Sambungan Telepon

948 158 8
                                    



"Halo?" Kinar menerima telepon dari Zara di jam istirahat.

"Assalamualaikum! Semenjak kenal sama Aiden suka lupa nyebut salam!" repet Zara seperti biasa.

Kinar menarik napas. Lalu menjawab salam sahabatnya dengan lirih. Bukannya lupa, dia sedang sangat sibuk. Beberapa berkas menumpuk di atas mejanya.

"Mas gue lagi business trip seminggu, gue sendiri di rumah. Dan kabar baiknya, Nar... dia setuju lo tinggal di sini lho. Maksud gue, dia ngebolehin lo tinggal sementara dan nggak usah bayar-bayar segala. Asal sekamar sama gue, katanya."

"Yeee... masa sekamar sama Mas lo! Ada-ada saja lo mah." Sambutan Kinar terdengar kurang ceria. Ia memang sedang tidak terlalu bersemangat, banyak pekerjaan yang belum selesai dia cek. "Terimakasih ya, Ra..."

Zara tertawa, bahagia. "Sama-sama. Eh, ketemu yuk! Pulang kerja maksudnya."

"Atur saja, ntar gue nyusul."

"Nggak usah kebanyakan lembur, Kinar. Lembur nggak bikin lo cepet kaya. Bergaul dong, lihat-lihat apa kek biar pikiran lo nggak butek!" Zara tertawa lagi. Dia yang sebenarnya butuh hiburan karena seharian ini bos barunya banyak memberinya perintah. "Oh ya, lo sudah nggak pernah ketemu Aiden lagi kan?"

"Nggak. Sejak di resto itu... dia menghindar, entahlah!" Kinar merasa lelah membahas Aiden.

"Bagus dong! Lo jadi cepat move on, Kinar."

Kinar terdiam sesaat, urusan Aiden dan setumpuk berkas di depannya telah memenuhi ruang kepalanya. Kemungkinan besar dia akan makan siang di meja kerjanya lagi, mempersingkat waktu istirahat agar bisa kembali bekerja. Ia teringat Aiden lagi, biasanya laki-laki itu akan meneleponnya di jam-jam ini, memesankan makan siang untuknya. Semua sudah berubah, keadaan tak sama lagi. Kinar harus semandiri mungkin di sini.

"Nar, sudah dulu ya, gue tutup telepon! Nanti gue kabarin lagi dimana kita bisa ngopi enak!" Zara menutup panggilannya dengan sekali sentuh.

Zara meletakkan handphone-nya di atas meja tepat saat sang bos keluar dari ruangannya, ia bejalan menuju meja Zara. Pak Bos berdiri di sebelah kubikel bawahannya sambil men-scroll layar handphone, "Ra... nggak keluar?"

Zara pura-pura sibuk mengetik apapun, tangannya bergerak di atas keyboard. "Nggak, Pak!" ia tidak menoleh sama sekali.

"Lho, kenapa? Puasa ya? Ini hari apa sih?" tanya Aldi beruntun, ia menarik tangan satunya yang bebas dari kantong celana, melihat jam sudah pukul 12:17 siang.

"Kamis sih, Pak. Tapi saya nggak puasa kok."

"Terus, kenapa nggak makan? Kantin biasa aja yuk!" ajak Aldi, masih menunggui Zara yang sibuk mengetik. "Ngapain sih?" Ia melongokkan kepala, melihat file excel yang sedang dibuka Zara. "Ada yang minta kamu buat laporan begituan, Ra?"

Seketika Zara berhenti berkutik, tangannya diletakan di atas meja, menggeleng sekali. Lalu ia mendongak menatap wajah atasannya, "selamat makan siang, Pak! Saya nggak lapar."

Aldi masih bertahan, dia menelengkan kepalanya menatap Zara curiga. "Kamu... diet? Jaga berat badan?"

Zara terlihat gemas, tangan kanannya meremas mouse. "Bukan urusan, Bapak!"

"Jelas urusan saya dong, Ra. Kalau kamu sakit gimana? Kamu kan bawahan saya."

"Pak," Zara akhirnya berdiri dan menghadap sang bos. Untunglah ruangan ini sepi, semua orang nampaknya sudah keluar kecuali Pak Arsyad yang masih berada di ruangannya—Zara yakin kalau beliau tidak akan mendengar percekcokan ini. "Terimakasih Bapak sudah memperhatikan saya dengan baik, saya hargai itu... tapi saya juga punya hak untuk tidak makan. Satu lagi, Bapak nggak perlu tahu alasan saya tetap tidak makan."

"Baik." Jawab Aldi diiringi senyum innocent-nya. Dia kemudian pergi dan meninggalkan Zara tanpa sepatah kata lagi. Entah mengapa senyuman Aldi tadi membuat Zara berpikir bahwa sejujurnya bos barunya benar-benar tulus memperhatikannya. Percaya atau tidak, ia mulai sedikit ragu dengan tuduhan-tuduhan yang ia lontarkan sendiri pada sang bos, si bos yang slengean, semada aneh, dan mata keranjang. Apakah ia yang salah atau memang Aldi yang kurang ajar? Zara pikir penilaiannya sendiri lah yang kurang objektif.

Zara tidak keluar kantor, dia hanya pergi untuk shalat dzuhur lalu duduk di mejanya lagi sambil menghabiskan camilan, sebungkus biskuit berserat yang mampu mengganjal perutnya. Mengisi kekosongan, ia mencoba peruntungan di dunia per-game-an—yang ditawarkan oleh salah satu aplikasi belanja online. Fakusnya terhenti ketika sebuah tangan menyodorkan jus alpukat di atas mejanya, Zara langsung menutup aplikasi tersebut. Mendongak.

"Buat kamu." Aldi berkata dengan senyum lebar. Ia melirik meja Zara lagi, "makan itu aja, Ra?"

Zara mengangkat bahu, mulutnya sibuk mengunyah biskuit yang rasanya hambar seperti tanah merah.

"Kamu nggak gemuk kali..." Aldi tiba-tiba berseloroh, membuat bola mata Zara mendelik. "Sori, maksud saya kamu nggak perlu jaga badan sampai segitunya, Zara." Aldi menunjuk biskuit di atas meja Zara dengan dagu.

"Terimakasih, Pak, untuk jusnya." Ucap Zara mengalihkan percakapan, dia bermaksud mengusir sang bos, namun niat itu gagal.

Aldi merendahkan kepalanya, berbisik di telinga kiri Zara saat orang-orang mulai berdatangan. Beberapa pasang mata terlihat curiga dengan tingkah bos baru di kantor ini, tapi berusaha mengabaikan karena mereka tahu sang bos memang terang-terangan mencuri-curi pandang pada Zara—membuat beberapa karyawati single lainnya iri. Dalam hati, mereka juga mau di posisi Zara seperti ini.

"Kalau kamu sama saya, Ra, saya nggak akan pernah larang kamu makan sebanyak apapun." Aldi kemudian menarik diri, pergi menuju ruangannya.

Ucapannya barusan membuat Zara otomatis berhenti mengunyah dan menatap pungungnya sampai menghilang di balik pintu kaca.

Penggoda kelas kakap!

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang