1

9.6K 1.1K 40
                                    

"Gue Guanlin." Pemuda tampan itu berkata kepada Renjun, sang kakak kelas yang kini melihatnya dengan tatapan nanar. "Member baru di divisi Dokumen—"

"Gue nggak peduli," kata Renjun.

"Tapi kita satu divi—"

"Gue nggak peduli," ulang Renjun.

Guanlin menghela napas. Apa salahnya?

"Gue nggak mau ngeliat lo lagi, Guanlin. Lain kali, hubungin aja Karina. Atau temen lo, Chenle." Renjun kini mengalihkan perhatiannya ke berkas-berkas yang tergeletak di meja. "Dan, for your information, gue di divisi Publikasi. Beda sama lo."

"Tapi Pak Budi nyuruh gue dateng ke sini." Rahang Guanlin mengeras. "Dan katanya, gue kerjasamanya bareng lo, kak."

Renjun melihatnya sekali lagi. Pandangnya berkeliaran dari ujung rambut kepala sampai pangkal kaki Guanlin.

"Jangan ngomong sama gue. Lo foto, kirim ke gue, terus sisanya gue yang ngurus." final Renjun.

Guanlin mengangguk. Mungkin ia bisa mencoba berbicara kepada Renjun besok.

***

Hari besok itu tidak datang.

Saat Guanlin mencoba mengajak Renjun bicara, yang lebih tua pura-pura tidak mendengar.

Suatu siang, Guanlin menahan Renjun di lantai. Yang lebih muda mencengkeram pergelangan tangan Renjun. "What's the problem, kak?! Tell me."

"You are the problem." Renjun terkekeh.

Guanlin mengernyit.

"Lo ngerebut tempat gue disini."

"Bukan salah gue lo iri."

"Gue nggak iri!" Renjun berusaha menendang kaki Guanlin. Sia-sia.

"You can't get your position back, kak. Accept that." Guanlin mencabut cengkeramannya dari pergelangan tangan Renjun. Yang lebih tua langsung meninju tulang selangka yang lebih muda.

Itu fatal.

Guanlin menjauh dari Renjun secara spontan.

Sejak saat itu, Renjun dan Guanlin resmi mengobarkan bendera permusuhan.

***

PubDok | GuanrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang