Aku mengucapkan terimakasih karena kemurahan kalian memberikan dukungan berupa vote (bahkan ada yang boom vote sekaligus!!!) atau sekadar komentar positif pada ceritaku. Itu semua berharga dan bikin semangat aku naik. Thanks a lot.
Ya, saatnya kita menyelesaikan cerita ini sama-sama. Di sini.
Up-nya semoga bisa konsisten. Satu pekan, cukup satu kali. Kalau satu pekan bisa dua kali itu sudah pasti Drakor, kan? 😂😁
oOo
Jogja, 1 Januari
Tidak mudah membuat Zara memaafkannya, Aldi sudah berusaha keras agar Zara mau mengobrol dengannya dan melupakan kejadian di kantor waktu itu. Ia sampai bertanya pada Atif bagaimana membuat adiknya mudah menerima permintaan maaf orang lain.
Ngobrolin lagu fovoritnya, lukisan, buku dan penulis kesukaannya, pokoknya tentang hal-hal yang dia suka dan jangan bahas hal yang bikin dia gedeg! Balas Atif panjang lebar.
Aldi mengetik. Thanks, Man!
Gue bunuh lo kalau sampai Zara kenapa-napa.
Membaca itu Aldi tertawa pelan, tidak ada niatan buruk sama sekali meski ia memilih kamar hotel di sebelah Zara. Ia hanya ingin tahu banyak hal tentang gadis itu, tidak lebih.
Mereka turun di stasiun Lempuyangan pada pagi ini, tanpa terasa tahun sudah berganti, hari-hari kemarin berlalu dengan cepat, cerita baru siap diukir dan hari esok masih menjadi sebuah misteri. Dua orang itu sedang menunggu taksinya. Wajah Zara dan Aldi sama-sama mengantuk. Semalam akhirnya mereka ngobrol banyak hal, Zara bisa memaafkannya setelah Aldi memancing percakapan mengenai novel klasik yang sering Zara baca. Sebelum membahas itu Aldi sempat googling setengah jam, membaca banyak blog tentang novel-novel klasik yang sudah Zara lahap. Obrolan tercipta begitu saja, mengalir hingga berpindah ke topik lain. Leluasa sekali Aldi mengorek banyak informasi dari Zara tetapi Zara tidak sadar sama sekali. Zara semalam bercerita tanpa beban, rasanya seperti bebas. Seperti bercerita pada teman dekatnya, bukan bos junior yang menurutnya suka melakukan pelecehan verbal. Zara khilaf!
Aldi tersenyum-senyum mengingat jawaban Zara semalam dalam satu pertanyaan yang terlempar begitu saja. "Kenapa mau kerja, Ra, kakakmu mapan, kan? Bisa nguliahin kamu lagi."
Zara langsung menjawab. "Belajar nggak cuma di bangku kuliahan Pak. Traveling juga belajar, membaur bersama alam, pantai, masyarakat dan budaya daerahnya. Iya tho? Lagian saya mau kerja kan nyari duit buat traveling juga, sama... nyari jodoh juga sih." Gadis itu menyengir tumben-tumbenan.
Aldi menaikkan alis, tak menduga Zara akan bicara dengan santai. "Teman-temanmu sudah pada menikah ya?"
Zara mengangguk. "Kebanyakan sudah. Tapi setelah melihat Kinar nikah dan pernikahannya prematur begitu... saya jadi nggak mikir untuk buru-buru."
"Kok bisa? Perempuan seumuran kamu rata-rata punya target menikah, Ra." Tanya Aldi sopan dan tidak menyinggung sama sekali.
