Tolong, Terima Aku

1.1K 173 13
                                    



"Sejak kapan Ibu ngajarin anak-anak ibu untuk tinggal sama perempuan yang bukan mahrom, Tif?" Ibu dan Ayah Atif adalah dua orang yang taat menjalankan ibadah agamanya. Mendidik anak-anaknya dengan baik, Ibu sangat kaget saat di rumah Atif ada orang lain yang tinggal di sini tanpa memberitahu beliau. Tapi tentu saja beliau tidak akan bertanya pada Kinar.

"Ibu, ini nggak seperti yang Ibu sangka...Kinar temannya Zara. Mereka sahabatan sejak di Jogja." Atif melembutkan suaranya, ia duduk di samping ibu di tepi ranjang.

"Iya, Ibu tahu itu. Tapi tetap saja kalau Zara nggak ada di rumah seperi ini, gimana...? Setan itu banyak akal bulusnya buat menggoda manusia, Atif!"

Atif tidak berani menjawab. Ia tahu dirinya salah. Ia bisa saja melakukan hal yang tidak benar jika tidak pandai mengendalikan dirinya, manusia tempatnya khilaf.

"Jangan pernah merasa yakin bahwa kamu nggak akan macam-macam. Banyak kejadian yang nggak mungkin terjadi tetapi pada akhirnya apa?" Ibu rajin melihat berita dan juga membaca koran. Terutama kasus pelecehan pada kaum hawa. "Ibu memang kenal kamu, kamu anak Ibu dan lahir dari Rahim Ibu, Tif. Tapi sejak kamu di sini bertahun-tahun yang lalu, Ibu mana tahu kamu sudah berubah kan?"

Atif menatap wajah Ibu, ia tak menduga kalau ibu punya prasangka padanya—yang tidak-tidak. Atif memilih diam untuk merenung. Selama ini ia tidak pernah bermain-main dengan perempuan manapun. Gampangnya, dia terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengencani satu orang pun di Jakarta.

Setelah beberapa saat hening, Ibunya bertanya lagi. "Orangtuanya kemana?"

"Dia yatim piatu, Bu..." Atif telah mendengar semua cerita tentang Kinar dari adiknya, tidak ada yang ditutup-tutupi lagi termasuk kenyataan bahwa kini Kinar sebatang kara.

"Innalillah..." Ibu terlihat tidak tega, ada kecemasan merambat dalam dadanya. "Dia nggak ada keluarga atau wali? Perempuan nggak boleh pergi tanpa wali, Tif..."

"Ada, keluarganya di sini, tapi Zara bilang mereka ada sedikit masalah." Atif menjelaskan mengenai Kinar kepada Ibu, semua yang dia dengar dari Zara dan obrolan pendek dengan Kinar sendiri dia sampaikan semuanya. Tidak ada yang dia tutup-tutupi.

Ibu merasa prihatin, beliau sampai menitikkan air mata setelah menyadari bahwa Kinar memang sebatang kara dari Jogja, Kinar yang bermasalah dengan satu-satunya keluarga yang dia miliki. Ibu menyentuh tangan Atif, sudut bibirnya nampak menarik garis senyum. Beliau menatap lamat-lamat wajah anaknya, "kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Tif... Ibu tidak ada maksud memaksa kamu, tapi istiqarah saja dulu."

Dengan kesadaran penuh, Atif mengerti apa yang dimaksud oleh ibunya. Dia tidak punya jawaban lain selain sebuah anggukan. Restu ibu adalah yang terpenting baginya. Oh, apakah Tuhan mendengarkan suara hatinya yang patah-patah? Ia tak benar-benar jelas menyebutkan nama Kinar dalam doa, ia hanya ingin menikah dengan perempuan yang ia suka sejak kali pertama jumpa. Dan kini sang ibu mendukungnya. Alangkah bahagia rasanya.



Tiga hari berlalu, ibu sudah kembali ke Surabaya diantar oleh Atif. Selama ibu di rumah, Atif tidur di ruang tengah, kamarnya di tempati oleh ibunya. Atif juga disibukan dengan pertanyaan-pertanyaan dari dalam hatinya, apakah dia akan maju atau mundur saja perihal Kinar. Namun semakin lama bertanya, berdoa, dan meminta jawaban pada Sang Mahakuasa, dia memutuskan untuk maju, hatinya mantap. Seolah langit dan bumi mendorongnya, menyuruhnya maju ke medan yang belum pernah ia jajaki. Melamar seorang perempuan.

Betapa groginya dia saat ini, berdiri di depan Kinar setelah pulang kerja pukul sembilan malam. Kinar baru membuka puntu kamar Zara, hendak ke arah dapur kecil. Mata mereka berpapasan di udara, suasananya mendadak hening dan canggung.

Atif menelan ludah yang agak seret demi membasahi tenggorokannya. "Kinar, ada yang mau saya bicarakan."

Kinar menganggat dagu setelah menunduk karena tak sengaja menatap Atif. Meski gurat lelah sangat kentara di wajah lelaki itu, tetapi tak mampu menutupi ketampanan yang sejak lahir sudah tercetak jelas di sana. Kinar hanya takut khilaf saja. "Ini soal Ibu kamu? Nanti saya cari tempat, segera ya, Mas..."

Atif segera menggeleng, Kinar salah paham dengan maksudnya. "Bukan, ini soal saya."

"Kenapa?" Kinar menatap Atif tak percaya. Ada apa dengan kakak sahabatnya? Mau curhat? "Mas Atif kenapa memangnya?" Kinar menatap Atif dalam-dalam. Sesaat kemudian ia mengetahui lelaki itu tengah gugup saat berhadapan dengannya. "Mas...?" tanya Kinar sembari menutup pintu di belakangnya. Ia dan Atif berjarak hanya dua meteran.

Atif meremas jari jemarinya sebelum berkata sesuatu. Untuk pertama kali, ia mengungkapkan niat baiknya pada seorang wanita. "Iya, ini tentang saya... bagaimana kalau saya menikahi kamu, Kinar?"

Kinar terdiam. Ia sungguh shock.

"Kamu... bisa pikirkan ini, tolong pertimbangkan permintaan saya, Kinar." Kata Atif setelah menarik napasnya, mengurai kecanggungan dan rasa gugup.

Kinar ikut menarik napasnya dalam-dalam. "Kenapa harus saya? Kita baru bertemu di sini, belum mengenal lama dan... apa ini karena Ibu Mas Atif?"

"Tentu saja tidak, ini murni kemauan saya." Ucap Atif jujur, ia melihat wajah Kinar dan menunjukan keseriusannya. "Saya lihat kamu di sini, mengamati kamu, dan saya rasa sudah cukup untuk mengatakan sejujurnya kalau saya... ingin menikahi kamu." Atif bersyukur kalimatnya keluar dengan mulus. Sangat eksplisit dan pastinya itu membuat Kinar paham.

Kinar melempar tatapan ke benda lain, ke pintu dapur, ke televisi yang menampakan layar gelap, ke sofa, ke lantai hingga ke ujung kakinya. Menghidari sorot mata Atif yang begitu tulus dan jujur. Atif laki-laki yang baik, Zara tidak salah menilai kakaknya sendiri. Setelah berpikir beberapa saat, Kinar mengatur napas demi mengatakan kata-kata yang semoga saja tidak menyinggung perasaan Atif sama sekali. "Beri saya waktu, Mas... tiga hari..."

"Terimakasih kamu tidak langsung menolak saya, Kinar." Ucap Atif sembari mengangguk, ia pun tersenyum, ada kelegaan dan kehangatan dalam hatinya.

Kinar balik tersenyum dan berjalan menuju pantri. Atif pun berlalu ke kamarnya sendiri dengan perasaan campur aduk.

Tumben-tumbenan Zara pulang agak terlambat, gadis itu langsung merebahkan diri di kasur, di sebelah Kinar yang sedang melamun. "Kenapa lo?" tanyanya terheran.

"Mas Atif..." Kalimat itu menggantung di udara. Kinar merasa belum saatnya memberitahu Zara tentang lamaran Atif. Dia belum punya jawaban, dia butuh waktu untuk berpikir. Sendiri.

Zara masih setia menunggu kelanjutan kalimat sahabatnya. Ia menatap Kinar lamat-lamat. "Kenapa dia, ha? Godain lo? Nggak mungkin kan ya?" segala prasangkanya tentang kakak laki-laki satu-satunya adalah baik. Muhammad Atif tidak pernah menanggalkan kesantunannya meski bertahun-tahun tinggal di kota besar ini. Zara yakin sampai detik ini pun masnya masih lurus.

"Nggak pa-pa. Sudah sana mandi dan ganti baju!" perintah Kinar sembari melempar guling ke arah Zara, mengindar dari kecurigaan calon adik iparnya.

"Bohong! Pasti ada yang lo sembunyiin. Kenapa sih? Mas gue nggak towel-towel lo, kan?" bisa jadi kakaknya khilaf karena mereka hanya berdua di rumah ini. Malam-malam pula. Zara mendadak punya pikiran negatif. "Lo nggak diapa-apain kan sama Mas gue, Kinar?" tanya Zara lirih.

"Enggak, Zara!" Kinar setengah kesal.

Oke, baik. Mas Atif masih lurus. Zara penuh syukur dalam hati.

"Terus lo mau cerita apa dong, Kinar. Jangan bikin gue nggak bisa tidur deh!" Zara menatap Kinar penuh tuntutan.

Kinar menggeleng sekali, abai. "Sudah ah, gue tidur. Bye!"

"Eh, baru jam sembilan lewat! Lo nggak biasa-biasanya tidur jam segini, Nona!" Zara balik melemparkan guling kepada Kinar, guling sampai menengai punggung Kinar tetapi gadis itu diam saja. "Pasti ada yang lo sembunyikan dari gue ya? Ngaku!" paksa Zara sekali lagi.

Kinar tetap mengabaikan Zara meski gadis itu menarik selimutnya berkali-kali, hingga akhirnya Zara lelah dan mengalah.


KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang