Happy reading 🥳
***
"Terkadang, kehilangan bisa begitu besar hingga kita merasa tak mampu melanjutkan hidup. Tapi bahkan di tengah rasa sakit yang paling dalam, kita memiliki pilihan—untuk bangkit, atau untuk menyerah pada kesedihan. Dan meskipun jalan menuju penyembuhan tampak begitu panjang, setiap langkah kecil yang kita ambil, setiap pengakuan akan rasa sakit kita, adalah langkah menuju cahaya. Kita mungkin tidak bisa menghilangkan kenangan yang menyakitkan, tapi kita bisa belajar untuk hidup bersama mereka, tanpa membiarkan mereka menghancurkan kita."
***
Hampir dua bulan berlalu sejak kepergian Zuhair. Meski aku mencoba menjalani hari-hariku seperti biasa, ada sesuatu yang tak pernah kembali. Rasa kehilangan itu begitu nyata, begitu menyesakkan, seolah aku berjalan dengan beban berat yang tak terlihat. Tapi, saat itu aku belum tahu, belum sadar, bahwa tubuhku dan pikiranku tengah menghadapi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kesedihan. Sesuatu yang perlahan mulai mengambil alih hidupku, membuatku semakin sulit bernafas setiap harinya.
Aku mengira rasa lelah yang kurasakan hanya karena berduka, bahwa rasa sakit di dadaku hanyalah tanda bahwa aku masih mencintainya, bahwa kehilangan ini memang tak mungkin segera terobati. Namun, saat aku mulai mengalami serangan panik, semuanya berubah.
Suatu malam, aku terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin mengalir di punggungku. Ruangan terasa begitu gelap dan sempit, seolah-olah dinding-dinding kamar bergerak mendekat, menghimpitku. Jantungku berdetak begitu kencang, dan tanganku bergetar tanpa henti. Aku tidak tahu apa yang terjadi—apa yang sedang menyerangku. Rasanya seperti aku sedang tenggelam, tetapi aku tidak berada di air. Hanya ada udara di sekitarku, udara yang tak bisa kuhirup.
Aku ingat duduk di tepi ranjang, memeluk lutut, mencoba menenangkan diriku sendiri, tetapi suara-suara di kepalaku tak bisa diam. Suara-suara itu berkata bahwa semua ini salahku, bahwa aku tidak bisa melindungi Zuhair, bahwa aku takkan pernah bisa menjalani hidup tanpanya. Dan dalam heningnya malam, perasaan itu menyeretku ke dalam jurang yang semakin dalam.
Hari-hari berikutnya pun tidak lebih baik. Setiap pagi, aku bangun dengan kepala yang berat, tubuh yang terasa lelah meski aku tak melakukan apa-apa. Aku mulai mengalami mimpi buruk hampir setiap malam. Dalam mimpi itu, Zuhair selalu ada. Kadang dia tersenyum padaku, tapi sering kali dia tampak kesakitan, memohon pertolongan yang tak bisa kuberikan. Saat aku terbangun, ada kekosongan yang tak bisa kujelaskan.
Aku mulai merasa takut untuk tidur, takut harus menghadapi mimpi-mimpi itu lagi. Tapi semakin aku menghindarinya, semakin parah rasa lelah yang menumpuk. Saat aku mencoba fokus pada pekerjaanku di dapur restoran, rasanya seperti aku berada di tempat yang bukan milikku. Wajah-wajah rekan kerjaku tampak buram, suara-suara di sekitarku terdengar seperti dengung tak berarti. Sering kali, ketika aku berdiri di depan kompor, tanganku mulai gemetar begitu parah hingga aku tak mampu memegang pisau dengan baik.
Teman-temanku di restoran mulai menyadari perubahan itu. Mereka mencoba berbicara padaku, mengajakku keluar untuk berbincang, tapi aku selalu menolaknya. "Aku baik-baik saja," kataku, padahal jauh dari kata 'baik'. Mereka tak tahu, tak ada yang benar-benar tahu betapa hancurnya aku di dalam.
***
Setelah dua bulan berlalu, aku mulai menyadari bahwa ini lebih dari sekadar duka. Aku tidak bisa bergerak maju, tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa Zuhair sudah pergi. Setiap hari aku merasa seperti terjebak di satu titik waktu, tak bisa melangkah. Suara-suara di kepalaku menjadi lebih keras, terutama saat malam tiba. Mereka terus-menerus memutar kenangan akan Zuhair, tapi dengan cara yang menyakitkan. Bukan kebahagiaan yang kami rasakan selama bertahun-tahun, melainkan saat-saat terakhirnya di rumah sakit, tubuhnya yang lemah, napasnya yang semakin lambat hingga akhirnya berhenti.
Aku bahkan tak bisa melihat foto kami tanpa merasa sesak. Foto yang dulu menyimpan kebahagiaan kami, kini hanya menjadi pengingat bahwa semua itu tak lagi ada. Aku tidak bisa menghadapi kenangan itu. Alih-alih memberiku kekuatan, kenangan itu membuatku terpuruk lebih dalam.
Kadang, aku berharap bisa membekukan waktu, berhenti di saat sebelum semuanya berubah. Ketika Zuhair masih di sini, masih memelukku setiap kali aku merasa sedih, masih tersenyum padaku seperti dia tak pernah akan pergi. Namun, kenyataan begitu kejam. Waktu tak pernah berhenti, dan semakin aku mencoba menahannya, semakin jauh aku tertinggal.
Serangan panik yang kualami semakin sering terjadi. Mereka muncul kapan saja, tanpa peringatan. Di restoran, di jalan, bahkan saat aku berbaring di sofa, berusaha sekadar menenangkan diri. Setiap kali serangan itu datang, tubuhku merespons seolah-olah sedang menghadapi bahaya yang tak terlihat. Napasku terhenti, mataku berair, dan rasa takut menguasai segalanya.
***
Suatu hari, aku duduk di dapur, sendirian, memandangi cangkir teh yang belum kusentuh. Jari-jari tanganku gemetar saat aku mengangkat cangkir itu. Saat itulah aku menyadari betapa dalam kerusakan yang sudah terjadi padaku. Teh di dalam cangkir tumpah, dan tanganku gemetar tak terkendali. Aku meletakkan cangkir itu dengan hati-hati, menutup wajahku dengan kedua tangan, dan mulai menangis. Isak tangisku terasa asing di telingaku sendiri. Aku merasa begitu lelah, begitu terperangkap. Tidak ada jalan keluar dari rasa sakit ini.
Saat itulah aku mulai mencari di internet tentang apa yang kurasakan. Artikel demi artikel, aku membaca tentang trauma, tentang bagaimana kehilangan seseorang yang kau cintai bisa merusak keseimbangan hidupmu. Dan di sanalah aku menemukan istilah yang belum pernah benar-benar kupahami sebelumnya: PTSD, Post-Traumatic Stress Disorder.
Bacaanku menjelaskan tentang gejalanya—serangan panik, mimpi buruk, kesulitan tidur, perasaan terisolasi, dan ingatan-ingatan yang terus menghantui. Semua itu terasa terlalu akrab, terlalu dekat dengan apa yang kualami selama sebulan terakhir. Seolah-olah artikel-artikel itu sedang berbicara langsung padaku, mengungkapkan sesuatu yang telah tersembunyi begitu lama di dalam diriku.
Aku sadar bahwa inilah yang sedang terjadi padaku. Aku telah mengalami trauma dari kehilangan Zuhair, dan sekarang trauma itu menguasai hidupku. Tapi menyadarinya bukanlah penyelesaian. Rasanya seperti langkah pertama menuju gunung yang begitu tinggi, yang aku tak yakin bisa kudaki. Bagaimana mungkin aku bisa sembuh dari sesuatu yang terus-menerus menghantui setiap hari dan malamku?
***
Aku tahu aku tak bisa melanjutkan hidup seperti ini. Aku tahu aku membutuhkan bantuan. Tapi di saat yang sama, aku takut. Takut mengakui bahwa aku benar-benar rapuh, bahwa aku tidak bisa mengatasi semuanya sendirian. Rasa malu dan ketidakberdayaan menghantui pikiranku. Aku merasa gagal, seolah-olah aku tidak cukup kuat untuk menjalani hidup setelah kepergian Zuhair. Padahal, itulah yang akan dia inginkan—agar aku bisa tetap hidup dengan penuh semangat, meski dia tidak lagi di sini.
Namun, kenyataannya, aku tak tahu harus mulai dari mana. Segala sesuatunya terasa begitu kabur, seperti aku berjalan dalam kegelapan tanpa arah.
***
Kota Udang, 22 September 2024
Pencinta warna biru 💙
Kalau update lagi mau nggak???
Komentar ya kalau mau 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Kasih Yang Pergi ✓ [SELESAI]
Romance[END & REPUBLISH] "Kasih yang Pergi" adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Melalui perspektif pertama Elvina, pembaca akan merasakan intensitas perasaan dan perjalanan batin yang dialami setelah...