"Target bisa berubah, Pak. Semakin saya dewasa, rasanya semakin saya banyak mikir dan pertimbangan." Zara menatap ke luar jendela dan yang ia lihat hanya pantulan wajahnya sendiri di kaca yang gelap. Hari sudah malam. "Kinar selalu bilang, nggak ada manusia yang sempurna. Saya pikir Mas saya sempurna buat dia. Baik, ganteng, mapan... banyak kelebihan yang Mas punya. Nyatanya saat mereka menikah kelihatannya biasa saja. Masih tetap kerja, pulang malam seperti saingan sama suaminya sendiri! Gimana saya nggak bilang pernikahan mereka perlu diperbaiki? Prematur begitu... apa niat awalnya salah? Dulu, saya kaget pas dia bilang mau menikah dengan Mas Atif, saya pikir mereka nggak ada feel gitu." Zara tak tahu lagi harus bagaimana, bicaranya sudah terlalu panjang dan ia terlihat frustrasi.
Aldi terdiam, mendengarkan. Ia turut menoleh ke jendela, dari sana ia dapat melihat wajah Zara yang bersih.
"Oh ya, Kinar juga bilang kesempatan itu nggak selamanya datang dua kali. Jadi pas Mas Atif melamarnya, dia terima. Sesederhana itu." Zara menarik napas, ia mengingat kata-kata ibunya sebelum Kinar dan Atif menikah. "Ibu saya bilang, menikah karena cinta itu sudah biasa, banyak yang begitu dan nggak semua berujung bahagia sampai kakek nenek. Tapi, menikah lalu membangun dan merawat cinta sampai akhir hayat itu baru luar biasa. Kinar dan Mas Atif rasanya masuk kategori kedua tadi, tapi tetap saja saya merasa mereka itu..." Zara kehilangan kata-kata saat tatapannya jatuh ke pantulan di jendela-yang memperlihatkan wajah Aldi. Mereka bertatapan.
"Mereka kan butuh waktu untuk adaptasi, Ra." Birik Aldi pelan.
Zara mengangguk dua kali, ia putar bola mata untuk menghadap depan. Beberapa saat mereka hening, Zara sedang kelimpungan dengan pikirannya sendiri, mengapa ia bicara sebanyak itu pada bosnya? Ia sedang melamunkan sesuatu ketika Aldi mendadak bertanya. "Kamu ada kriteria khusus nggak buat calon kamu, Ra?"
"Apa?" Zara menoleh. Ia tidak fokus sehingga yang ia tangkap hanya 'buat calon kamu'.
"Iya, kamu cari laki-laki yang seperti apa?" Aldi berujar tanpa canggung.
"Yang baik." Ucap Zara sambil menatap wajah Aldi. "Baik untuk agama, dunia dan akhirat saya, Pak. Ibu pesannya begitu sih. Biar berkah hidup saya." Di akhir kalimatnya Zara tersenyum tipis.
"Pak, itu taksinya!" Zara menunjuk ke depan. Aldi tersadar dari lamunannya, bayangan Zara dengan wajah teduh dan senyum tulus buyar seketika.
"Yuk!" Aldi menyahut dan tangannya sengaja mengacak rambut Zara. Gadis itu terlihat kaget, menarik diri demi menjauh. Zara duduk di sebelah sopir, tidak mau bersama Aldi di belakang. sepanjang jalan ia merasa heran mengapa Aldi berani bermain fisik dengannya, apakah dia sudah sedekat itu dengan bosnya? Apakah obrolan semalam membahas hal-hal yang membuat mereka menjadi teman yang cukup akrab? Zara tidak ingat soal memori semalam kecuali hanya sedikit, ia sangat mengantuk karena kurang tidur.
"Langsung pergi atau..." Aldi bertanya setelah turun dari taksi, mereka berjalan menuju lobi hotel.
"Tidur! Saya ngantuk berat." Potong Zara cepat. Ia melangkah buru-buru.
Aldi mendapat hotel yang dekat dengan Malioboro, dan ia berterimakasih banyak pada sepupunya yang mereservasi hotel ini pada H-1 meski memasuki high season. "Mau keluar jam berapa, Ra?" cegah Aldi di depan pintu kamar Zara.
"Setelah dzuhur mungkin. Tidur saya lamaaaa, Pak! Bapak duluan saja perginya." Kata Zara enteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA & JAKARTA
ChickLitEND Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--seperti yang ia harapkan? Kinar. Romance, Chicklit "Menjadi jomblo di belantara kota Jakarta rasanya h...