Pukul sebelas lewat Zara biasanya sudah terlelap di kamarnya, tentu saja setelah ia melanjutkan buku bacaannya malam kemarin. Namun malam ini dia memilih membaca buku sampai larut di ruang tengah yang mini, sambil menunggu masnya pulang demi membicarakan hal penting.
Setidaknya hal ini penting bagi keberlangsungan hidup (normalnya) sang sahabat. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar sahabatnya bercerita tentang keruwetannya tinggal bersama tante dan dua sepupu yang sama-sama cerewet. Ia takut Kinar semakin bertambah tertekan dan membuat Kinar memutuskan untuk kabur lalu tidak pulang atau bahkan tidak bisa ditemukan keberadaannya. Bayangan itu membuat Zara begidik. Kinar tidak punya siapa-siapa di sini selain keluarga tantenya tersebut.
Bacaan Zara masih belum berpindah, ia stuck di halaman 115 pada bagian atas. Ia tak benar-benar paham dengan isi paragraph tersebut, ada hal lain yang sedang ia pikirkan. Sore tadi setelah dia dan Kinar berpisah, ternyata dia bertemu dengan Aldi lagi. Ia pikir itu ulah bos juniornya, pasti sengaja membuat mereka bertemu lagi. Ia yakin Aldi mengikutinya saat ia dan Kinar keluar kafe dengan terburu-buru.
"Ra, saya lihat kamu tadi. Sama teman?" Aldi menegur Zara sesaat setelah Kinar pergi dan masuk ke taksi.
"Ya." Jawab Zara singkat. Seperti biasa, ia nampak jutek.
Tak lama Aldi di sana gerimis kecil datang dan mereka segera berteduh di bawah halte. Hanya ada beberapa orang di sana, jalan raya yang biasanya ramai dan macet juga lebih sepi dari biasanya.
"Mau balik?" Aldi bertanya sambil melirik jam tangannya. "Masih sore, pergi yuk!" ajaknya dengan senyuman yang mampu meluluhlantakkan hati perempuan manapun—kecuali Zara.
Zara mendelik kesal, membuang napas. "Saya balik saja, Pak!"
Sedetik Aldi terdiam. "Oh, oke. Bareng?"
"Nggak. Kita beda arah nggak sih?" Zara melihat jalan di depan, tidak ada taksi yang kosong. Handphone-nya low batt, tidak bisa pesan ojeg online langganannya. Kini ia berpikir realistis, selian tawaran dari Aldi apakah ada pilihan lain yang jauh lebih aman?
"Nggak masalah." Aldi menjawab santai. "Yuk!" ajaknya pada Zara.
"No, no!" Zara melihat seorang tukang ojeg baru menurunkan penumpang di seberang halte tempat mereka berdiri. Ia bersyukur Tuhan Mahabaik telah mengirimkan jawaban secepatnya.
"Kenapa kita pulangnya nggak bareng saja, Ra?" Aldi mencegat Zara yang hendak menuju tangga penyebrangan.
"Kenapa harus?" Zara menyingkir, kesal. Gara-gara bosnya ojeg tersebut kabur membawa penumpang lain.
"Saya tanya, kok kamu balik tanya?" Aldi ikut kesal, tetapi masih bisa menempatkan diri, dia memang salah karena sudah menghalangi jalan orang lain.
"Suka-suka saya dong, Pak!" Zara menjawab dengan ketus, ia melipat tangan di depan dada. Sudah tidak ada lagi ojeg yang menunggu penumpang, gerimis yang turun juga makin besar. Jalan lain untuk pulang tentu saja dengan pesan ojeg dari aplikasi online, ia hampir kembali ke kafe untuk mengisi daya baterai handphone-nya. Namun sebelum dia melakukan instruksi otaknya, Aldi sudah menarik tangannya. Menggandeng hingga ke area parkir di sisi kafe.
"Maaf saya harus begini karena kamu selalu menolak tawaran saya. Niat saya baik kok, saya anterin kamu meski kita nggak searah! Ngapain kamu harus naik ojeg segala. Polusi dan sudah pasti sebentar lagi akan hujan!" Aldi mengoceh sepanjang jalan menuju Toyota Rush hitamnya—seri terbaru tahun ini. Entah mengapa Zara tidak memberontak lagi, ia mendengar kata-kata bosnya dengan telinga sehat seratus persen.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA & JAKARTA
ChickLitEND Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--seperti yang ia harapkan? Kinar. Romance, Chicklit "Menjadi jomblo di belantara kota Jakarta rasanya h...