Masih Belum Terlambat

864 129 12
                                    

Ada yg ingin cerita ini cepat pamit nggak yaaa
Sabar ya
Dan terimakasih sdh bersabar menunggu update nya

oOo

Hampir semua karyawan sudah pulang, kecuali beberapa orang yang sedang menyiapkan data untuk meeting besok, anak-anak legal pun masih di ruangannya, sibuk memfotokopi berkas penting dan tebal. Zara sendiri masih harus menyelesaikan beberapa hal, masalah menjurnal. Keinginannya untuk pulang on time tidak terrealisasi, ia harus menahan diri satu sampai dua jam ke depan. Di tengah-tengah kesibukannya ia menghubungi nomor Kinar. Langsung tersambung dan diangkat.

"Nar. Lembur nggak?" tanya Zara langsung.

"Dikit lagi selesai, jam 7 balik." Kinar menjawab enteng.

"Bareng yuk. Pergi kita. Makan kek, nonton, atau kemana gitu. Kepala gue mau meledak!" Zara mengoceh sambil melirik ruangan Aldi, bos mudanya masih duduk-duduk.

Kinar tertawa, dia tahu apa yang memenuhi kepala sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Aldi, masalah pekerjaan tidak akan pernah membuat Zara sesetres ini. "Kasih dia kesempatan, Zara..." Tentu saja Kinar bisa membaca pikiran semerawud adik iparnya, mereka sudah lama mengenal. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. "Lo nggak perlu ngelirik ke ruangannya kalau rindu, datang aja langsung. Orang cuma satu gedung kok dibikin ribet!" Kinar langsung tetrtawa.

Zara menjauhkan handphone dari telinganya, kaget sahabatnya bisa menebak apa yang sedang bercokol di kepalanya—serta yang sedang bola matanya saksikan. Akhirnya dia mengakui, percuma saja membohongi Kinar yang sudah jelas-jelas mengerti situasinya. "Perlu? Apa iya dia perlu masuk list bakal ipar Mas gue? Ogah!" ucap Zara disertasi dengusan.

"Apa kurangnya sih? Kata Mas Atif dia rajin shalatnya!" Kinar tertawa lagi, saking penasarannya dengan Aldi, Kinar sampai bertanya pada Atif, bagaimana sosok Aldi sebenarnya dan suaminya itu harus menjawab dengan jujur kalau tidak mau Kinar cubit perutnya. "Dia juga bukan tipe yang suka gonta-ganti cewek, Zara. Putusnya selalu baik-baik, dan nggak ada masalah sama mantan mana pun! Masa Mas lo bohong sih?"

Zara tidak menjawab, sulit mencari minus sang bos kecuali mulutnya—tapi itu dulu, sekarang Aldi berubah banyak. Ya, semenjak pergi ke Jogja sama-sama sepertinya Aldi tidak pernah mengeluarkan kata-kata menyebalkan lagi, keselengeannya juga jarang terlihat.

"Buka hatimu dikit saja." Kinar melanjutkan, "apa salahnya kasih dia kesempatan."

"Kalau dia main-main gimana? Gue malas patah hati apalagi makan hati. Nggak enak tahu, Nar. Eh, jangan-jangan dia bosan sama Jakarta, pengen balik lagi ke luar tapi nggak bisa, lalu melampiaskan kekesalannya ke perempuan manapun yang menurutnya bisa digoda! Dengan tampangnya itu dia bisa macarin dua atau tiga perempuan sekaligus, kan?" Ucap Zara menggebu-gebu.

"Jangan curigaan, Zara!" ucap Kinar dari seberang gedung—bersamaan dengan seseorang di gedung ini.

Kepala Zara tertoleh, seketika wajahnya jadi pucat. Ia melihat Aldi bediri sambil menjejalkan tangan ke saku celana, menatapnya tak percaya. Aldi sangat tersinggung dengan semua tuduhan yang baru saja Zara ucapkan, tapi itu hak Zara untuk berasumsi seperti itu. Yang ia tak habis pikir adalah Zara merasa dia bisa memacari dua atau tiga perempuan sekaligus. Itu mana mungkin terjadi? Keselengeannya tidak pernah menolerir perselingkuhan jenis apapun—baik yang belum menikah ataupun yang sudah menikah.

"Nar, gue tutup teleponnya, ada masalah!" bisik Zara, kemudian ia buru-buru meletakan handphone di atas meja. Menutup wajah dengan dua tangan, ia sangat malu. Dia benar-benar tidak sadar Aldi sudah keluar dari ruangannya dan berdiri di sekitaran sini. Ruangan ini juga sudah kosong sejak beberapa menit lalu, beberapa orang sudah turun ke lobi sejak ia menelepon Kinar. Tersisa dia dan beberapa orang legal di ruangan lain, terpisah oleh dinding kaca.

"Kenapa kamu bisa securiga itu sama saya, Ra?" Aldi berusaha tenang.

Zara masih menutup wajahnya, menggeleng. Ia malu sekali.

Aldi mengusap wajahnya, lelah. Tadinya ia ingin menyelesaikan urusan ini besok-besok saja, tetapi setelah mendengar langsung kecurigaan Zara tentangnya membuat ia tidak bisa menunda-nundanya lagi. Masalah ini harus segera diselesaikan sebelum semakin rumit. "Ra... kamu boleh tanya apa saja, apapun! Saya akan jawab. Dan saya janji tidak akan menutupi apapun dari kamu. Apa yang kamu mau tanya, pacar-pacar saya? Mantan? Perempuan yang dekat sama saya? Apa, Ra? Bebas, tanyakan saja semuanya."

Zara akhirnya menurunkan tangannya, menatap layar di depan yang tidak menampilkan gambar apapun. Aldi menarik kursi dari meja sebelah, duduk di sana. Zara menarik napas, membuang pelan, menarik lagi, terus demikan. Sampai kapan? Zara rasa sampai ada malaikat yang diberi tugas untuk mencabut nyawanya. Dia tidak tahu apa yang harus ia tanyakan. Kepalanya mendadak kosong. Sementara itu Aldi tak mau mengambil jarak, laki-laki itu tetap mengawasi Zara, membuat gadis itu semakin salah tingkah.

"Kita nggak akan pulang sampai urusan ini selesai, saya nggak peduli kerjaan kamu lagi numpuk dan belum beres." Ucap Aldi tidak mau dibantah.

Baiklah, Zara memutar kursi demi menatap Aldi yang masih menunggu kalimatnya. "Saya nggak berani ambil risiko, dekat sama kamu bikin saya bingung. Saya nggak tahu maksud kamu itu apa, saya takut kamu menipu saya, kamu mempermainkan saya, atau...." Zara tak melanjutkan kata-katanya. Setidaknya dia sudah setengah jujur, dia tahu sebenarnya dia tidak terlalu keberatan dengan kedekatan ini, dia hanya takut yang Aldi lakukan tidak seperti yang dia harapkan. Aldi tidak tulus. Aldi hanya main-main. Zara tidak mau salah dalam mengambil keputusan. Masalah hati adalah masalah yang sulit diobati, masalah perasaan.

"Saya serius, Ra, sama kamu." ucap Aldi dengan penuh penekanan di setiap katanya. Ia berharap Zara percaya begitu saja, seperti perempuan di masa lalunya yang mudah percaya padanya. Namun sekali lagi, ini Zara, seseorang yang sulit ia hadapi sejak pertama kali bertemu "Kamu adik Atif, mana mungkin saya mainin kamu? Kamu pernah mikir nggak, gimana kalau saya punya niat buruk sama kamu? Ini taruhannya bukan cuma reputasi saya ke kamu di kantor ini, tetapi juga persahabatan saya dan Atif bisa jadi akan hancur. Kamu itu penting buat saya, Ra. Please, Zara, percaya sama saya." Aldi menjelaskan semuanya. Berharap ganjalan di hati Zara segera pudar.

Zara menyandarkan punggung ke sandaran kursi, butuh tenaga. Lelah sekali menghadapi perasaan sendiri. Apa dia harus mencoba saran Kinar, membuka sedikit hatinya, menerima dan memberi Aldi satu kesempatan?

"Saya nggak bosan sama Jakarta, justru saya rindu dan ingin menetap di sini selamanya. Kamu salah satu alasan yang membuat saya betah berada di sini, Ra... percaya atau tidak, itu terserah kamu." Aldi merasa kehabisan kata. Ia langsung berdiri, melangkah menuju ruangannya. Saat di depan pintu, hendak menarik handle-nya, Zara memanggil pelan. "Aldi..."

Aldi menoleh. Wajahnya terlihat senang. Semoga telinganya tidak salah mendengar, Zara memanggil namanya langsung tanpa kata 'Bapak' lagi.

"Bagaimana kalau kita memulai dari awal... Saya pikir nggak ada salahnya kasih kamu kesempatan." Zara mengatakan hal itu dengan suara yang nyaris tidak bisa didengar. Syukurlah ruangan ini sepi dan tinggal mereka berdua saja. "Gimana?" Tanya Zara lembut.

Aldi paham maksudnya. Sudah lama pula ia menanti kesempatan berlian ini. Ia melangkah mendekati kursi Zara sembari tersenyum lebar, dadanya hampir meledak saking senangnya. "Jangan cabut kata-katamu, Ra."

"Nggak," Zara ikut berdiri,tersenyum sekilas lalu menunduk melihat ujung sepatunya. Keputusannya sudahbulat, satu kesempatan untuk Aldi.

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang