Sudah sepekan Kinar tinggal di rumah kakak beradik ini, ia orang kedua yang bangun pagi setelah Atif. Pukul enam lewat biasanya dia sudah siap dengan seragam kantor, duduk di meja makan dan mengoles selai pada roti. Zara ikut sibuk membuat sereal untuk sarapannya sendiri, terkadang membuatkan secangkir kopi untuk masnya—jika Atif tidak menginap entah di mana.
Pagi ini Atif berpapasan dengan Kinar di pintu pantry, mereka hampir saja bertubrukan kalau Atif tidak buru-buru menyingkir. "Sori," ucap Atif.
Kinar hanya memberi anggukan kecil, lalu kemudian berbalik menatap punggung Atif. "Zara nggak buat kopi untuk kamu, dia kesiangan." Seingatnya di meja makan memang tidak ada segelas kopi.
"Oh, nggak masalah." Atif menarik pintu kulkas, mengambil sebotol air dingin dan meneguknya sambil duduk.
Kinar kembali masuk ke dalam kamar yang tidak terkunci, di sana dua perempuan ribut membicarakan sesuatu yang masih bisa didengar oleh Atif. Beberapa kali Zara menyebut "bos baru, resek, menyebalkan" dengan nada tinggi dan sinis. Lalu terdengar tawa Kinar, memberi pendapat, menggumam tak jelas. Semua itu menarik perhatian Atif. Sebelum ada Kinar rumah ini tak pernah seheboh demikian.
Pukul 07:08 pagi. Kinar sudah menenteng tas dan tote bag birunya yang penuh dengan berkas. Ia merogoh tas untuk mengambil handphone dan memesan taksi atau ojeg yang dapat mengantarnya ke kantor.
Zara mencegat di pintu depan. "Nar, sama masku saja yuk! Gue juga mau nebeng sampai halte Bundaran HI. Kantor lo kan lewat sana juga, ayolah..." bujuknya.
"Jadi bareng nggak, Ra?" Atif sudah muncul di belakang sang adik, ia sedang mengancing jas biru dongkernya. Ia terlihat sangat menawan.
"Iya, jadi kok. Sama Kinar juga!" Zara menarik tangan Kinar menuju mobil masnya. Sementara itu Atif mengunci pintu depan rumah dengan wajah penuh senyuman, sudah sepekan berlalu dan baru kali ini dia berangkat bersama Kinar. Oh, perasaan seperti ini tidak bisa ia ungkapkan dengan mudah.
Kinar tidak bisa menolak perintah Zara sama sekali saat sahabatnya itu menjebloskan dirinya ke bangku depan, tepat di samping Atif. Dengan sedikit rasa canggung Kinar menarik seat belt dan memasangkannya ke badan. Diam-diam ia mulai curiga dengan misi terselubung Zara selama ini, ingin mendekatkannya dengan Atif. Ia sempat melirik Atif sebentar sebelum mobil itu melaju ke jalan raya, keluar dari kompleks perumahan. Dilihatnya Atif yang santun, matang dan pembawaannya sedikit kalem—mengingatkan ia pada sosok Aiden; yang mampu mengayomi.
Kinar benar-benar mendesah dalam hati, kenapa ia harus bertemu lagi dengan pria model begitu. Namun diam-diam ia suka tatapan mata Atif, penuh kehangatan dan bersahabat. Sepasang mata indah yang membuatnya terbayang sosok malaikat. Hmmm, memangnya aku pernah melihat malaikat?
Zara masuk ke ruangan Aldi ketika bosnya itu sibuk memainkan handphone. Ada pesan penting dari teman-teman SMA-nya, yang juga menjadi teman basket sampai sekarang.
"Pak, ini laporan yang bapak minta. Quarter empat." Zara meletakan map di atas meja Aldi.
Aldi mengangguk sekilas, fokusnya masih kepada layar penuh tulisan dalam genggamannya.
"Pak, Pak Arsyad bilang ada tamu untuk Bapak siang ini."
Aldi baru mengangkat wajah setelah Zara mengucapkan itu. Dilihatnya wajah Zara yang sedang khilaf, perempuan itu tersenyum. Mata Aldi mengerjap, ia menegakkan duduknya. Zara tersenyum? Itu sesuatu yang jarang terjadi, rasanya Aldi ingin mengabadikan moment tersebut dengan kamera handphone-nya—kalau tidak dianggap mengganggu privasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA & JAKARTA
ChickLitEND Mendapat masalah saat kita menyukai seseorang adalah jalan buntu. Sampai detik ini aku pun tak tahu apakah semua akan berjalan baik-baik saja--seperti yang ia harapkan? Kinar. Romance, Chicklit "Menjadi jomblo di belantara kota Jakarta rasanya h...