Maju Kena, Mundur Kena

1K 144 3
                                    

Hello, bermalam minggu lagi dengan Kinar, Zara, dan para cowok yang belum mengerti isi hati mereka. Belum terbiasa kali yaa, xixixi

Cusss, langsung aja dibaca ceritanya

Zara masuk ke rumah yang suasananya sungguh sepi. Wajahnya sendiri sangat kucel bekas debu dan sinar matahari, berminyak, dan badannya lengket—bau keringat. Sabtu ini dia pergi ke proyek, kantor menghitungnya sebagai lembur. Dari Depok ia langsung diantar pulang oleh Aldi. Sepanjang jalan kembali ke Jakarta, Zara tidak peduli apa asumsi sang bos mengenai dirinya. Dia kelelahan diajak berkeliling proyek berhektar-hektar itu, sampai di mobil ia pulas tertidur.

Zara merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah, tangannya terentang dan kepalanya bersandar di sandaran sofa untuk menatap langit-langit. Dari kamar masnya keluar Kinar dengan setelan piyama biru tua. Wajahnya bersih berseri. Di belakangnya berjalan Atif yang masih mengenakan peci. Mereka baru selesai shalat ashar berjamaah rupanya.

"Mandi, Ra." Kinar duduk menyebelahi Zara, ia menepuk lengan Zara. "Lengket badanmu."

Zara menarik kedua tangannya, ia tak tahan untuk cerita panjang lebar pada Kinar. "Lo bayangin aja, gue dari proyek! Seumur-umur jadi akunting baru kali ini gue ke lapangan. Keliling lahan puluhan hektar sambil dengerin mandor bahas kerjaan anak buahnya. Yang gue nggak paham, kenapa Tuan Aldi itu mau-maunya terjun ke lapangan Sabtu begini dan ngajak gue sih?!" Zara menarik rambutnya ke belakang, kuncirannya sudah rusak.

"Controlling saja mungkin. Namanya bos kan wajib tahu semua hal, seluk beluk proyeknya. Barangkali materialnya odong-odong... atau ada penimbunan batu bata, penggelapan dana. Bisa jadi, kan?" Kinar berasumsi.

Zara mengerutkan kening. Dia tidak ada prasangka semacam itu, urusan keuangan selalu beres dan terlihat baik-baik saja. Material rumah dari bahan berkualitas terbaik, dia sendiri yang melihat nota transaksi pembelian bahan baku rumah. Zara mengibaskan tangannya. "Terserah apa niatnya, yang jelas dia kan bisa ajak orang proyek. Nggak harus gue dong, Nar?"

"Nikmatin saja, biar pengalamanmu banyak. Itu bisa nambah variasi kerjaan kalau lo lamar di kantor baru!" Kinar tertawa kecil.

"Iuh... asisten mandor, gitu?"

Kinar menyengir.

"Banyak ngeluh kamu, Ra. Nggak usah kerja saja kalau gitu..." Masnya ikut nimbrung. Atif menyalakan tv dan mencari siaran berita sore.

"Temen lo itu reseknya... nggak ketulungan!" Zara setengah menggerutu, ia sudah melipat tangan di depan dada.

Atif mengangguk sekali, sudah tahu dan paham. Ia teringat kata-kata Aldi bahwa temannya itu memang naksir adiknya, tapi mengapa kelakuan Aldi selalu tidak ada baiknya di mata Zara? Atif sendiri tidak mau ikut campur urusan mereka selama Zara baik-baik saja.

"Gue punya firasat, Ra." Kinar menepuk bahu Zara pelan. "Mungkin si Mas ini naksir kamu kali ya? Seriusan naksir maksudnya..."

"Amit-amit!" Zara mendelik.

Atif menoleh ke arah adiknya. Tertawa. "Segitunya?"

"Gue nggak pernah bisa bayangin hidup dengan manusia model dia deh! Ada-ada saja kalian ya!" Zara duduk tegap, tangan kanannya bersandar di bahu sofa. "Nih, gue gambarin keadaan hubugan gue dan dia kalau sampai bersama. Yang ada kami banyak cekcoknya. Banyak nggak cocoknya. Kebalikan dari kalian yang damai-damai saja. Tapi, terlalu damai juga aneh, nggak ada kontraksi sama sekali, itu membosankan, kayak nggak hidup. Iya kan, Nar?" ia menoleh kepada Kinar. Kinar terdiam, tak ada jawaban.

Atif menatap adiknya datar.

"Sori." Zara menutup mulutnya, ia merasa salah bicara.

Kinar bangkit dan sengaja berjalan ke arah pantri. Ia tahu Zara tidak bermaksud menyinggung rumah tangganya. "Manusia memang susah bersyukur, hubungan anteng-anteng saja dibilang salah. Lo mau kami ribut kayak sineteron di tv itu? Gue kan nggak betah drama, Ra." Kinar menceletuk dengan santai, kemudian ia memilih untuk mengambil air dari lemari es.

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang