidak bisa memenuhi ekspektasi dalam hubungan ini, takut bahwa aku tidak akan pernah bisa mencintai lagi dengan cara yang sama seperti aku mencintai Zuhair. Ketakutan itu begitu besar hingga kadang-kadang aku merasa sesak napas hanya dengan memikirkannya.

***

Malam itu, aku duduk bersama Shania di kafe favorit kami. Shania, seperti biasa, tahu ada sesuatu yang menggangguku. Dia meletakkan cangkir kopi di atas meja, menatapku dengan sorot mata penuh perhatian.

“Elvina, kamu kelihatan nggak tenang. Ada yang salah?” tanyanya.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang ada di pikiranku. “Aku... aku bingung, Shan. Tentang Zavier.”

Shania mengerutkan kening, lalu mengangguk perlahan. “Kamu merasa ragu tentang hubungan kalian?”

“Bukan hanya ragu... aku takut. Takut kehilangan dia, takut hubungan ini akan berakhir seperti yang sebelumnya. Aku tidak ingin terluka lagi,” jawabku pelan, menatap meja di depanku.

Shania tersenyum lembut, seperti seorang sahabat yang tahu bagaimana cara menenangkanku tanpa harus mengatakan hal-hal yang rumit. “Elvina, ketakutan itu wajar. Setelah apa yang kamu lalui, tentu saja kamu merasa takut untuk membuka diri lagi. Tapi kamu harus ingat, Zavier bukan Zuhair. Hubungan ini berbeda, dan kamu juga bukan orang yang sama seperti dulu. Kamu sudah lebih kuat.”

Aku terdiam, merenungkan kata-kata Shania. Benar, Zavier bukan Zuhair. Tapi di tengah semua ketidakpastian ini, bagaimana caranya aku bisa merasa yakin? Setiap kali aku merasa nyaman dengan Zavier, selalu ada bagian dari diriku yang merasa bersalah. Bagaimana jika aku terlalu cepat melupakan Zuhair? Apakah aku berhak merasakan kebahagiaan lagi?

“Apakah menurutmu aku terlalu cepat melangkah?” tanyaku, menatap Shania dengan pandangan penuh keraguan.

Shania menggeleng pelan. “Nggak ada yang salah dengan membuka hati lagi, Vin. Kamu nggak sedang menggantikan Zuhair dengan Zavier. Mereka adalah dua orang yang berbeda, dan kamu berhak merasakan kebahagiaan lagi. Cinta yang baru ini bukan berarti kamu melupakan masa lalu. Tapi kamu harus percaya bahwa kamu juga pantas mendapatkan kesempatan untuk bahagia.”

Aku merenungkan kata-kata Shania sepanjang perjalanan pulang. Mungkin dia benar. Mungkin rasa takut ini adalah bagian dari proses. Tidak ada cara untuk menghindari ketidakpastian, tetapi aku juga tidak bisa membiarkan rasa takut ini menghentikanku dari menjalani kehidupan yang seharusnya.

***

Beberapa hari kemudian, aku dan Zavier pergi makan malam bersama. Kami menghabiskan malam itu dengan berbicara tentang banyak hal, dari pekerjaan, hobi, hingga mimpi-mimpi kami. Di balik obrolan santai itu, ada perasaan aneh yang terus mengganggu. Saat Zavier menatapku dengan senyuman hangatnya, aku merasakan kegelisahan itu semakin membesar.

“Vin, ada yang mengganggu pikiranmu, ya?” tanyanya dengan nada lembut. Zavier selalu bisa membaca suasana hatiku, bahkan ketika aku berusaha menyembunyikannya.

Aku menatapnya sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku... aku nggak tahu, Zavier. Aku takut tentang masa depan. Tentang kita.”

Zavier menatapku dengan penuh perhatian, lalu mengangguk pelan. “Aku paham. Hubungan ini mungkin menakutkan buat kamu, apalagi setelah apa yang kamu alami.”

Aku terdiam, mendengarkan kata-katanya. “Aku takut kehilangan kamu, Zavier. Dan aku takut tidak bisa mencintaimu dengan cara yang kamu layak dapatkan. Ada bagian dari diriku yang masih terikat dengan Zuhair, dan aku tidak tahu apakah itu adil buat kamu.”

Zavier tersenyum lembut, lalu meraih tanganku di atas meja. “Elvina, kamu nggak perlu merasa bersalah karena masih mencintai Zuhair. Masa lalu kamu adalah bagian dari dirimu, dan aku menerima itu. Aku nggak meminta kamu untuk melupakan atau menggantikan dia. Aku hanya ingin ada di sini untuk kamu, sekarang, dan kita bisa berjalan bersama, apapun yang akan terjadi di masa depan.”

Kata-kata Zavier terasa seperti beban yang terangkat dari pundakku. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin aku tidak harus memilih antara masa lalu dan masa depan. Kedua-duanya bisa ada bersamaan, dan aku bisa belajar menerima ketidakpastian yang ada.

***

Hubunganku dengan Zavier perlahan-lahan berubah. Bukan karena tiba-tiba semua ketakutan itu hilang, tapi lebih karena aku mulai belajar untuk menghadapi ketakutan itu dengan cara yang berbeda. Aku belajar bahwa ketidakpastian tidak selalu berarti hal yang buruk. Justru, di tengah ketidakpastian itulah aku bisa menemukan kekuatan untuk terus melangkah.

Dr. Ethaniel, seperti biasa, menjadi pendengar yang baik selama sesi-sesi terapi. Dia membantu aku memahami bahwa ketidakpastian adalah bagian dari kehidupan, dan tidak semua hal bisa direncanakan atau diantisipasi.

“Kamu mungkin merasa takut sekarang, Vin, tapi ketakutan itu bisa menjadi pendorong untuk terus maju. Ketika kamu menerima bahwa tidak ada yang pasti, kamu akan menemukan cara untuk hidup dengan lebih bebas,” katanya suatu hari.

Aku mengangguk, meski masih ada keraguan yang tersisa. Ketakutan itu memang tidak sepenuhnya hilang, tapi aku mulai merasa lebih tenang. Setiap hari, aku dan Zavier membangun sesuatu yang baru—sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah aku alami sebelumnya.

***

Pada akhirnya, aku menyadari bahwa tidak ada yang pasti dalam hidup. Cinta, kebahagiaan, bahkan rasa sakit, semuanya datang dan pergi tanpa kita bisa benar-benar mengendalikannya. Namun, di balik ketidakpastian itu, ada keindahan yang bisa ditemukan—keindahan dalam keberanian untuk membuka diri, dalam penerimaan atas masa lalu, dan dalam kemampuan untuk mencintai lagi.

Zavier memberiku perspektif baru tentang cinta. Dia tidak menggantikan Zuhair, tapi dia adalah bagian dari perjalanan hidupku yang baru. Dan meski masa depan kami masih belum pasti, aku siap untuk menjalaninya, dengan segala ketidakpastiannya.

Kota Udang, 9 Oktober 2024 

Pencinta warna biru 💙  

Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang