Jogja, Jumat, 03 Januari.
Malam tahun baru sudah lewat, bagi Zara selalu tidak ada yang spesial di pergantian tahun Masehi kecuali pesta kembang api yang singkat akhibat seluruh tempat diguyur hujan. Jakarta kabarnya hujan lebat sejak pukul tujuh malam sampai dini hari, membuat beberapa lokasi banjir karena genangan air tak bisa diserap tanah. Tanahnya sudah jenuh, begitu kata seorang tokoh yang diwawancarai sebuah media online.
Saat pergantian tahun Masehi itu Zara pun masih di dalam gerbong kereta panjang, duduk di sebelah Aldi, menyaksikan percikan warna-warni kembang api di atas langit. Perjalanan ke Jogja pun ditemani gerimis dan mendung.
Ini malam terakhir dia di Jogja, bersama Aldi dia menjelajahi Malioboro setelah seharian penuh kulineran dan membeli oleh-oleh. Jalan ini dekat dengan penginapan mereka, karena itu Zara hanya mengenakan baju santai dan sandal jepit. Aldi masih terlihat keren dengan celana jeans dan kemeja lengan pendek. Beberapa penjual, penduduk asli Jogja, wisatawan lokal maupun asing, sempat meliriknya ketika ia lewat. Bagi mereka, mungkin sosok Aldi adalah pemandangan yang sayang jika dilewatkan. Zara tak peduli dengan kehadiran Aldi, ia jalan lebih dulu. Tiga meter di depan Aldi.
Sepanjang jalan ramai sekali, kursi di emperan penuh oleh anak-anak berlibur dan para pemuda. Penduduk asli Jogja dan para wisatawan berbaur menjadi satu, yang membedakan hanya bahasa yang mereka gunakan. Beberapa wisatawan asing selain berbahasa Inggris nampaknya juga senang belajar bahasa lokal, mereka paham satu dua kata (dalam bahasa Jawa) dengan penyebutannya yang aneh. Lidahnya jelas tidak fasih.
Zara mengibaskan rambut ke belakang, menaikkan lengan kardigan putihnya karena gerah. Berjalan putulan meter sudah membuat dia berkeringat, agak lumayan mengurangi kalori dalam tubuh setelah diisi banyak makanan sejak siang. Di sini dia melupakan diet, semua jenis makanan—yang halal dan nikmat—masuk ke dalam lambungnya. Aldi terlihat senang saat bisa menyaksikan Zara makan dengan puas, tanpa memikirkan berat badan yang naik satu atau dua ons.
Jarak Zara dan Aldi semakin jauh, hampir saja mereka terpisah karena Zara sudah menyebrang lebih dulu. Aldi mengejar, tengok kanan dan kiri. Menyetop becak dan sepeda motor. Diteriaki pengendara dari luar daerah, orang-orang dari luar kota ini justru tak sabaran.
"Ra! Zara!" Aldi memanggill dengan suara keras.
Zara terus berjalan, pendengarannya dipenuhi oleh berbagai polusi suara; ramai kendaraan, orang-orang bercerita sambil berjalan, tumpah ruah menjadi satu.
Aldi terus mengejar Zara, sepertinya teman jalannya lupa dengan kehadirannya, asyik sendiri. Ia berlari, menyalip satu dua pasang pemuda dan pemudi. Berpacaran, bergandengan tangan mesra. Aldi gemas melihat itu, dia dan Zara tidak mungkin melakukan itu. Ah, mungkin bisa, Aldi mencoba bertingkah tanpa pikir panjang. Ia sampai di dekat Zara, masih mengatur napas dan terburu menarik tangan kanan Zara. "Ra, berhenti!"
Zara tersentak kaget.
Lima detik Aldi diam, menatap tangannya yang menyentuh kulit Zara. Lihatlah, aliran darahnya semakin cepat, jantungnya melompat-lompat, bibirnya tersenyum agak kaku. "Maaf," detik keenam ia melepas tangan Zara. "Kamu cepat sekali jalannya, Ra." Ucapnya ringan, berusaha mengusir kekakuan yang hadir.
Zara hanya diam, kembali berjalan di tepi pertokoan yang ramai. Satu dua kali ia melirik pertokoan tersebut, menjual pakaian biasa, seperti yang ada di Jakarta. Ia melirik ke kanan, melihat pasangan muda-mudi berdiri sebelahan, menunggu jalanan lengang lalu menyebrang. Saling berangkulan.
"Zara, tunggu!"
Kali ini Zara menjawab, tanpa menghentikan jalannya. "Apa?"
"Kamu nggak capek? Seharian ini kita sudah keliling, kakimu nggak pegal?" Aldi mensejajari langkah Zara yang memelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA & JAKARTA
ChickLitEND Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--seperti yang ia harapkan? Kinar. Romance, Chicklit "Menjadi jomblo di belantara kota Jakarta rasanya h...