Seperti Kecepatan Cahaya

1K 168 9
                                    




Ada restu atau tidak, Kinar tetap pergi dari rumah tantenya untuk sementara waktu—ia berharap selamanya saja tidak akan kembali ke rumah itu. Kembali masuk ke rumah itu maka hidupnya tidak akan pernah leluasa, banyak aturan, campur tangan dan berbagai omelan yang sudah malas ia dengarkan. Manusia jarang sekali mau mendengar nasehat yang terus diulang-ulang, apalagi bicaranya tanpa perasaan, membentak, menghakimi, men-judge!

Kinar benar-benar lelah. Maka saat dia berada di rumah kakaknya Zara, hatinya terasa sangat lega. Akhirnya ia menikmati kebebasan selama 24 jam tanpa harus bersitegang dengan tantenya. Meski demikian, ia agak sedih karena harus meninggalkan si kembar Rana dan Rani, dua sepupunya yang cerewet seperti ibunya ternyata punya sisi menyenangkan. Beberapa kali mereka dan Kinar pergi keluar bersama, ke toko buku, bioskop, taman bermain. Kinar sempat merasa bersalah saat berpamitan dengan mereka berdua, Rana sempat menahannya, Rani bahkan menangis karena tidak rela dia pergi.

Zara kembali ke kamarnya setelah mencuci piring bekas makan malamnya bersama Kinar. Dia duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Nar, sabtu besok gue ada acara kantor, peresmian proyek baru. Lo di rumah sendiri ya?"

"Oke. Eh, lo pergi sama bos baru?" Kinar melirik sekilas, ia sedang menata baju-bajunya di lemari yang disediakan oleh Zara.

"Yup!"

"Gimana dia?" Kinar tersenyum kecil.

"Makin ngeselin. Nglantur..." Zara menarik buku dari atas meja, membuka-buka tanpa minat sama sekali.

Zara teringat satu hal saat dia dan Aldi berada di lift yang sama. Aldi menggeser posisinya, sampai lengannya menyentuh lengan kecil Zara. Lift itu penuh. Sementara itu Zara sudah tidak bisa bergeser lagi, dia menempel ke dinding lift. Ia bahkan susah untuk bernapas dengan bebas. Akhir-akhir ini Aldi makin meresahkan, ia selalu tersenyum pada Zara tetapi tidak pada karyawan lain terutama perempuan—senyum seperlunya saja, tidak berlebihan. Aldi yang rajin membelikan jus dan menaruhnya di atas meja kerja Zara—ada atau tidaknya Zara di sana, kadang Zara harus bersembunyi saat jam makan siang berakhir, sebab ia tidak mau banyak mengobrol dengan atasannya di luar urusan pekerjaan.

"Itu tanda-tanda dia naksir lo..." Kinar sudah menyelesaikan tugasnya, dia duduk di kursi meja rias. Siap melakukan perawatan malamnya.

"Oke, gue memang menyadari hal itu... tapi gue nggak setuju sama sekali! Lo rela gue sama si mata keranjang?" Zara selalu emosional jika membicarakan Aldi. Kalau dia punya riwayat darah tinggi, mungkin sudah masuk RS berhari-hari.

Kinar menggeleng, menatap dirinya di cermin besar. "Tapi siapa tahu dia berubah. Dari mana lo tahu dia mata keranjang? Bukannya suka ngelirik lo doang ya?" ledeknya.

"Kata siapa?!" Zara tidak terima dengan ucapan Kinar—meskipun ada benarnya. Zara mendengar gosip baru tentang bosnya tadi siang. Kata teman dari divisi finance, Aldi selalu menolak ajakan makan siang dari anak finance yang masih single, tentu saja Zara tahu siapa perempuan itu. Percaya atau tidak, hal ini semakin ganjil saja. Awalnya Zara tidak mau mendengar gosip murahan seperti itu, lama kelamaan semua ini makin menggelitik batinnya. Apalagi adanya fakta yang ia lihat sendiri bahwa Aldi tidak pernah rela mobilnya mengantar karyawan perempuan manapun kecuali dirinya.

"Perasaan dia terang benderang sama lo kan, Ra?" Kinar mulai mengoles night cream ke wajahnya.

"Perasaan gue gelap gulita sama dia!" Zara membantah. "Lo nggak lihat muka gue selalu mendung kalau ngomongin dia?"

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang