Kenapa Cinta Itu Harus Ada?

1.1K 164 6
                                    



Cinta beda agama, apakah akan mudah dijalani?

Apakah aku dan dia bisa bersama—sampai seterusnya—seperti harapannya?


"Pacaran saja sudah tidak boleh, malah beda agama lagi!" omel Tanteku tempo hari.


Aku tidak tahu, bahkan esok pun tak tahu apakah aku masih akan bersamanya!

Bimbang hati ini, namun aku masih tidak tahu... keputusan apa yang harus aku ambil?


Ya, aku menemukan jalan buntu.



Di toilet mal itu Kinar sedang menambah bedak tipis di wajahnya yang lumayan berminyak, Aiden akan menjemputnya dan dia tidak mau terlihat kucel seperti ini di depan sang kekasih tersayang. Sementara di sebelahnya, Zara sedang menguncir ulang rambutnya yang bergelombang panjang. Berkeliling dari satu store ke store yang lain—di mal ini—membuat dua perempuan itu kehabisan energi.

"Makan dulu yuk!" ajak Zara.

"Boleh. Sama Aiden juga ya, Ra?" tanya Kinar kemudian.

Zara tidak menjawab. Malas berurusan dengan lelaki manapun, kecuali masnya. Di otaknya terlintas masalah serius, yang sampai detik ini belum ketemu ujungnya. "Nar..." Panggilnya, mengalihkan perhatian Kinar pada cermin di depan.

"Hem." Kinar menutup wadah bedaknya. Ia sudah cantik.

Zara menatap sahabatnya di cermin, menyenggol lengannya. "Masih mau lanjutin hubungan lo sama doi yang nggak jelas itu?"

Kinar terdiam, balas menatap Zara pada cermin lebar. Orang-orang bergantian keluar masuk kamar mandi, tanpa mau tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Sudah tujuh tahun Kinar hidup dengan kata-kata ringan, pedas, sampai kasar yang keuar dari mulut sahabatnya. Dia diam bukan karena budeg mendadak, sahabatnya pasti akan bicara lagi—lebih panjang.

"Lo mikir nggak sih risiko ke depannya, ha? Ini bencana buat masa depan lo dan dia tahu nggak? Kalau lo sama dia jadi kawin, apa kata keluarga lo dan dia? Apa kata tante lo yang mulutnya kayak setan itu? Ha?!" kata Zara galak.

Kinar menatap Zara tajam. "Ra, yang benar dong kalau ngomong... setan dibandingin sama manusia." Meski dia jengkel dengan tantenya, tapi kata-kata Zara sudah tidak sopan sama sekali.

"Kan kenyataannya gitu! Tante lo super nyebelin. Bikin orang stres! Nggak inget apa lo, waktu subuh-subuh telepon cuma buat nangis ke gue?" Zara mengegas. "Gimana? Lo masih mau terusin nggak, sampai kapan sih kalian akan begini?" Zara kembali ke topil awal.

Kamar mandi semakin sesak, penuh orang yang akan membenahi dandanan dan mengantri ke toilet. Mereka berdua menyingkir dan keluar dari sana. Petanyaan Zara terlupakan, Kinar tidak punya jawaban. Pertanyaan sampai kapan dia dan Aiden akan menjalin hubungan seperti ini adalah pertanyaan tersusah yang pernah ada dalam hidupnya. Kinar tidak tahu, sama sekali.

Aiden menelepon, lelaki itu sudah berada di salah satu restoran mal ini. Menunggu Kinar.

Kinar menyusul langkah Zara yang cepat, dia sendiri masih mengenakan sepatu hak, jalannya tidak secepat Zara yang memakai kets andalannya. "Ra, Aiden sudah dapat tempat duduk. Makan dulu yuk!"

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang