Miapah semalam malam sakral buat update bab baru? Aku lupaaa sekali... kesibukan ngitungin detik, menit, jam dan hari malah gak bikin aku inget janji up up cerita ini. Jadi, maafkeun...
Hemm, semoga bab ini bisa mengobati rindu dan pinisirin kalian dgn tokoh-tokohnya.
Terimakasih sdh menemani perjalananku di sini.
Jgn lupa tinggalkan kenang-kenangan terbaik kalian untuk aku.Regards,
ReoOo
Memasuki bulan Januari, tanggal dua.
Setelah kemarin hanya sempat pergi ke keraton, alun-alun Jogja, dan mengunjungi beberapa galeri seni, hari ini Zara ingin ke wisata alam Mangunan-yang tidak akan ia temukan di Jakarta. Awalnya dia berniat gabung dengan trip teman-teman kuliahnya, ia sudah merencanakan dari hari kemarin, namun rencana itu gagal saat Zara melihat sebuah motor terparkir di halaman penginapannya, dan seseorang yang ia kenal sedang memanaskan motor tersebut. Jantung Zara langsung anjlok ke bawah menuju lambung.
"Sudah sarapan, Ra?" suara Aldi terdengar sampai lobi. Untung saja di sini tidak banyak orang.
"He-em." Jawab Zara tanpa minat.
Aldi terus-terusan tersenyum melihat Zara kali ini. Tidak bisa dibohongi kalau matanya butuh pemandangan manarik selain mesin motor yang sedang diceknya. Pagi ini meski berdandan biasa saja, Zara cukup cantik dengan celanan jeans, kaus lengan panjang dan jaket yang masih diikat di pinggang.
"Ra, katanya biar lebih cepat kita harus pakai motor. Jogja sudah macet kayak Jakarta." Aldi menatap Zara yang berjalan ke arahnya.
"Oh..." Zara kehilangan kata-kata. Otaknya tak bisa berpikir lagi, jika dia ingin Aldi menutup mulut selamanya maka dia harus menerima konsukuensi ini. Tentu saja dia menyesali mulutnya yang telah kelepasan bicara tentang pernikahan kakak dan sahabatnya itu. Waktu tak bisa terulang, hidup ini berjalan maju bukan ke belakang.
"Kemana kita, Ra? Saya nggak tahu destinasi menarik di sini selain Borobudur sama Prambanan, kalau pantai gimana?" tanya Aldi antusias.
"Rencananya saya mau ke Mangunan sih." Zara berjalan lagi mendekati motor yang sudah disewa bosnya. "Bapak serius mau naik ini?"
"Iya, biar cepat. Tenang... saya yang bawa kok. Masa saya suruh kamu, Ra?" Aldi tertawa. Ia mengambil helm untuk diberikan pada Zara. "Pakailah."
Dengan terpaksa Zara menerima helm itu, memangnya dia punya pilihan?
"Kamu tahu jalan ke Mangunan?" Aldi siap-siap dengan helmnya.
"Pakai maps..."
"O-ow... ada cewek bisa baca peta?" Aldi menyengir bahagia.
"Lho, memangnya nggak boleh? Nggak semua cewek jago make up saja kali, Pak!" Zara merasa tersinggung.
"Sori. Saya kan bercanda." Aldi nyengir lagi. Hari ini dia banyak tersenyum mengingat tidak ada dinding yang memisahkan dia dengan Zara, kecuali di kamar masing-masing.
Zara mengambil ponsel dalam tas kecilnya dan mengetikkan lokasi tujuan perjalanan. "Agak lumayan jauh dari sini, kita sampai sana bisa jam tujuh lewat, padahal saya ingin lihat kabut tebal di Jurang Tembelan Kanigoro. Katanya sunrise di sana juga bagus." Zara menjelasakan.
"Masih keburu kalau mau. Kamu nggak masalah kan kalau saya ajak ngebut?" tanya Aldi, dia sudah memasang helmnya. Dan itu membuat tampangnya jauh lebih keren seperti salah satu pembalap motor di saluran internasional.
Zara mengangguk setelah dua detik terpana pada kenyataan bahwa bos di depannya masih terlihat keren dengan dandanan seperti itu, seperti pembalap yang pernah dia lihat di TV. Aldi memakai celanan jeans belel, jaket kulit dan helm merah-yang serasi dengan helm Zara sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA & JAKARTA
أدب نسائيEND Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--seperti yang ia harapkan? Kinar. Romance, Chicklit "Menjadi jomblo di belantara kota Jakarta rasanya h...