Kita & Jakarta
Cerita ini berdasarkan kesibukan tahun 2019 akhir menuju tahun 2020 Masehi
Sebelum semua terasa sepi, kosong dan tanpa tujuan
Sebelum Pandemic dimulai
Rabu, pukul 9:39 pagi.
Antrian Starbucks mengular panjang, seperti antri check in tiket kereta saat mudik lebaran. Padahal Kinar sedang terburu-buru, ia harus kembali ke kantor dalam waktu sepuluh menit—tapi melihat antrian sepanjang ini rasanya tidak mungkin ia akan kembali dalam waktu secepat itu. Pak Damar menunggunya di kantor, sementara itu ia baru saja selesai meeting dengan seorang klien yang asetnya sedang dinilai olehnya. Kinar tetap memaksa mengantri meski handphone-nya berdenring sejak tadi, siapa lagi kalau bukan Pak Bos Damar yang menghubunginya. Kinar tidak angkat.
Aku butuh hot chocolate! Itu yang dikatakan hati Kinar.
Sembilan menit berlalu. Masih ada dua orang di depannya, peduli apa? Pak Damar bisa menunggu.
Handphone-nya berdering lagi, membuat suasana semakin gaduh. Ia terpaksa mengangkat panggilan itu, dengan segala kesabaran Kinar menempelkan handphone ke telinga.
"Pak, saya masih di luar. Akan kembali kurang dari setengah jam!" ucap Kinar tegas.
Terdengar keluhan dari seberang sana. Untuk menetralisir amukan Pak Damar, Kinar punya ide cemerlang dengan membicarakan hasil meeting-nya dengan klien baru. Obrolan mereka jadi panjang, membuat Kinar lupa bahwa ia sedang dalam antrian. Ruang di depannya kosong, karena satu orang sudah pergi membawa pesanannya. Kinar masih lanjut bicara dan belum melangkah maju ketika seseorang di belakangnya terlihat agak heran.
"Iya, proyek ini sudah deal, Pak. Siang nanti saya akan kirim dokumennya ke Bapak untuk Bapak cek..." Kinar benar-benar tenggelam dalam obrolan itu. Pak Damar nampak melunak dan Kinar merasa lega luar biasa.
Bukan kebiasaannya menyerobot antrian orang lain, karena itu Atif menunggu perempuan di depannya dengan sabar. Panggilan yang sedang diterima si perempuan dengan rambut lurus dan panjang itu nampaknya penting. Dari sang bos.
Atif menarik tangan kiri yang sempat ia sembunyikan di saku celana, melirik jam untuk kesekian kali. Ia tidak sedang ada janji penting hanya saja waktu yang dibutuhkan untuk mengantri lumayan sekali. Sudah lebih dari dua puluh menit ia berdiri.
"Apa, Pak? Bapak suruh Johan inspeksi ulang?" jerit perempuan di depannya tanpa sadar, lalu kemudian si perempuan membuat gerakan kecil dengan tangan kanannya, menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Atif yang berjarak kurang dari setengah meter berhasil membaui aroma shampo dan kondisioner dari rambut perempuan itu—tanpa sengaja. Atif mundur selangkah, mencari udara segar. Entah produk apa yang dipakai perempuan itu, aromanya manis dan lembut. Atif menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oke. Baik, Pak!" akhirnya telepon itu selesai juga. Perempuan itu memasukan handphone-nya ke dalam tas, menoleh kepada Atif dan tersenyum basa-basi.
"Maaf." Atif bicara.
Perempuan itu menoleh lagi. "Ya?"
"Di depan sudah kosong, bisa maju lagi?"
"Oh..." Perempuan itu mengangguk, "saya lupa kalau sedang mengantri!" si perempuan menyengir, manis sekali.
Manis bukan kata yang tepat, tapi cantik. Cantik banget! Ralat Atif dalam hati. Di Jakarta banyak perempuan cantik, tetapi yang cantiknya terlalu natural seperti yang satu ini rasanya belum pernah Atif temui di sini. Sungguh, ini godaan berat bagi Atif untuk tak melirik dua sampai tiga kali kepada perempuan di depannya.
Natural! Atif menyimpan kata itu dalam memorinya.
Perempuan itu menunggu pesanannya datang, Atif bertindak di luar kendali. Mata laki-lakinya menjelajah dengan cara yang sopan, melihat perempuan itu dari atas sampai bawah. Career woman, memakai atasan turtleneck warna putih yang dipadukan dengan pantsuit warna pastel yang lembut, memunculkan kesan feminim. Namun wajahnya hanya dipoles riasan tipis, nyaris tidak terlihat sama sekali. Bertolak belakang dengan nona-nona yang mengantri di belakangnya, make up kentara, bibir dengan gincu merah merona, belum lagi parfum mereka yang sangat menyengat, ditambah dengan pemandangan rok mini. Jelas, itu membuat kepala Atif pusing dan ia butuh kafein.
Tidak lama, perempuan itu pergi dengan membawa pesanannya. Atif mengantri di depan, namun pandangannya mengekor pada perempuan yang baru saja membuka pintu untuk keluar, ia sedang berjalan ke penyebrangan dengan langkah supercepat. Atif ngeri melihat jalan si perempuan itu dengan hak setinggi lima senti—baginya itu lima belas senti.
Ah, untungnya Zara kalau berangkat kerja selalu pakai sepatu kets biasa, baru akan mengganti dengan hak tinggi jika sudah sampai kantor. Diam-diam ia menyetujui pilihan adiknya. Lagipula Zara pasti repot kalau harus memakai hak tinggi dari rumahnya ke kantor, sementara gadis itu selalu berangkat dan pulang kerja menggunakan transportasi umum andalannya, transjakarta yang akan menurunkan ia di halte Sawah Besar.
Atif tidak sedang kebetulan ada di daerah Sudirman, salah satu kliennya memang berkantor di daerah ini, sepekan belakangan ia membimbing tim barunya menyelesaikan project IT di sini. Hari-hari selanjutnya ia akan datang sepekan satu atau dua kali. Betapa senangnya ia bisa menemukan kafe jenis apapun yang menjual kopi. Ia memandang ke luar starbucks, perempuan itu sudah tidak terlihat sama sekali. Ia tidak akan menolak jika takdir mempertemukan mereka lagi, dua atau tiga kali, atau seterusnya.
Atif tersenyum, menggeleng. Seharusnya ia mengajak perempuan itu berkenalan, kalau mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA & JAKARTA
ChickLitEND Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--seperti yang ia harapkan? Kinar. Romance, Chicklit "Menjadi jomblo di belantara kota Jakarta rasanya h...