Cinta Yang Tak Pernah Usai

1.2K 141 4
                                    

Beberapa tahun kemudian...

Nesya, anak kecil yang usianya dua tahun lewat tiga bulan itu sedang sibuk mencoret-coret tangannya dengan stabilo milik ibunya. Warna pink fanta dan hijau tua. Ibunya melihat itu dan tercengang. Ada-ada saja kelakuan gadis kecilnya itu.

"Sayang! Aduh... itu buat kertas, bukan buat kulit kamu dong..." Ibunya segera menutup dua stabilo yang sedang dipakai anaknya. Wajah polos Nesya terlihat sedih, ia hampir saja menangis. "Mama ajarin cara pakainya, nih... di kertas ya, bukan di tangan. Bisa, kan?" Ibunya memberikan satu contoh setelah meraih kertas, dengan sabar dia mengajari sang anak.

Nesya memperhatikan gerakan tangan ibunya di atas kertas, mencoret-coret kertas putih itu dengan menggambar kelinci kecil bergigi dua. Mirip seperti Nesya satu tahun lalu. Ibunya tertawa, "ini temennya Nesya ya? namanya Mister Rabbit!"

Nesya ikut tertawa, mengeja. "Yabbit!" katanya dengan huruf 'R' yang tak jelas.

"Rabbit itu kelinci, dia makannya apa, sayang?"

"Emput!" jawab Nesya bersemangat.

"Rumput... pinter banget sih anak Mama." Ucap ibunya sambil memeluk Nesya dengan gemas. Dia mengecup pipi kanan dan kiri Nesya, harum bedak bayi masih melekat meski Nesya sudah mandi sore tiga puluh menit lalu.

Dari ruangan depan terdengar langkah kaki seseorang, mantap dan berat. Nesya sudah tahu siapa yang pulang pukul enam kurang lima belas menitan seperti ini, siapa lagi kalau bukan ayahnya. Seseorang yang dia tunggu-tunggu kedatangannya.

Anak kecil itu segera berdiri, berlari mengejar langkah seseorang itu sambil teriak kegirangan. "Pa-pa-pa... Papa! Papa!" Melihat itu ibunya tertawa. Kebahagiaan menyerbu melihat anaknya yang aktif dan ceria. Beberapa waktu lalu Nesya sempat sakit, ibunya ikutan murung dan sedih, syukurlah sang ayah menguatkan dan merawat keduanya dengan baik. Ayah sangat mengayomi keluarga kecil ini, dia akan melakukan berbagai cara agar istri dan anak tercintanya hidup bahagia dan tak kekurangan apapun. Termasuk waktu, perhatian dan kasih sayang.

"Awas jatuh, pelan-pelan dong sayang..." Ibunya mengikuti dari belakang.

"Wah, anak Papa main apa ini, kok tangannya merah hijau kayak pohon dan bunga sih?" sang ayah siap menangkap anaknya setelah berjongkok, ia meletakan tas kerjanya di samping. Istrinya segera mengambil tas serta jas hitam yang tersampir di lengan kanan suaminya.

Dalam hitungan detik, Nesya sudah berada dalam gendongan ayahnya. Ia melingkarkan dua tangan ke leher ayahnya, menyembunyikan wajah di pundak sang ayah. Tertawa renyah. Meski ayah bau keringat, Nesya tetap mau digendong. Ibunya yang kadang cemas karena kuman di badan suaminya pasti menempel pada gadis kecilnya. Tapi dia juga tak mungkin mencegah keromantisan anak dan ayah di depannya, sungguh mengharu.

"Gimana kabar kalian di rumah? Seharian ini ngapain aja?" tanya sang suami, memastikan istri dan anaknya baik-baik saja.

Wajah istri langsung cemberut, lelah. "Aku malah nggak sempat masak makan malam, seharian jagain Nesya yang aktif luar biasa. Ketularan tantenya deh kayaknya. Padahal waktu hamil dia, aku nggak sebel kok sama adikmu!" sang istri menjelaskan panjang lebar.

Suami itu tertawa, cukup lepas. Membuat Nesya ikut tertawa meski tidak mengerti benar apa yang ayah dan ibunya bicarakan.

"Karena Mas Atif sudah pulang, gantian jaga Nesya sebentar ya. Aku mau masak seadanya, nggak masalah, kan?" Sang istri menatap suaminya dengan penuh kelembutan.

Atif memandang wajah istrinya yang penuh gurat lelah. Kinar tidak bohong kalau Nesya sangat aktif, seharian ini anak kecil itu tidak mau tidur siang, banyak melakukan kegiatan, mulai dari mencorat-caret kertas, tangan, berlarian kesana kemari, mengeluarkan semua baju dari lemarinya sendiri hingga memakai semua sepatu yang ada di rak depan.

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang