Bagian 2 : Jujur Saja

873 128 14
                                    


Masih lanjutkan sampai bab berikutnya?

Buruan serbu, nanti kita tamatkan sama-sama ya ya ya

Mungkin habis itu aku up cerita lain di di di... platform mana saja yg menguntungkan *tabok

Boleh bagikan link nya, comment, dan vote!!!
Terimakasih

oOo


Sepulang dari supermarket malam ini, Zara menemukan mobil bosnya ada di depan rumah. Ia mendadak mulas, membuat wajahnya jadi pucat. Karena tujuh panggilan tidak ia jawab, akhirnya Aldi datang kemari. Laki-laki itu memang sedikit nekat.

Kinar melangkah lebih dulu setelah menatap Zara yang kini cemberut dan kebingungan harus bagaimana. Ia tidak mau ikut campur dalam masalah ini, urusan hati memang klise, rumit. Tidak bisa ditebak-tebak. Tidak bisa dipaksa. Semua terserah 'si' yang bersangkutan.

Aldi duduk di ruang tamu dengan Atif, ia sempat menyapa Kinar dengan ramah. Kinar balas tersenyum, sopan. Lalu saat pandangan matanya melihat Zara masuk, ada gurat mendung yang mendadak mampir. Oh, Tuhan... Bagaimana caranya menjelaskan perasaannya pada Zara? Dia sudah bicara jujur, ingin diberi kesempatan. Ingin Zara membuka hati untuknya. Ingin menggandeng tangan Zara kemana-mana... Eh! Tapi apa yang Zara lakukan padanya? Gadis itu malah membuang muka dan masuk ke dalam rumah begitu saja.

Atif enggan ikut campur, dia hanya meminta Zara menemui bosnya dengan sopan. "Dia cuma khawatir saja, Ra. Apa salahnya bertemu sebentar sih? Jangan seperti anak kecil, kamu sudah besar." Bujuk Atif dengan berusaha sabar. Hubungan teman dan adiknya sangat rumit. Aldi yang tak mau menyerah dan Zara yang kabur-kaburan begitu saja. Atif mengusap wajahnya, sekali lagi ia menyuruh Zara menemui Aldi walau hanya lima menit. "Hargai tamu yang datang, dia ingin ketemu sebentaran."

Zara terpaksa menemui Aldi di ruang tamu, langkahnya kaku, bibirnya kelu, tangannya sedikit gemetar. Ia tidak percaya kenapa kehadiran Aldi di sini justru membuat perasaannya semakin runyam saja.

"Kamu nggak istirahat saja di rumah, Ra? Sakit kok keluyuran." Aldi sengaja menyinggung, ia menatap Zara lamat-lamat. Wajah Zara terlihat agak pucat.

"Sakit pun butuh refreshing, Pak. Saya cari udara segar." Zara terus menunduk, malas menatap Aldi.

"Besok kalau masih nggak enak badan nggak perlu masuk, Ra. Saya izinin."

Saya nggak mau masuk selamanya di kantor Bapak! Tentu saja Zara menahan kalimat itu kalau masih ingin hidup sampai besok pagi. "Bapak sudah tidak ada urusan sama saya, kan?" tanya Zara buru-buru, ia mengeluarkan jurus pengusiran.

"Kenapa?" Aldi bertanya balik.

"Maksud saya... bukannya mengusir... ehm, Bapak bisa pulang sekarang kalau nggak ada perlu sama saya lagi." Kali ini Zara mengangkat wajahnya, menatap Aldi sekilas. Antara yakin dan tidak, Zara telah membaca ekspresi itu pada wajah Aldi; khawatir.

Aldi menyengir lebar. "Saya mau ketemu sama masmu kok, ada urusan."

"Mas Atif lagi sama Kinar, saya panggil sebentar." Zara buru-buru bangun dan masuk ke dalam. Masnya memang sedang membantu Kinar memasukan belanjaan ke dalam kulkas, sibuk bercanda bedua, Zara tidak enak mengganggu kebersamaan mereka. Meski terlihat sederhana tetapi Zara senang melihatnya, bukankah cinta bisa datang dari hal-hal sederhana yang dilakukan bersama-sama? Masnya dan Kinar mungkin sedang menciptakan itu sekarang; kenangan hangat.

Zara memutuskan kembali lagi ke depan. "Pak..." Zara terlihat ragu-ragu.

"Kenapa? Atif lagi sibuk ya? Oh, urusan saya nggak penting-penting banget sih. Bisa kapan-kapan kok."

Zara menganguk. Syukurlah... katanya dalam hati. Dia masih berdiri, menunggu Aldi memahami maksud dirinya ternyata sulit. Lai-laki itu masih duduk dengan santai, mengeluarkan handphone dan mengetikkan sesuatu di sana.

"Bapak nggak balik?" Zara bertanya dengan pelan. Takut dituduh mengusir.

"Kamu nggak suka saya di sini ya?" tanya Aldi, mengalihkan perhatian dari benda yang dipegangnya.

"Bukan," jawab Zara pendek. Ia geram, menahan diri.

"Masalah kemarin..."

"Masalah kemarin saya anggap Bapak nggak pernah bilang apapun ke saya. Saya akan lupakan dan tutup mulut saya. Sumpah!" Zara berkata lebih cepat sebelum Aldi mengatakannya.

Aldi justru tersenyum lebar, "tutup mulut gimana? Atif saja sudah tahu. Kamu kan yang kasih tahu kalau saya ditolak?"

"APA?!" Zara terlihat kaget. Bola matanya nyaris lompat. Jantungnya sedang senam aerobic.

"Kenapa, Ra?" itu suara Atif yang masih di dapur. Jeritan Zara terdengar sampai sana.

"Nggak apa-apa, Mas!" Jawab Zara sembari duduk menghadap Aldi. "Bapak, saya janji nggak akan bocorin ke siapapun lagi. Mas saya itu pengecualian. Jadi, tolong... pahami ini bahwa Bapak dan saya memang nggak ada apa-apa." Zara baru bisa bernapas setelah semua kalimat itu selesai.

"Ra... saya yang nggak bisa lupa, itu semua memang terjadi. Saya ingin kamu, dan kamu tahu itu." Aldi menekankan setiap detail kalimatnya.

"Saya tidak begitu, Pak... apa yang saya pikirkan berbeda dengan Bapak."

"Kenapa, Ra? Kamu belum kasih saya alasan. Kamu ninggalin saya waktu kita di bandara. Nggak ada kejelasan, wajar dong kalau saya ingin tahu?" Aldi tahu ini tidak akan mudah baginya, Atif sudah mewanti-wanti bahwa tidak ada yang bisa mengubah pikiran Zara kecuali dirinya sendiri.

Tiga hari ini Aldi kesulitan memejamkan mana, susah tidur, kepalanya dipenuhi oleh Zara. Saat hari senin tiba, dia terlihat sedikit bersemangat karena akan bertemu dengan gadis itu di kantor, namun yang terjadi justru sebaliknya. Zara sakit, tidak masuk kerja. Aldi uring-uringan sepanjang hari, membuat banyak kekacauan.

"Saya masih mau dengar penjelasan kamu. Bilang sama saya, kenapa, Zara?" Aldi jelas menuntut. Ia ingin kejelasan agar bisa diterima oleh logikanya yang agak kurang sehat.

Zara masih belum menjawab pertanyaannya.

"Saya minta maaf kalau pernah salah sama kamu, saya terlalu iseng dan suka godain kamu. Maaf untuk mulut saya yang tak sengaja membuat kamu sakit hati. Maaf untuk perlakuan saya yang kurang menyenangkan, Ra. Kita bisa mulai dari awal, kan, dari yang kamu mau..."

Zara menggeleng, ia terburu-buru berdiri. "Maaf, saya harus masuk. Bapak sebaiknya pergi sekarang."

"Ra, kita belum selesai!" Aldi ikut berdiri.

"Pak, kita nggak pernah memulai apapun, kenapa Bapak bilang belum selesai?" Zara menatap Aldi tajam.

"Zara, saya kurang jelas apa sama kamu. Saya bilang kita mulai semuanya dari awal... beri saya kesempatan."

"Saya tidak mau..." Zara segera masuk ke dalam, ia hampir menubruk tubuh masnya yang hendak menyusul ke depan. "Suruh dia pulang, Mas! Dan jangan bertamu ke sini lagi!" Zara sengaja meneriakan itu supaya Aldi ikut mendnegar.

"Zara yang sopan." Atif menegur adiknya.

"Guenggak peduli!" Zara lari ke kamar, menutup pintu dengan kencang. Ia merasafrustrasi dengan perasaannya sendiri. Tidak terima dengan apa yang sedang iarasakan. Ingin marah, ingin berteriak, dan ingin menangis saja. Ia memegangidadanya yang sedikit sesak, mengapa jantungnya berdebar aneh saat berbicaradengan Aldi? Ia teringat kata-kata Kinar sebelumnya. Apakah benar dia telah denial?

KITA & JAKARTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang