Rikuh (1)

990 159 4
                                    



Sepekan berlalu, Riska akhirnya tahu bahwa keponakannya sudah putus dengan Aiden. Keponakannya itu sudah tidak dijemput pemuda campuran Medan-Jawa-Manado itu lagi, Aiden benar-benar menghilang dari pandangan Riska. Namun Riska belum puas karena Kinar berkali-kali menolak ajakan makan malam dari pemuda yang mau dikenalkan olehnya. Riska sudah menyeleksi dua pemuda yang diajukan suaminya, keduanya berpendidikan tinggi, dari keluarga baik-baik, dan sangat mapan. Selisih usia tujuh dan sepuluh tahun, bagi Riska itu bukan masalah besar. Sebaliknya, bagi Kinar itu adalah awal percekcokan.

"Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, Nar! Jangan jual mahal mentang-mentang umurmu baru 26!" Riska tiba-tiba masuk ke kamar Kinar sambil memasang tampang kesal ketika keponakannya baru pulang kerja—pukul 10.20 malam.

Di saat lelah seperti ini, Kinar hanya ingin istirahat, memejamkan mata atau pingsan sekalian. Dia sungguh frustrasi. "Tan..."

"Dengarkan tante bicara, Kinar!"

"Aku nggak punya niatan untuk nikah buru-buru, Tante..." Kinar menahan ledakan emosinya. Duduk di tepi ranjangnya sambil melepas sepatu. Sampai kapan ia harus bersikap sopan dan mengendalikan diri? rasanya sandiwara ini sudah cukup. Ia sungguh lelah. Rumah ini sungguh penuh drama.

"Mereka akan disamber orang kalau kamu tinggal begitu saja. Jangan bodoh kamu!"

"Berarti mereka memang bukan jodohnya Kinar!" Kinar berani membentak Tantenya untuk pertama kali. Ia kesal. Sangat kesal sehingga lepas kontrol. Ia membenci tinggal di rumah ini, semuanya berisi aturan tertulis dan tidak tertulis. Ia merasa tertekan!

Rana dan Rani mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Kinar tahu, tapi membiarkannya.

"Jodoh atau bukan kan masih bisa diusahakan!" Riska balik membentak. "Tante nggak mau kamu dapat sembarang orang."

Kinar menatap tantenya dengan tatapan kecewa dan marah. "Kalau gitu seharusnya aku dan Aiden masih bisa diusahakan kalau tante mau kasih waktu lebih lama. Siapa tahu..."

"Nggak ada waktu lagi. Sudah tiga tahun, Kinar." Potong Riska tajam. "Kalian memang nggak cocok!"

"Tapi aku cinta Aiden, Tan!"

"Tahu apa kamu soal cinta?" wajah Riska merah padam, ia tidak suka dilawan oleh keponakannya, selama ini Kinar terlihat pendiam dan hanya sedikit membantah—kalau pun melawan tidak akan berteriak seperti malam ini. Baginya Kinar bukan gadis pemberontak. "Cinta nggak bisa bikin kamu kenyang! Kalau dari awal sudah kelihatan beda jauh gini, ngapain kamu repot-repot kasih dia kesempatan! bodoh itu namanya, Kinar!"

Sudah berapa kali Kinar dibodohi? Oleh tantenya, oleh cinta buta, oleh semua hal yang berbau dunia—semuanya hanya kamuflase kebahagiaan, nyatanya semu belaka. Kinar sadar, dia memang bodoh. Salah jalan, salah langkah. Aiden adalah kesalahan terbesar yang pernah ia buat.

Kinar berdiri menghadap tantenya. Tanpa disangka pintu kamarnya terbuka semakin lebar, si kembar berdiri menatap mereka bedua dengan pandangan takut. Kinar hendak memberontak lagi, namun saat melihat mata dua bocah kembar itu ia urungkan niatnya. Meredam ego, menindas dirinya sendiri dengan kata-kata pedas yang Tante ucapkan; bahwa dia memang bodoh. Salah memilih jalan.

"Kinar nggak mau dipaksa-paksa. Kalau sudah waktunya menikah... Kinar akan menikah, ini hidup Kinar, Tan. Aku juga berhak menentukan pilihan." Hanya itu yang keluar dari mulut Kinar, pelan tapi mengena siapapun yang mendengar. Setelah itu Kinar masuk ke kamar mandi yang terletak di sudut kamarnya. Mengunci diri, menangis sambil bersandar di pintunya.

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang