Cinta Tapi Beda

1.4K 205 6
                                    



Terimakasih sudah tertarik melanjutkan cerita romance ini, semoga menghibur



Jumat 29 November.

Kinar mengetik dengan cepat, sepuluh jari menari di atas keyboard. Jam menunjukkan pukkul 12:00 siang, waktunya seluruh pegawai istirahat dan makan siang. Tidak dengan Kinar, tumpukan revisian begitu menggunung di atas mejanya. Sang bos ingin ia menyelesaikan semuanya hari ini juga. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal atasan Kinar akan menilai bos Kinar kejam dan supersadis, ternyata tidak juga, Kinar justru menikmati pekerjaan ini dengan sangat baik.

Ponsel di sebelah Kinar bergetar. Panggilan dari Aiden.

"Ya?!" Kinar tak sengaja membentak. "Sori. Sori. Lagi ribet banget, Yang! Ada apa? Kenapa?" tanyanya tanpa mengalihkan fokus dari layar. "Koma lima puluh delapan persen!" Kinar mengeja angka di layar, hasil perhitungannya sudah tepat.

Dari seberang sana Aiden tertawa kecil, ia hapal gelagat kekasihnya kalau sedang diburu pekerjaan. Nyaris saja ia menjuluki gadis ini si workaholic sejati.

"Kenapa kamu ketawa, Den?" tanya Kinar, sedikit tersinggung.

"Nggak... eh, makan di mana? Aku di lantai delapan. Bisa nyusul nggak?" tanya Aiden kalem.

Makan siang? Jam berapa sih? Kinar tidak sadar bahwa semua temannya yang selantai dengannya sudah keluar mencari buruan, pengganjal perut. Ia celingukan, sendiri dan sepi. Ruangan ini ramai oleh suara ketikannya yang cepat sekali.

"Kinar? Kamu di sana kan?"

"Sori. Sori..." Ucap Kinar terburu. "Gawat! Pak Bos ngomel-ngomel tadi, banyak yang nggak sesuai deadline, proyek lagi banyak dan kurang orang. Aku nggak bisa ke atas, kamu makan duluan saja ya." Curhatnya panjang lebar.

Terdengar helaan napas panjang, Aiden menyabarkan diri. Terhitung sudah sepekan ini mereka tidak makan siang bersama meski kantornya hanya beda dua lantai. Aiden di lantai 4, ia sebagai konsutlan pajak. Sementara Kinar di lantai 6.

Jari Kinar menekan enter. Printer menjalankan tugasnya, lembar demi lembar kertas tercetak. Sejenak ia sandarkan punggung ke kursi, bernapas dengan lebih natural, tidak seperti sedang dikejar-kejar ajing galak.

"Mau makan apa? Aku pesenin saja ya?" Aiden mengalah. Dia tiga tahun lebih dewasa dibanding Kinar, sedikit mengayomi.

"Boleh. Yang nggak berat tapi ya!" pinta Kinar.

"Masih diet apa?" Aiden tertawa.

"Bukan. Lagi malas makan nasi, pengin makan orang!"

"Jahatnya pacarku."

Mereka tertawa bersama-sama. Cukup melegakan meski tidak duduk bersama.

"Sepuluh menit lagi sampai, dari lantai ini kok makanannya. Jangan lupa shalatnya dijaga meski kamu sibuk setengah mati, Yang!" Aiden memperingatkan. Tapi Kinar merasa tidak tenang, ada yang salah, begitu kata hatinya. "Bacain doa itu Pak Damar, supaya nggak kejam-kejam amat sama karyawannya, Yang."

"Sip." Jawab Kinar sekenanya, bola matanya masih melirik ke arah printer yang sedang mencetak dokumennya.

"Nanti malam jadi ya? Kita nonton kan?"

"Umm... nggak janji. Sori." Jawab Kinar setelah berpikir sejenak.

"Aduh yang..." Aiden mulai merajuk, seperti biasa. "Kapan sih kamu balik kerjanya normal lagi, bareng sama orang-orang keluar kantor? Pindah sajalah, aku bantu kamu cari yang baru nanti."

"Nggak segampang itu, aku sudah PW di sini, Den..." bela Kinar. Tidak ada yang mengalahkan rasa nyaman bagi Kinar, pindah itu masalah besar. "Pindah juga belum tentu SOP kantor baru lebih beres dari ini, terus kalau lokasinya makin jauh dari gedung ini gimana? Yang ada kita nggak pernah bisa makan siang bareng kan?" Kinar memberi alasan, sudah sering Aiden meminta dirinya pindah kantor dengan alasan Pak Damar suka seenaknya sendiri menyuruh Kinar lembur.

"Oke,"Aiden mengalah. "Kalau gitu aku tunggu kabar kamu saja ya. Kita bisa nonton midnight kan? Ini jumat kok."

"Jumat?" Kinar mengangkat punggungnya dari sandaran. Hari jumat adalah hari besar dalam Islam dan para lelaki berdatangan ke masjid untuk menunaikan shalat jumat dua rakaat, tetapi tidak dengan Aiden, kekasihnya itu penganut Katolik sejak lahir, Aiden itu sebenarnya juga taat.

"Iya, jumat, besok libur jadi kita bisa nonton malam ini kan?" tanya Aiden lagi. Ia masih berusaha untuk bertemu Kinar usai jam kantor.

"O... Oke..." Kinar terdengar ragu-ragu.

Pintu ruangan bos terbuka, Pak Damar berjalan cepat menuju kubikel Kinar.

"Den, aku tutup ya. Ada Pak Damar, nanti aku kabarin lagi. Bye!" seketika sambungan terputus.

"Kinar, ini ada tambahan. Si Johan malah nggak masuk, kamu tanya dia ini sudah beres belum sih!" Pak Damar yang berkumis tipis melempar sebuah bundel ke meja Kinar tanpa belas kasih. Kinar menyabarkan diri, ini sudah biasa terjadi dan bukan masalah yang harus dibesar-besarkan. Kalau bukan karena gaji tinggi dan fasilitas kantor yang oke, mungkin dia sudah akan lari dari kantor penilai ini. Lagipula Pak Damar itu aslinya baik, hanya bisa jadi garang saat anak buah tak becus mengurus pekerjaan.

"Baik, Pak!" Kinar mengangguk. Menyentuh se-bundle berkas di atas mejanya. Pahit memang jika harus membantu pekerjaan teman yang tak beres, tapi dia sudah biasa.

Pak Damar kembali ke ruangannya dan kembali keluar dalam waktu singkat. Ternyata beliau hanya mengganti sepatu dengan jepit yang biasa dipakai ke masjid. Kinar hapal itu.

Ruangan ini makin kosong saja, hanya ada suara printer yang sibuk mencetak. Kinar mendesah pelan, sambil menunggu makanan datang dia mengecek dokumen yang baru dicetaknya.

Kinar adalah salah satu staf penilai di perusaan jasa ini. Sudah tiga tahun ia mengabdikan diri. Jabatannya rangkap, selain staf penilai ia juga menjadi quality control yang sangat dipercaya sang bos sejak satu tahun lalu. Gajinya berlipat-lipat, karirnya bagus, tapi tekanan dan beban kerja semakin meresahkan. Dia jarang pulang tepat waktu, selalu di atas jam tujuh atau depalan. Tiga bulan ini saja dia sering keterusan lembur sampai jam sepuluh—untungnya tidak sendiri, bersama para staf lainnya.

Kinar dan Aiden bertemu di gedung ini tiga tahun lalu. Mereka sering—tak sengaja—makan siang di meja berdekatan hingga sering satu lift ketika pagi, sampai akhirnya Aiden mengajak berteman—teman dekat yang berubah jadi sepasang kekasih dengan sebuah wanti-wanti; kami beda. Ada tembok kokoh yang jadi penghalang. Ya, begitulah kisah percintaan mereka, beda keyakinan adalah masalah besar. Namun selama tiga tahun ini mereka bisa menjalani dengan baik, minim konflik, minim perbedaan—selain masalah keyakinan. Banyak kecocokan dan jarang menemui ketidakcocokan. Kinar sudah nyaman dengan Aiden. Mereka pasangan yang sulit dipisahkan kecuali satu kenyataan pahit yang akan terus menghadang; keyakinan.

Kinar menarik napas panjang, mengambil semua hasil cetakannya yang baru saja selesai. Pada dasarnya Kinar cekatan, ia cepat sekali menyelesaikan tugas dan pekerjaan, itulah yang membuat sang bos menariknya menjadi salah satu QC di kantor ini. Kendati demikian, Kinar masih sering survey keluar kota karena di divisinya masih kekurangan tenaga bila tuntutan proyek terlalu banyak dan dalam jumlah yang besar.



Jika menurut kalian cerita ini menarik dan wajiib untuk dibaca, maka boleh ya share ke teman-teman, banyak pembaca makin seru diskusinya :')

Dan kira-kira apa yang akan terjadi pada Kinar selanjutnya?

Nantikan kelanjutan kisahnya !!


KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang