Belum Terlambat

853 118 5
                                    

Apa satnite kalian menyenangkan? Heboh? Atau garing karena di kota kalian nggak hujan?

Don't sad yaaa
Biar imun tetap terjaga

Yuk baca bab baru di malam ming ini
Jempolnya siapin buat kirim VOTE, share link, and komen. Semuanya gratissssss

Terimakasih
Ba bay

oOo

Satu pekan berlalu setelah kejadian di rumah Atif tempo hari. Hubungan Zara dan Aldi terlihat ganjil, rupanya Zara kurang ahli menyembunyikan "sesuatu" diantara mereka berdua, semua orang kantor jadi sadar bahwa ada yang tidak beres di antara mereka. Om Aldi bahkan memanggil Zara, menanyakan masalah mereka, Zara menjawab bahwa mereka tidak ada apa-apa. Berbohong demi kebaikan Aldi, dia dan semua orang di tempat ini.

Hari ini Zara kembali menamani Aldi ke proyek baru. Seusai kunjungan Zara kembali ke kantor, masih ada yang harus dia selesaikan, laporan baru di tahun baru. Ia menatap excelnya, angka-angka berderet rapi. Ia baru menghitung anggaran proyek baru ini, Aldi akan meminta datanya dalam waktu dekat. Dan benar saja, Aldi sudah meneleponnya dari ruang kerja.

"Sebentar, Pak!" Zara berkata datar. Urusan pekerjaan tidak ada kaitannya dengan masalah pribadi. Meski perang dinginnya dimulai sejak satu minggu lalu, tapi pekerjaan dia dan Aldi tetap berjalan dengan baik. Semua harus beres.

"Selesai?" tanya Aldi, yang tiba-tiba muncul di kubikel Zara.

"Belum saya print, Pak." Zara menjawab dengan fokus masih ke layar.

Aldi sedikit menunduk demi melihat laporan di komputer Zara. Zara segera menggeser kursi ke samping, parfum Aldi tercium hidungnya, membuat dia semponyongan—entah mengapa. Dia pikir Aldi terlalu boros hari ini, mengenakan parfum banyak-banyak. Atau, aromanya memang begitu pekat?

"Print, Ra. Saya butuh cepat." Aldi sudah berdiri tegak setelah memeriksa sekilas.

"Baik, Pak." Zara berdiri dari kursi, menyiapkan kertas di mesin printer. Tiba-tiba saja Aldi duduk di kursi milik Zara dan memainkan mouse tanpa izin. Zara sempat waswas, apakah whatsapp web-nya sudah dia tutup? Mampus kalau belum! Hidupnya bisa tamat di sini. Dia baru saja curhat tentang perasaannya yang gelisah dan tak tentu arah pada Kinar. Dan Kinar masih menjawab seperti minggu sebelumnya, ia bilang bahwa Zara harus jujur pada diri sendiri. Mengikuti kemana hatinya pergi.

Nggak usah denial! Cinta itu nggak diukur pakai rasio atau logika, pakai hati, Zara.

Isi pesan Kinar yang terakhir masih Zara hapal. Bahkan posisi tanda seru, koma dan titiknya pun masih dia ingat dengan tepat. Secepat mungkin Zara berjalan ke mejanya sebelum rahasia pribadinya terbongkar oleh Aldi. Dia tidak mau tamat hari ini, tidak mau kartunya terbongkar oleh seseorang yang sedang membuatnya bingung setengah mati.

"Permisi, Pak. Saya mau duduk." Zara mengusir Aldi. Laki-laki itu hanya men-scroll data yang menampilkan laporan saja, tidak macam-macam.

"Kalau sudah selesai bawa ke ruangan saya." Aldi bangkit, memerintah dengan jelas dan segera berlalu meninggalkan Zara yang sedikit keheranan. Tak ada yang diperbuat Aldi di komputernya. Zara menggeleng pelan dan bersyukur sebanyak-banyaknya.



Sambil membolak-balikan laporan dari Zara, Aldi bertanya tanpa mengalihkan tatapan. "Pulang sekarang, Ra?"

"Iya. Ada yang perlu saya urus lagi, Pak?" tanya Zara, dia berdiri di depan meja bos mudanya. Bola mata mengawasi lembar kertas yang berada di tangan Aldi. Sekarang baru pukul lima lewat lima menit, tapi Zara sudah ingin lari dari kantor ini.

"Nggak ada. Tapi saya boleh minta tolong?" satu lembar lagi terbalik, Aldi tak benar-benar membaca laporan itu.

"Apa, Pak?" untuk urusan pekerjaan, Zara siap diajak lembur, asal tak sampai larut.

Aldi mengangkat wajah, laporan di tangannya ia letakan di atas meja. Ia tatap wajah Zara dengan serius. "Temani saya makan malam."

"Apa?" Zara kebingungan, ia takut salah dengar. Ruangan itu mendadak hening, Aldi membiarkan Zara mencerna kalimatnya, ia yakin Zara tidak setuli itu, hanya sedikit shock. Masalah kemarin belum beres seratus persen, dia menambah masalah baru. Namun karena Zara tetap diam, memerhatikan meja dengan tatapan kosong, akhirnya Aldi berkata dengan jelas. "Kamu masih meragukan omongan saya? Seharusnya apa yang kita lakukan di Jogja sudah membuat kamu sadar kalau saya benar-benar serius, Ra..." Aldi melempar berkas ke meja, menyandarkan punggung ke kursi, matanya masih mengawasi Zara.

Zara ingin memukul meja dengan tangannya lalu berkata lantang, "memangnya apa yang sudah kita lakukan di Jogja? Kita tidak ada apa-apa, Pak!" kalimat itu tertahan, ia tak mau terlihat emosi dan mudah sekali terpancing. Ugh, sensitif sekali dia.

"Kenapa sih, Ra? Karena saya bos kamu?" desak Aldi.

Zara mengeleng setelah mundur selangkah.

"Lalu?"

Zara rasa Aldi akan terus mencecarnya sampai ia menjawab alasan penolakannya, mungkin sampai hari kiamat tiba—kalau Aldi dan dia masih hidup. "Saya tidak bisa... Bapak baik kok, tapi bukan buat saya." Zara tidak punya alasan yang tepat, satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya hanya itu, tidak jujur. Bagaimana dia mau jujur kalau dia sendiri bingung dengan perasaannya, bukan? Dia tidak tahu apakah Aldi cukup pantas diberi kesempatan olehnya? Dan apakah dia bisa menerima Aldi dengan segala kekurangan yang dimiliki laki-laki itu?

"Alasan macam apa sih? Baik tapi ditolak. Ada gitu?" Aldi tidak terima, dia kembali menegakkan duduknya.

Zara diam, menunduk. Ia sibuk meremas jari-jarinya, gelisah.

Tiba-tiba Aldi merasa bersalah saat melihat kegelisahan di wajah Zara. Gadis itu tidak bisa ia paksa, tidak mudah ditaklukan hatinya, memang bukan gadis sembarangan yang mudah dibujuk dengan rayuan manis. "Ya sudah... silakan keluar," ucap Aldi pelan. Tak mungkin ia menahan Zara lebih lama lagi, gadis itu bisa mengucurkan air mata kalau dia cecar habis-habisan.

"Te—terimakasih, Pak!" Zara mendadak gugup, ia tidak berani menatap mata Aldi. Takut Aldi bisa membaca pikirannya yang supersemrawud.

"Zara?" panggil Aldi ketika Zara di ambang pintu, Zara pun menoleh. "Kamu lagi dekat sama seseorang?"

Zara menjawab dengan sebuah gelengan. "Maaf, saya permisi." Lalu pintu sempurna tertutup. Mendengar jawaban Zara hati Aldi menjadi longgar, napasnya lega, setidaknya dia tidak sedang bersaing dengan laki-laki potensial manapun, dia hanya butuh waktu untuk membuat Zara percaya padanya.





KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang